"Aku melihat tangannya bergerak, Dam! Aku berani bersumpah!"
"Aku tahu gadis, tapi bukan berarti Dewa sudah sadar." Damian bersi keras mengatakan Dewa tidak akan sadar.
"Jadi apa maksudnya tadi?"
"Mungkin itu adalah reflek tubuhnya."
"Ya Tuhan, Dam!" Aku meremas ujung ranjang Dewa. Apa lagi ini? Hanya reflek? Tidakkah mereka tahu betapa aku sangat mengharapkan Dewa sadar.
"Berdoalah semoga Dewa segera pulih. Aku minta maaf tidak bisa membantu banyak." Damian menepuk bahuku berkali-kali.
Tuhan! Bagaimana kau bisa tega membiarkan aku seperti ini? Membiarkan dua orang yang saling mencintai terpisah di antara dua alam yang berbeda? Raga kami memang sangat dekat, tapi jiwa kamu terpisah sangat jauh. Sangat jauh hingga aku tidak mungkin meraihnya, dia tidak mungkin menemukanku di sana.
Ana datang lebih dulu sebelum Richard. Wanita itu tampak lebih gemuk di banding sebelumnya. Usia kandungannya menginjak delapan bulan. Artinya satu bulan lagi kira-kira, anak akan melahirkan anak keduanya. "Aku sudah mendengar semuanya dari Damian," Ana menghela napas, "Aku turut prihatin, Giselle."
"Sampai kapan aku menunggunya, An?"
"Terserah." Ana berkata datar.
"An!"
"Aku juga tidak tahu. Mau sampai kapan kau menunggu Dewa bangun itu hakmu, Giselle. Kau boleh pergi sekarang jika kau mau."
Hatiku hancur berantakan. Apa sekarang Ana berpihak takdir?
"Jika kau lelah menunggunya, kau boleh pergi meninggalkannya. Semua itu sepenuhnya hakmu. Tidak ada yang memaksamu bertahan dengan Dewa. Aku, Damian, Richard dan seluruh penghuni pulau ini tidak tahu kapan Dewa akan bangun. Kita semua menunggunya kembali ke tengah-tengah kehidupan kita." Ana menjeda ucapannya. Kekecewaannya terhadapku memuncak.
"Orang bilang, cinta bukan hanya sekedar pengorbanan dan perjuangan, melaikan sebuah penantian. Penantian untuk orang yang paling tepat. Jadi, jika kau tidak bisa menanti Dewa kembali, mungkin Dewa bukan orang yang tepat untukmu. Atau sebaliknya."
"Aku tidak bermaksud begitu."
Ana berjalan mantap ke sisi tempat tidur Dewa. Wanita itu mengusap lembut seluruh wajah Dewa kemudian mencium keningnya. Mengabaikan perkataanku.
"Dulu sekali. Entah berapa tahun yang lalu, aku lupa. Dewa mendatangi Richard. Dia bilang 'aku akan kembali ke Indonesia.' Richard yang mendengar itu terkekeh geli, 'ke Indonesia? Bukankah kau tidak suka dengan negaramu itu?'. Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya, 'kau benar Rich. Tapi sekarang aku menyukai negaraku. Ada sesuatu yang menarik di sana?' Richard bertanya lagi, 'Apa?' Dewa hanya terkekeh.
Waktu itu, kami sedang duduk bertiga di ruang keluarga. Masih di London, manssion kecil yang Dewa beli untuk keluarga ini. Keluarga kecil dengan dua anggota keluarga aneh. Kubilang aneh karena dua-duanya laki-laki. Kemudian aku dan Rachel bergabung dalam keluarga ini. Richard memprotes keputusan Dewa kembali ke Indonesia hanya karena wanita. Mereka bersitegang karena hal itu. Richard keberatan harus menanggung semua pekerjaan di sini. RRTech semakin besar, semakin maju. Jadi tidak mungkin Richard mengurus semuanya sendiri.
"Tenang, Rich. Aku akan tetap membantumu."
"Bagaimana?"
"Kau buat teknologi chatting khusus untuk perusahaan kita. Secanggih mungkin, pastikan tidak ada yang bisa membobolnya."
"Tidak bisa. Kau harus tetap di sini."
"Tenang, Rich. Ada Ana yang bisa membantumu di sini. Aku akan datang kapan pun saat kau membutuhkan aku."
Dewa dan Richard adalah dua orang dengan kepribadian berbeda. Aku berusaha menengahi pertengkaran kecil mereka. Richard mengalah dan membiarkan Dewa kembali ke Indonesia.
"Siapa gadis itu?" tanyaku pada Dewa setelah Richard pergi.
"Aku belum tahu. Tapi aku aka segera tahu setelah kembali nanti."
"Bagaimana jika dia sudah menikah?"
"Sepertinya belum."
"Jika sudah punya pacar?"
"Belum, An."
"Kau terlalu percaya diri, Dewa. Bagaimana jika dia tidak mencintaimu?"
"Akan kubuat dia mencintaiku."
"Jika tidak bisa?"
"Aku akan tetap mencintainya meskipun dia tidak mencintaiku."
Dari situlah aku tahu, Dewa serius dengan ucapannya. Dan bukahkah dia memang tidak pernah mengeluh tentang apapun yang kau lakukan? Bukankah Dewa tidak pernah menyerah mendapatkanmu meskipun kau menolaknya? Tidak pernah meninggalkanmu meskipun kau mengkhianatinya?"
"Aku akan menyiapkan pesawat untukmu. Kau bisa kembali ke Indonesia se-"
"Aku akan tetap di sini." sahutku cepat.
Ana benar. Dewa tidak pernah menyerah atas diriku. Kurasa tidak sepantasnya aku bersikap seperti ini.
"Kau yakin?" tanya Ana ragu.
"Tentu." jawabku mantap.
"Aku akan tetap di sini, menunggunya bangun. Dan jika memang dia akan pergi, setidaknya dia telah memberiku satu alasan untuk tetap berada di sini, menunggunya, mencintainya."
Ana berjalan menghampiriku. "Aku tahu kau kuat. Aku tahu cinta kalian tidak akan terpisah hanya karena masalah sepele."
Ana menganggap apa yang sedang terjadi di antara aku dan Dewa adalah sebuah masalah sepele.
"Kau tahu resiko pekerjaan Dewa. Begitu juga denganku. Nyawa mereka berdua terancam. Sewaktu-waktu musuh-musuh kita bisa membinasakan mereka. Kau, aku, dan semua yang berkaitan dengan RTTech rentan terhadap kematian. Termasuk anak-anak kita kelak. Kita harus kuat. Kuat mengahadapi cobaan apapun yang mengancam kita semua. Kau harus tahu itu Gadis. Jangan takut, jangan lemah, orang-orang bisa dengan mudah menghancurkan kita jika kita terlihat lemah dihadapan orang lain. Tunjukkan taringmu, tunjukkan kekuasaanmu, tunjukkan siapa dirimu!"
"Aku belum menjadi bagian dari keluarga ini, An." kataku lemah.
"Siapa bilang? Apa maksudmu berkata demikian?"
Aku menghela napas sekali, "Aku dan Dewa belum resmi menikah."
"Kau sudah lama menjadi bagian dari keluarga RRTech meskipun kalian belum resmi menikah."
"Tapi," ada yang benar-benar mengganjal di dalam pikiranku.
"Kalau kau menginginkan pernikahan, aku bisa memberinya untukmu."
Ana berdiri di antara aku dan Dewa. Tangan kanannya mengambil tangan Dewa kemudian menyatukan dengan tanganku. Wanita itu berdeham sekali. Kemudian ia bertindak seperti seorang pendeta. Bertanya pada Dewa dan menjawabnya sendiri. Lalu bertanya padaku, aku menjawabnya.
"Sekarang kalian resmi menjadi suami-istri." Katanya. Ia lalu memintaku mencium Dew. Aku melakukannya.
Aku terharu dengan apa yang Ana lakukan. Wanita itu, meski sifatnya sangat keras, tapi hatinya sangat lembut.
"Hanya ini yang bisa kulakukan untuk kalian." Ana memelukku dan terisak dalam. "Maaf,"
"Ini lebih dari cukup, An. Terima kasih. Terima kasih banyak karena kau selalu ada di sisi kami di saat seperti ini."
"Ssttt.. Jangan bicara seperti itu. Kau lupa kira ini keluarga sekarang?"
"Tetaplah berdoa dan berpikir positif. Kita akan melewatinya bersama." Ana memintaku beristirahat dan kembali ke manssionnya.
Seharusnya aku sadar. Apa yang terjadi di antara kami bukanlah salah Ana. Seharusnya aku tidak membebaninya dengan keluhan-keluhanku. Ana sedang hamil. Mengurus Rachel, RRTech dan kandungannya pastilah bukan pekerjaan mudah. Kenapa aku masih membebaninya dengan mengeluh di depannya setiap saat? Bodohnya aku!
Sejak Dewa koma, Ana lah yang menggantikan posisinya. Mengurus banyak sekali berkas-berkas yang entah apa isinya. Dibantu salah seorang tangan kanan Dewa. Richard sibuk mengurus laboratorium, medan perang dan tempat-tempat lain. Jika tidak ada Ana, perusahaan ini entah jadi apa.
Ana memang dididik ayahnya untuk menjadi wanita yang kuat, cerdas dan tegas. Ayahnya adalah seorang pemilik club malam terkenal di seluruh dataran Amerika. Ibunya meninggal karena dibunuh, meninggalkan Ana yang malang. Usianya masih sangat belia ketika ibunya pergi. Saudara kembar ayahnya juga meninggal dibunuh bersama istri dan anaknya. Sejak saat itu, ayahnya bertekad akan melindungi Ana dari apapun.
"Aku minta maaf, seharusnya aku tidak bersikap seperti itu." kataku pada Dewa yang masih diam membisu.
"Kau tahu, Ana telah menikahkan kita." Sejujurnya aku tidak bisa menahan tawaku saat mengingatnya.
"Aku tidak tahu bagaimana melewati ini semua tanpa ada Ana di sini. Dewa, bangunlah! Aku ingin kita bersama lagi, seperti dulu. Tapi maaf, kita tidak hanya berdua sekarang. Ada anak kita, dia akan menjadi pengganggu kebersamaan kita. Kau pasti akan senang melihatnya! Atau jangan-jangan kau akan mengeluh karenanya?"
Aku menciumnya.
"Dewa, ini anak pertamaku. Kau tahu aku belum pernah punya anak sebelumnya, kau tahu aku hanya bercinta denganmu. Oh, maaf aku yang memperkosamu, jadi kau yang pertama merasakanku. Aku akan sangat kerepotan merawatnya. Kau harus bangun! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu! Kau harus membantuku merawatnya!"
Kali ini aku mengucapkannya dengan semangat. Tanpa keluhan dan air mata. Tuhan, cobaan yang kau berikan pada kami tidak akan membuat hubungan kami berantakan. Tidak akan membuatku menyerah untuk menunggunya bangun.
Dia pergi. Benar-benar pergi. Selama dua tahun ini, tidak ada kemajuan pada hubungan kami. Berkali-kali aku mencoba mendekatinya, menarik perhatiannya, tidak ada hasilnya. Dia justru semakin menjauh dariku.
Aku menang tidak pernah melihatnya bersama wanita. Entah di kampus atau di mana pun. Dia justru sering bersama seorang pria. Namanya Richard. Dewa sendiri bilang Richard adalah kekasihnya. Mungkin Dewa tidak tertarik pada wanita. Mungkin dia seorang homo.
Bagaimana dengan perasaanku yang terlanjur bersemi untuknya? Bagaimana aku bisa melewati hari-hariku tanpanya. Besok adalah hari penting bagi Dewa, dia akan di wisuda. Juga dengan Richard. Mereka hanya butuh dua tahun untuk menyelesaikan kuliah. Sungguh mengagumkan!
Lorraine Campelo.
Aku tertawa membaca halaman ini. Dewa dan Richard? Orang-orang memanggil mereka homo? Dosa apa aku bisa mengenal mereka berdua? Sedekat itukah hubungan mereka.
Dewa melanjutkan kulianya di salah satu universitas terbaik di sini. Bersama Richard lagi. Sesekali saat aku libur, aku menyempatkan mengunjunginya. Meskipun tidak menyapanya, setidaknya aku bisa melihatnya. Itu cukup bagiku.
Mungkin inilah cinta. Yang tak terbalaskan namun tetap setia menunggu. Menunggumu sesuatu yang tidak pasti.
Lorraine Campelo.
Halaman-halaman selanjutnya berisi tentang ceritanya saat berada di universitas. Kerinduannya pada Dewa. Dan bagaimana ia akhirnya bisa lulus dengan nilai sempurna. Semuanya dia lakukan demi Dewa. Demi terlihat sempurna di mata Dewa. Padahal Dewaku tidak pernah melihatnya. Miris.
Aku terus mencari tahu keberadaannya. Di London, muncul sebuah perusahaan tekonologi baru. Nama perusahaan itu adalah RRTech. Singkatan dari Ronald Richard Technologi. Kemajuan perusahaan itu menjadi perbincangan di dunia bisnis. Banyak sekali yang tertarik dengan produk yang mereka tawarkan.
Ceo perusahaan itu adalah Mr. Ronald. Ronald? Demi Tuhan! Aku tahu siapa dia! Dia Dewa Herlambang. Penglihatanku tidak mungkin salah! Aku berani bersumpah!
Lorraine Campelo.
Kurasa wanita bernama Raine ini memang sangat mencintai Dewa.
Aku melamar pekerjaan di RRTech. Diterima! Aku bersorak kegirangan! Aku akan punya banyak waktu untuk melihatnya.
Aku mulai bekerja minggu depan. Dan, ah iya! Aku akan berkerja satu kantor dengannya yang pasti!
Lorraine Campelo.
Aku kembali membuka halaman selanjutnya.
Aku melihatnya, Mr. Ronald atau Dewa Herlambang. Sama saja bagiku karena mereka satu orang. Masih menawan seperti saat pertama kali aku melihatnya. Kabar baiknya, Mr. Ronald sudah menikah, istrinya hampir melahirkan anak pertama mereka. Itu berarti mereka tidak homo.
Tapi kabar buruk itu datang. Dewa kembali ke negaranya, Indonesia. Dan entah kapan ia akan kembali. Semuanya menjadi sangat kacau bagiku. Mengacakan perasaanku yang semakin lama semakin tidak terkendali. Aku mencintainya. Aku menginginkannya menjadi milikku. Akan rela melakukan apa pun agar bisa terus bersamanya.
Lorraine Campelo.
Raine tidak hanya mencintai Dewa. Melainkan terobsesi pada Dewa.
Sekarang aku tahu, kepergiannya ke Indonesia bukan karena bisnis atau semacamnya. Dewa kembali ke Indonesia karena wanita. Hari ini, sebagian bodyguard RRTech ditugaskan ke Indonesia untuk menjaga acara pertunangannya dengan seorang wanita bernama Gadis.
Kau tahu bagaimana perasaanku? Ah, tidak perlu kujelaskan. Kaulah yang paling mengerti aku. Kau tentunya tahu bagaimana perasaanku saat ini. Apa kata yang tepat untuk mewakili kehancuran perasaanku ini? Tidak ada.
Aku lebih dari sekedar hancur. Aku hanya ingin dia untukku.
Lorraine Campelo.
Halaman ini mengingatkanku pada hari besar kami. Di mana Dewa merencanakan pertunangan kami. Aku justru tidak tahu-menahu soal itu. Ada Axel, Kayla, dan rekan-rekan kerja Dewa. Acara pertunangan kami bahkan disiarkan langsung di salah satu stasiun televisi. Aku juga tidak tahu. Sebagai hadianya, Dewa memberiku perusahaan property milik papa. Dan aset-aset lainnya. Aku tidak pernah menganggap pemberiannya. Betapa bodohnya aku. Ah, bukankan kalian juga tahu aku ini bodoh?
RRTech berpindah markas. Sebagian operasional perusahaan di pindahkan ke sebuah pulau baru. Hy-Brazil Island namanya. Pulau yang tidak tercantum di peta. Jadi tidak banyak yang tahu soal pulau itu.
Seiring berpindahnya markas RRTech, perasaanku pun semakin tak terkendali. Sebagian karyawan RRTech akan berpindah ke pulau baru itu. Sebagian akan menetap di London. Mereka akan mendapat giliran untuk kembali ke kota. Kebijakan itu diambil agar mereka tidak jenuh selama berada di pulau kecil itu. Pulau itu menakjubkan meskipun membosankan jika terlalu lama berada di sana.
Dewa belum juga kembali. Belum mengunjungi pulau baru ini meskipun sebuah manssion mewah telah selesai dibangun untuknya. Untuk pemilik perusahaan besar ini sekaligus istrinya.
Ya. Istrinya. Muak sekali aku mengucapkannya. Tak apa, aku telah menyusun rencana untuk mereka. Terutama untuk wanita sialan bernama Gadis itu!
Lorraine Campelo.
Rencana? Untukku dan Dewa?