Bab 9

855 Words
Sosok pria yang baru turun dari motor semakin mendekat. Akasia tengadah, sosoknya begitu tinggi dan kukuh. Akasia mundur ke belakang, ingatannya tak sengaja kembali melayang ke peristiwa bertahun silam saat dia berjalan tergesa di rimbunnya pohon bambu. Sosok pria itu mengingatkannya pada bayangan yang menangkap tubuhnya dan memeluknya dengan paksa. "Pokoknya ambilkan kue itu sekarang, Sabrina ingin saat pacarnya datang kue itu sudah tersedia!" Perintah Mama tegas dan ketus. "Tapi ini sudah senja. Rumah Bu Ratih juga jauh dan melewati kebun dan pohon bambu. Besok saja. Lagian motornya rusak, Ma," tolak Akasia segan. Kue kering yang diinginkan Sabrina bisa diambil besok. Beberapa jenis kue kering yang dipesan Mama beberapa hari yang lalu bahkan menurut perjanjian akan diambil besok pagi tapi Sabrina tiba-tiba saja ingin mengambilnya karena ada pacarnya yang mau datang. "Aku bilang ambil sekarang. Kamu bisa jalan kaki dengan jalan memotong. Gak usah naik ojek, boros!" "Memotong lewat pohon bambu?" "Lalu kamu mau baik mobil? Mikir saja, Akasia. Kamu hanya anak pungut di rumah ini.Jangan belagu!" Sepi. Hati Akasia selalu koyak jika bibir wanita yang dia anggap ibunya mengatakan hal itu. Akasia ingin dia pun menganggap perempuan itu orang asing baginya, tapi hanya perempuan itu yang dia tahu dalam hidupnya. Meski perempuan yang dia panggil mama itu tidak pernah manis dan ramah, tapi hanya dialah yang mengatakan pada semua orang kalau dirinya adalah putrinya. "Nih, uangnya. Awas kalau kamu tidak berangkat. Aku tendang dari rumah ini baru tahu rasa." Dada Akasia berdenyut. Bayangan tubuh yang menyergapnya di balik pohon bambu yang gelap kian menguasai hatinya Akasia makin mundur dan sialnya malah terjatuh karena ada lobang di belakangnya. "Mbak, Kenapa?" Sosok tinggi di depannya spontan menarik Akasia untuk bangun. Tatapannya yang dalam kembali jatuh di wajah Akasia yang terlihat ketakutan. "Pergi!" Akasia mendorong keras tangan pria. "Jangan pernah menyentuhku. Jangan buat aku terno ...." "Mbak!" Pria itu menatap makin dalam. Ekspresi Akasia yang tampak mulai menangis membuatnya kaget dan khawatir. "Saya bukan penjahat. Saya tidak akan menyakitimu. Saya hanya mohon maaf, karena saya ngebut dan motorku melindas kubangan air membuat baju dan hijabmu basah." Akasia mendesah. Merapikan detak dadanya yang berdegup kencang "Astaghfirullah. Ma-maafkan saya, Mas." Akasia mengusap wajah. Wajah yang terasa begitu dingin dan sedikit basah. "Maafkan saya, saya ... Saya begitu ketakutan. Padahal Mas tidak bermaksud jahat." Ah, Akasia mengusap wajahnya. Merasa kalau ekspresi dan sika dirinya berlebihan barusan. "Tidak apa-apa. Saya tahu di manapun berada kita bisa saja bertemu orang jahat dan tidak punya perasaan." Wajah Akasia kembali terangkat. Kalimat penuh empati pertama yang dia dengar dalam hidupnya. "Iya, Mas. Maafkan saya yang terlelalu reaktif." Sosok di depan Akasia tersenyum. Kembali mengangsur sapu tangan biru laut dalam genggamannya. "Wajahmu basah, hapuslah!" Akasia tersenyum dan menggeleng. Ada yang terasa hangat di pipinya, dia merasa malu dengan perhatian pria itu "Tidak apa-apa, Mas. Sebentar lagi saya sampai ke penginapan, saya bisa ganti pakaian di sana." Akasia menolak halus dan menunjuk ke arah penginapan yang memang sudah tidak jauh dari tempatnya berada. "Penginapan? Bukannya pulang ke rumah?" Akasia menggeleng pelan. Aku tidak punya rumah! Aku tidak punya satu sudut pun di dunia ini yang menerimaku dengan hangat dan penuh cinta. Aku terbuang! ingin Akasia berteriak. "Permisi, Mas." "Tunggu!" Pria itu menghalangi jalan, membuat langkah Akasia terhenti. "Mengapa pulang ke penginapan itu?" Mata pria itu menyipit. "Kamu mau pergi ke mana? Saudaramu? Aku antar. Jangan sampai menginap di sana." Akasia menggeleng "Saya akan tinggal di sana beberapa saat sampai menemukan pekerjaan." Akasia menjawab pelan. Kembali Ingin berteriak kalau dia tidak punya rumah untuk kembali. Ingin menangis kalau rumah yang dia anggap tempat kembali itu kini hanyalah tinggal kenangan. Tidak rumah Angkasa, tidak juga rumah Mama, semua pintunya sudah tertutup rapat untuk dirinya. "Mbak nyari pekerjaan dan tidak punya keluarga di sini?" Akasia tersenyum samar. Tak ingin bicara lebih jauh dengan pria yang bahkan kenal pun tidak dan baru bertemu. Noda mengajarkannya untuk bertahan dan menjauh dari semua hal asing dalam hidupnya. "Maaf, saya permisi." "Sebentar!" Tanpa diduga pria itu mengambil tas Akasia dan membawanya ke motor. "Mas?" "Kamu ikut aku saja. Penginapan di daerah ini tidak aman. Penginapan itu terkenal sebagai tempat prostitusi terselubung. Ayok!" Seolah sangat mengenal daerah ini, pria yang belum memperkenalkan nama itu tak menghiraukan Akasia yang meminta tasnya dikembalikan. "Kembalikan tasku!" Wajah Akasia mendadak pucat. Dalam tas itu dia menyimpan surat- surat penting. "Ikut denganku, atau kau kehilangan tas ini." "Mas?" Akasia menghiba. "Hari sudah senja, ikutlah denganku. Bismillah." "Mas, tapi aku ...." Pria itu tiba- tiba saja menarik tangan Akasia dan memaksanya naik ke atas motornya. Akasia memekik kecil saat menyadari tubuhnya sudah di atas motor. "Pegang pinggangku, kita akan ngebut." Belum sempat Akasia menjawab, motor sudah melaju kencang. "Pegang pinggangku!" Dalam deru angin dan helm yang dipakaikan pria itu di kepala Akasia suara pria itu masih terdengar jelas walau dipenuhi gemuruh. "Begini saja. Gak apa-apa!" Akasia menolak canggung. "Pegang kataku!" Motor makin kencang. Gusti Allah, bagaimana ini? Akasia yang ketakutan akhirnya memegangi pinggang pria di depannya "Gadis pintar! Pegang yang erat pinggangku. Kita akan ngebut." Awwww! Akasia memekik kecil, merasa tubuhnya terbang bersama senja yang kian punah dan deru angin yang meriapkan hijabnya yang berkibar eksotis di bawah gerimis hujan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD