“Kau mau menikah, kau telah memberikan hatimu kepada perempuan lain, kau bahkan akan memberikan tubuhmu kepada wanita itu, lalu aku masih harus patuh padamu, begitu?”
“Kau tak berhak membantahku, Bening! Kubilang jangan pergi!”
“Aku akan tetap pergi!”
“Tidak bisa! Kau tidak boleh pergiiiiiii …!”
Par!
Mas Sigit berteriak sambil memukul pintu kamar. Suara gaduh dan teriakan itu memancing perhatian seluruh keluarganya. Termasuk Yosa yang masih belum pulang juga. Hitungan detik, semua datang ke kamar sempit itu. Mereka berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah yang macam-macam.
Sempat kulihat Yosa menelepon seseorang, entah siapa dan untuk apa, aku tak sempat memikirkan.
“Apa ini?” tanya Ibu menyapu seluruh pemandangan di dalam kamar. Kamar yang sudah berubah seperti kapal pecah karena ulah anaknya. Pakaian kami berserakan di mana-mana.
“Bening mau pergi, Bu! Tolong bujuk dia agar jangan pergi! Mbak Ambar, Mbak Sekar, tolong berjanjilah pada Bening, kalian tak akan membabukan dia lagi! Tolonglah, Kalian sudah terlalu menyakiti perasaannya selama ini!” tutur Mas Sigit langsung mengadu kepada keluarganya.
“Ha, Bening mau pergi? Dan kau menuduh kami membabukan dia selama ini? Wah, sepertinya kau salah Git! Bening mau pergi itu bukan karena itu, tapi karena dia tidak bisa menerima Yosa sebagai madunya! Iiih, dasar perempuan gak tau terima kasih! Yosa udah berbaik hati mau mengangkat derajatnya juga anak-anaknya, malah milih mau minggat! Bodoh binti dungu itu namanya!” sergah Mbak Ambar.
“Pakai ngadu segala, kalau dia dibabukan di rumah ini? He, Bening! Kalau cemburu, ya, cemburu aja! Enggak usah nyerempet ke mana-mana! Lagian kau pantas kok jadi babu di rumah ini, asal kau tahu, tenagamu itu belum setara dengan makanan yang ditelan olehmu dan anak-anakmu selama ini! Hitung pakai otakmu! Kau dan anak-anakmu itu empat orang, makan tiga kali sehari, di kali tiga puluh hari dalam sebulan, itu udah berapa duit! Kau pikir gratis!” Mbak Sekar menimpali.
“Sudah! Tak perlu bahas lagi semua itu. Seperti yang ibu bilang tadi. Sigit akan tetap menikahi Yosa dengan atau tanpa izin dari Bening! Kalau dia tidak setuju, dia boleh keluar dari rumah ini! Jadi, silahkan kau pergi! Bawa anak-anakmu ini semua!” Ibu segera menyela. Wanita sombong itu malah mengusirku.
“Baik! Terima kasih!” ucapku langsung meraup semua pakaian yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam koper.
“Tidak! Bening tidak boleh pergi! Kalau dia pergi aku batal menikahi Yosa!” teriak Mas Sigit mengagetkan semuanya. Kecuali aku.
Aku sama sekali tak peduli apapun yang terjadi. Aku sedang sibuk karena kesulitan memasukkan pakaian karena tak terlipat lagi. Koper menjadi tak muat.
“Mas, kamu mimilih batal nikahin aku demi Bening?” Yosa melangkah masuk. Perempuan itu mendekati calon suaminya. Sempat kulihat mereka saling bertatapan lama. Tapi, aku sudah tak peduli.
“Nada, sini adek, Nak, biar mama yang gendok, kamu tarik kopernya, ya, ayo, kita pergi!” kataku seraya meraih Bima dari gendongan Nada.
“Sini!”
Aku tersentak kaget. Yosa tiba-tiba merebut Bima dari gendonganku.
“Kau saja yang pergi, Bening! Anak-anak tak akan ada yang boleh pergi! Mereka anak-anak Mas Sigit! Aku yang akan menjadi ibu mereka!” ungkapnya seraya menyerahkan Bima kepada Mas Sigit.
“Kau! Tidak! Kau boleh mengambil laki-laki pengecut itu! Tapi tidak dengan anak-anakku!” teriakku merebut kembali Bima dari tangan Mas Sigit. Tapi Yosa segera memalangkan tubuhnya. Tanganku tak bisa menjangkau Bima di belakangnya.
“Yosa, benar kamu mau mengurus anak-anak Sigit?” tanya Ibu terlihat sangat gembira.
“Iya, Bu. Mas Sigit berat melepas Bening bukan karena cinta pada Bening, tapi karen aenggak bisa berpisah dengan anak-anaknya. Aku akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Mas Sigit, termasuk menyayangi anak-anaknya!” jawab perempuan itu mencari muka.
“Kau memang calon menantu yang sangat sempurna, Sayang!”
“Lepasin adek, Papa! Kami mau pergi sama mama!” Nada membantuku merebut Bima. Tangisnya pecah seketika. Rara ikut melakukan hal yang sama. Suasana menjadi semakin gaduh.
“Selamat malam, maaf, ada apa ini sebenarnya, Bu Yosa?”
Serempak semua menoleh ke arah pintu. Seorang pria berdasi datang dengan di dampingi oleh dua orang satpam komplek.
“Oh, Pak Kamil sudah datang? Maaf, semuanya, Pak Kamil ini adalah pengacara saya. Dan kau, Bening, dengar, ya! Aku dan Mas Sigit akan menuntutmu secara hukum bila kau membawa kabur anak-anak ini!” ancam Yosa menatapku penuh kemenangan. Kini aku tahu, rupanya pria ini yang diteleponnya tadi.
“Begini Pak Kamil, Si Bening mau minggat membawa anak-anak calon suami saya. Tolong Bapak jelaskan pada perempun ini pasal yag akan menjeratnya bila memaksa membawa anak-anak kabur sedangkan dia tak akan sanggup memberinya kehidupan yang layak! Jangankan untuk pendidikan, untuk makan saja dia tak akan sanggup berikan! Jelaskan pada dia, Pak!” lanjutnya lagi.
Aku terperangah bingung. Benarkah aku akan dipenjara bila aku bawa minggat anak-anakku? Saat belajar di banku SMP dulu, aku tak ada mempelajari tentang itu. Aku juga tak pernah mendengar tentang pasal-pasal dan hukum hukum. Bagaimana ini? Bodohnya aku, Tuhan.Apa yang harus aku lakukan sekarang?
“Bu Bening. Benar apa yang dibilang oleh Bu Yosa. Ibu tidak boleh membawa kabur anak-anak bila kehidupan mereka akan terlantar. Ibu akan terkena pasal menelantarkan anak di bawah umur!” Pria berdasi dan terlihat sangat berpendidikan itu mengingatkanku.
Aku terbentur sekarang. Kepalaku serasa mau pecah. Tubuhku lemas. Mereka akan menyeretku ke dalam penjara, itu yang terbayang di otakku. Jika aku di penjara, siapa yang akan menyusui Bima? Siapa yang akan menjaga anak-anakku? Saat aku ada saja mereka tak ada yang perhatikan, apalagi jika aku di penjara?
Otakku tak sanggup berpikir terlalu jauh lagi. Daya nalarku terlalu rendah untuk mencerna lebih jauh. Ancaman mereka sukses mematikan keberanianku. Aku yang bodoh berhasil merena takut takuti. Aku yang tak makan bangku sekolahan berhasil mereka ancam.
“Mama ….” Nada dan Rara memeluk pinggangku. Mereka ikut ketakutan sepertiku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Bima tiba-tiba mengoar. Tangisnya memecah susana menambah kebisingan.
“Nih, susui dia! Lalu rapikan kembali semua pakaian itu!” perintah Mas Sigit menyerahkan Bima kepadaku.
Satu persatu manusia-manusia tak punya hati itu pergi meninggalkan aku dan anak-anakku. Yosa bahkan sudah berani bergelayut di bahu suamiku. Mereka berjalan di depanku. Keluar dari kamar sempit itu.
*****
Bersambung, ya.
Terima kasih selalu mendukung saya. Jangan emosi karena Bening belum bisa lepas dari keluarga sombong itu, ya. Bening wanita yang kuat, cerdas, dan tangguh. Hanya saja saat ini, dia masih terkungkung dan terintimidasi dengan ancaman. Bening yang hanya lulusan SMP dan belum memiliki pengalaman hidup, akan segera bangkit dan melawan. Tapi, tentu saja butuh proses.