Hawa dingin tiba- tiba saja terasa memenuhi kamar ini. Selain jiwaku, tanganku kini gemetar dan tidak sanggup menggenggam apapun. Buku diary merah hati dan liontin Akasia jatuh begitu saja di lantai kamar.
Aku pria ba jingan itu. Akulah pria jaha nam yang telah menghancurkan hidup Akasia bahkan bertahun silam!
Aku tengadah. Air mataku tak terasa mengalir makin deras. Rasa bersalahku begitu dalam. Aku menangis, bukan hanya ini tangisan pertama dalam hidupku, tapi ini adalah tangisan paling menyakitkan yang pernah aku alami.
Tangisan penyesalan yang mungkin akan kubawa sampai mati.
Andai aku tidak datang pada reuni teman SMAku kala itu, andai aku tidak percaya begitu saja pada minuman yang mereka berikan, andai aku tak bodoh dan mudah percaya pada sahabat lamaku yang ternyata b******k, mungkin aku tak akan pernah menodai dan merusak hidup seorang wanita.
Aku tidak pernah mabuk selama ini, aku bahkan bukan pria yang merokok. Di kehidupan nyata, aku adalah pria baik- baik yang jangankan memperko sa, bahkan menyentuh wanita pun aku tidak berani.
Aku yang memaksa pulang dari pesta minuman keras kala itu, tak menduga malah bertemu Akasia di jalanan yang sepi. Entah apa yang dia lakukan di jalan sesepi itu. Entahlah, aku yang mabuk tidak bisa berpikir dengan waras. Bahkan aku mengambil jalan yang salah menuju mobil yang aku parkir.
Aku meringis, menahan lelehan rasa berdosa yang kian dalam. Membayangkan Akasia yang terluka, aku pun ikut terluka, sulit memaafkan diri sendiri mengingat begitu banyak luka dan air mata yang dia terima setelah peristiwa nista itu.
Akasia, aku menyebut nama itu dengan rasa yang hancur. Nama yang sederhana, sesederhana baju dan semua yang dia pakai, sesederhana wajah yang selalu tersenyum walau tampak lelah dan sesederhana sikapnya yang membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat tak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu putri sahabat Ibu yang kebetulan tinggalnya tidak jauh dari tempat tinggal Akasia. Keluarga Akasia termasuk salah satu yang diundang. Wanita dengan busana dan dandanan sederhana itu membuat jiwaku terpukau.
Aku mendesah. Akasia begitu sederhana, sesederhana permintaannya saat menerimaku menjadi suaminya. Beri dia waktu untuk mengatakan sesuatu tentang masa lalunya!
Hanya itu yang diminta Akasia. Bahkan dia tidak meminta aku untuk memberikan apapun yang bisa aku berikan sebagai seorang suami. Rumah baru, pakaian, perhiasan atau uang belanja yang besar. Akasia tidak minta itu semua, bahkan dengan tulus dia memilih merawat Ibu yang sakit dan tinggal bersamanya beberapa saat setelah menikah denganku.
Aku mendesah. Meremas rambut dengan perasaan gelisah. Menyesali diri ini yang tidak mengingat apapun tentang gadis yang aku nodai. Aku mabuk kala itu, aku bahkan tidak mengingat dengan utuh apa yang aku lakukan padanya selain rasa sakit di tanganku karena gadis dalam cengkramanku mengamuk dan menggigit dengan keras.
Akasia juga seperti nya tidak bisa dengan jelas melihatku. Saat itu hari mulai gelap dan rindangnya pohon bambu membuat suasana kala itu semakin gulita. Kegelapan yang bukan hanya membuat aku dan Akasia tidak bisa saling mengenali dengan baik, juga membuatnya tidak bisa melarikan diri dari cengkraman ku.
Kegelapan yang bukan hanya membuat aku yang mabuk makin gila dan berhasil memberikan noda dalam hidup Akasia, tapi juga membuat dia tidak mengenali siapa pria dur Jana yang merenggut senyuman dalam hidupnya.
Maafkan aku, Akasia. Aku merintih sendirian.
Suara notifikasi pesan masuk dari ponsel yang aku simpan di atas kasur tidak kugubris. Paling itu Sabrina yang setiap malam selalu membanjiri ponselku dengan kata romantis dan rayuan yang malam ini terasa begitu hambar dan tanpa rasa. Perempuan yang tampak bahagia dengan kepergian Akasia dan bersikap paling perduli padaku itu kini seolah tak menarik lagi di mataku. Kecantikan Sabrina dan gayanya yang modis dan menggoda tak lagi sanggup memalingkan aku dari bayangan Akasia.
Malam ini aku tidak bisa tidur sama sekali. Bahkan dinginnya waktu yang merambat subuh tak juga mampu mendinginkan perasaanku yang diamuk perasaan bersalah dan juga rindu.
***
Aku berangkat kerja dengan kepala pening dan tubuh terasa ringsek. Aku melajukan mobil dengan hati hampa. Apalagi aku berangkat kerja dengan perut kosong. Biasanya, Akasia dengan telaten menyiapkan segala keperluanku. Aku memang tidak salah memilih istri, Akasia begitu telaten melayaniku kecuali urusan biologis yang seolah selalu mengukur waktu. Betul, selain urusan malam pertama , Akasia begitu sempurna menjadikan aku imamnya.
Jalanan terasa lebih lengang dari biasanya, mungkin karena aku berangkat lebih siang sehingga jam macetnya telah berakhir.
Sudah beberapa tahun ini aku meneruskan perusahaan yang dirintis orang tuaku. Dengan beberapa kafe dan restoran yang tersebar di beberapa tempat, boleh di bilang keluargaku cukup berkecukupan. Dua kakak perempuan ku tidak ada yang tinggal di kota ini, mereka mengikuti tugas suami dan menyerahkan perusahaan keluarga ini sepenuhnya padaku. Termasuk Bapak dan Ibu yang sudah sepuh. Di mata mereka aku adalah sosok yang membanggakan, pria dewasa yang terlihat good looking, bijaksana dan smart. Aku tersenyum getir.
Seperti juga Akasia, mereka tentu tidak menduga kalau dibalik wajah tampan dan tubuhku yang kukuh, aku hanyalah pria to lol yang meminta kesucian pada Akasia, padahal akulah pembuat noda itu. Aku adalah pecundang yang hanya mampu memberi wanita yang dituliskan takdir menjadi makmumku dengan lembaran luka yang menyakitkan.
Akasia, maafkan aku....