7 | Goodbye, Delta!

1845 Words
“Kalau yang lo mau bukan gue? Gue bisa apa?” — Deana ••• Sejak pembicaraan Delta dan Deana 2 minggu yang lalu, Delta selalu mengajak Kenna ke apartemennya, hampir setiap perkuliahan selesai. Deana kadang muak saat tengah malam gadis itu belum juga beranjak pulang. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu kekperlihatkan kemesraannya dengan Kenna di hadapannya hanya agar membuat Deana cemburu kemudian menyerah. Deana tahu itubtapi ia tidak bisa terus-terusan memberontak seperti yang sudah-sudah karena itu hanya akan membuat usahanya selama ini akan sia-sia. Biarlah, untuk beberapa waktu ia membiarkan semua mengalir sesuai alur yang sudah Delta tentukan. Deana mengarahkan pandangannya ke sekitar kemudian menghela napasnya dalam. Ia sudah selesai mengemas semua barang-barangnya dan siap pergi. Hari ini, Deana memutuskan untuk kembali ke rumah—tidak, ralat— pergi ke suatu tempat, yang jauh dan tidak bisa ditemukan oleh Delta sekalipun. Setelah memikirkan semuanya semalaman, tekadnya sudah bulat. Ia akan menepi untuk beberapa waktu sambil memikirkan bagaimana selanjutnya. Deana tahu ini egois karena melepaskan tanggungjawabnya menjaga Delta dan lebih memikirkan perasaannya sendiri. Tapi, itu lebih baik. Setidaknya untuk sementara. Ponselnya berdering, menampilkan pesan dari seseorang yang mengatakn jika ia sudah ada di lobi apartemen. Deana langsung memasukan ponsel tersebut ke dalam tas dan membawa kopernya keluar dari apartemen tersebut mumpung Delta masih terlelap dalam tidurnya. Memikirkan lelaki itu, entah mengapa membuat pikirannya melayang pada kejadian tadi malam. Namun, dengan cepat Deana mengenyahkan bayangan itu karena meski sangat berarti untuknya, tetapi tidak untuk Delta. Itu pasti hanya sebuah kesalahan baginya dan Deana bernuat tidak akan pernah memberitahunya. Biarlah itu menjadi rahasianya. Sebelum pergi, Deana kembali menoleh pada ruangan apartemen tersebut. Gue bakal kangen banget sama tempat ini. Good bye, Ta. Jaga diri lo baik-baik. Gue bakal kangen banget sama lo, batinnya. Ia kemudian segera menutup pintu dan menguncinya. Deana menarik koper yang dibawanya dan berjalan ke arah lobi. Ya, meninggalkan semuanya, termasuk Delta. — Mobil melaju keluar dari ibu kota. Deana tersenyum tipis, batinnya berucap selamat tinggal pada kota kelahirannya itu. Ia bukan hanya meninggalkan kota kelahiran, Papa Alderaldo, Delta, dan semua kehidupannya di sana. Tapi ia juga meninggalkan almarhum kedua orangtuanya juga Almarhum mama Larasathy. Dalam hati, Deana tak henti merapalkan doa meminta pengampunan pada almarhum kedua orangtuanya dan mama Larasathy. Semua ini berat untuknya, tapi ia harus melakukannya. Meski sampai saat ini Deana masih tidak bisa memutuskan untuk apa atau siapa dia melakukan semua ini. “Na, kita bisa balik lagi kalau lo gak siap,” celetuk seseorang, berhasil mengalihkan perhatian Deana. Ia menoleh ke arah orang yang sejak tadi dikiranya fokus menyetir. “Nggak. Keputusan gue udah bulat,” bantah Deana. “Harusnya lo gak pergi kalau niat lo pengen ngelindungi Delta, Na.” Deana menghela napasnya dalam. “Terkadang kita harus menjauh beberapa saat untuk tahu perkembangan musuh. Kalau gue terus di samping Delta, pergerakan Kenna dan rencananya nggak akan kebaca,” ungkap Deana. Dalam hati lelaki itu setuju. “Lo yakin tujuan Kenna deketin Delta cuman sekedar nguras harta Delta? Meskipun iya, bukannya masalahnya gampang? Lo bisa bilang itu ke bokap lo, dan dia bisa beresin semuanya.” Deana tahu itu. Bagi papa Altheraldo, uang bukanlah segalanya jika parasit seperti Kenna pada akhirnya bisa menyingkir. Papanya bisa memberikan apapun yang gadis itu inginkan dengan mudah dan menyuruhnya menjauh dari kehidupan Delta untuk selama-lamanya. Then, semua masalah terselesaikan. Tapi Deana merasa semua tidak semudah itu. Setiap kali dirinya melihat Kenna, ia merasa ada hal lain yang gadis itu inginkan dari Delta. Deana beberapa kali memergoki Kenna. Sorot matanya tiap kali memandang Delta, itu berbeda. Teduhnya seperti ada luapan mendalam yang belum bisa Deana artikan apa maksudnya. “Itulah gunanya lo di sana. Tugas lo sekarang menggantikan gue. Gue merasa Kenna punya maksud lain yang mungkin aja membahayakan Delta.” Lelaki itu menoleh. “Gue?” “Of course! Lo juga gak mau kan kalau sesuatu terjadi sama Delta? Gue tahu lo sebenernya peduli sama dia. Lagipula ... gue gak bisa percaya sama orang lain. Lo juga tahu itu, kan?” Sesaat, susana hening. Lelaki di samping Deana hanya diam seolah memikirkan sesuatu. Itu sulit, sudah pasti, mengingat hubungannya dengan Delta yang akhir-akhir ini tidak terlalu baik. Namun, pada akhirnya ia setuju, membuat Deana sedikit merasa lega. Cirebon. Dari sekian banyak kota yang ada di indonesia, Deana memilih kota Cirebon untuk menepi. Ia yakin, meski termasuk kota yang cukup besar Delta tidak sampai berpikir ke sana mengingat baik orang tua Deana atau pun kakek neneknya tidak berasal dari kota ini. Itu pun jika lelaki itu mencarinya. Tapi sepertinya tidak mungkin sehingga Deana cepat-cepat mengenyahkan harapan kecil ingin dicari itu. Mobil terus melaju ke arah selatan, pada bagian Cirebon paling ujung. Hampir berbatasan dengan kota selanjutnya yaitu kuningan. Deana memang tidak memiliki sanak sodara di sini, namun dia mempunyai teman yang kebetulan bersedia memberikan tempat saat dirinya bercerita tentang segalanya. Deana merasa beruntung dan bersyukur, sungguh. Akhirnya, mobil berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar tidak juga kecil. Sederhana tapi terlihat begitu asri dengan banyaknya tanaman bunga di pekarangan rumah dan beberapa pohon yang tidak terlalu besar namun cukup menjadi peneduh rumah. Deana turun dari mobil dilanjut dengan lelaki itu yang segera berjalan ke arah bagasi untuk mengeluarkan koper Deana. Tak lama, pintu rumah tersebut terbuka dan menampilkan seorang gadis yang tersenyum ke arahnya. “Deanaaaa,” panggil gadis itu kemudian berjalan ke arah Deana lalu memeluknya. “Long time no see!” ucapnya sambil merenggangkan pelukannya. “Long time no see juga,” timpal Deana sambil mengulas senyum. “Tasya, kenalin ini temen gue,” ujar Deana seraya memperkenalkan lelaki yang bersamanya pada Tasya. “Oh, hai... Gue Tasya. Salam kenal, ya.” Lelaki itu balas tersenyum sambil menjabat tangan Tasya. “Salam kenal juga.” “Ayo masuk. Kalian pasti lelah. Gimana Cirebon? Gak macet-macet amat, kan?” “Ya... lumayan, Lah.” — Delta langsung menelpon Deana saat pihak lobi memberikan kunci kedua yang selama ini dipegang oleh Deana. Pihak lobi juga memberitahu bahwa Deana pergi bersama seorang lelaki dengan membawa koper. Tapi, panggilannya sama sekali tidak di gubris oleh Deana. Pasalnya, saat menelpon pihak rumah, mereka mengatakan jika Deana tidak ada di sana. Menelpon Mauren pun jawabannya sama saja. Itu semakin membuat Delta kalang kabut. Cemas, khawatir, campur aduk semuanya. Tidak mendapatkan titik terang, Delta akhirnya memilih untuk masuk ke apartemennya dengan lesu. Sejak mengetahui Deana tidak masuk kampus tadi pagi sebenarnya Delta sudah merasa ada yang tidak beres. Ia khawatir gadis itu sakit tapi ternyata semua diluar dugaannya. Deana pergi, menghilang... dan yang membuat Delta cemas setengah mati adalah gadis itu pergi bersama seorang pria. Delta tahu betul jika Deana jarang bergaul bahkan dengan lawan jenis selain dirinya dan Alden. Saat menelfon Alden pun lelaki itu mengatakan tidak tahu menahu mengenai Deana. Delta takut jika sesuatu terjadi pada Deana. Bagaimana jika... Shit! Ia mengumpat dalam hati. Ia benci pikirannya yang traveling kemana-mana. “Ya Tuhan.. lo pergi kemana sih, Na? Jangan bikin gue cemas bisa gak, sih?!” gumamnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya di wajah. Ia kemudian beranjak menuju kamar Deana. Dengan gusar ia membuka pintu kamar gadis itu berharap Deana ada di sana. Tapi ternyata tidak. Kamar itu tentu saja kosong. Delta langsung berjalan ke arah lemari dan semua baju-baju Deana tidak ada di sana. Menandakan jika gadis itu memang benar-benar pergi. Raganya benar-benar lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya pada lantai dan bersandar pada lemari. Memandang nanar pada kamar kosong tersebut. Delta kembali meraih ponselnya, mencari nama Deana dan menelponnya. Berharap kali ini gadis itu mau mengangkatnya. Lama berdering, tidak ada tanda-tanda telponnya diangkat. Dua kali, tiga kali, lima kali, Delta refleks membanting ponselnya ke lantai. Ia meremas kepalanya frustrasi. “Astagaa Anna lo dimana, sih!!!!” Delta memandang nanar pada tempat tidur Deana. Di sana, di atas laci kecil itu, matanya menemukan sesuatu. Ia segera bangkit dari posisinya, mengambil secarik kertas tersebut lalu membacanya. Teruntuk Delta Ta, sorry kalau gue pergi nggak pamit. Tapi, gue nggak bisa terus-terusan pura-pura semuanya baik-baik aja padahal nggak. Gue cemburu Ta, ngeliat lo sama Kenna yang semakin hari semakin gak bisa dipisahin. Seberapa besar pun usaha gue, tetep nggak akan ngerubah pandangan lo jadi noleh ke arah gue. Gimana bisa gue tetep bertahan kalau yang lo mau bukan gue? Taaa, gue sayang sama lo. Walau gue tahu lo gak mau denger kalimat itu, gue tetep pengen bilang. Baik-baik di sini ya, Ta. Tugas lo jangan lupa kerjain. Kan, gue udah gak bisa ngerjain tugas lo lagi mulai sekarang ... Terus, jangan lupa sarapan. Gue udah beli beberapa roti sama selai kesukaan lo. Jadi lo tinggal buat aja. Maaf gak bisa bikinin lo sarapan kayak biasa lagi... Sedih sih, tapi gue harus, Ta... Semoga lo bahagia selalu. Jangan cari gue karena lo gak akan mungkin bisa nemuin gue. Kita jalani hidup masing-masing, ya? Lo seneng kan pada akhirnya gue gak jadi penghalang kebahagiaan lo sama Kenna? :) Makasih buat semuanya, Ta ... I love you my husband... So much❤ Delta meremas kertas tersebut dan membuangnya ke sembarang tempat. Ia menendang dan melempar apapun yang ada di kamar Deana. Ia benci kepergian Deana, ia benci perasaan gadis itu untuknya, ia benci dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga Deana. “Aaarrrggghhhttt!” — “Papa tidak bisa ikut campur urusan kalian lagi. Kamu sudah menjadi suami sekarang. Jadi, belajarlah untuk menyelesaikan masalah rumah tanggamu sendiri, Delta,” ujar sang Papa yang sama sekali tidak membantu. Delta terdiam. Papanya berkata benar. Memang, sekarang konteksnya sudah berbeda. Dan sialnya Delta lupa status sialan tersebut. Ralat, bukan lupa tapi dirinya memang tidak pernah peduli pada status apapun yang bukan menjadi keinginannya. Di benaknya, pernikahan tersebut hanya sebuah formalitas yang kapan saja bisa ia lepas. “Delta, belajarlah untuk menerima Anna di hidup kamu mulai sekarang. Papa tahu kamu tidak memperlakukan Anna seperti seharusnya dan masih terus berhubungan dengan gadis itu.” “Pa ....” “Berhentilah. Dan cari Anna-ku sampai ketemu. Dia istrimu dan kamu yang wajib mencarinya, bukan Papa. Papa harap, kamu tidak mengecewakan permintaan terakhir ibumu,” ujar Papanya, menatap Delta serius. “Tapi, Pa ... Delta gak punya perasaan apa-apa sama Anna. Nggak sedikit pun, Pa... Delta udah anggap Anna adik Delta sendiri dan itu nggak akan berubah sampai kapan pun, Pa. Begitupun dengan Anna,” sanggah Delta. “Perasaan itu nggak bisa di paksa. Papa juga pasti ngerti itu. Cepat atau lambat, Delta akan mengurus perceraian kami. Anna berhak menemukan kebahagiaannya begitupula Delta, Pa,” putus Delta pada akhirnya. Ia sengaja tidak menceritakan bagian perasaan Deana padanya. Itu hanya akan semakin mempersulit keadaan. Biarlah cukup dirinya yang tahu. Refleks papa Alderaldo menggebrak meja kerjanya. Ia tidak percaya jika anaknya begitu keras kepala. “DELTA!” Delta bangkit dari posisinya. “Nggak, Pa. Cukup. Delta cuman sayang sama Kenna. Delta janji akan cari Anna dan menyelesaikan semuanya.” Setelah mengatakan itu, ia kemudian berlalu dari ruangan sang Papa. Papa Alderaldo memandang kepergian anak keduanya masih tidak habis pikir. Ia ingin menahan namun tersadar jika ia juga tidak bisa terlalu memaksakan. Semua butuh jeda dan Papa Altheraldo yakin, Deana pasti bisa meluluhkan hati anaknya suatu hari nanti. —
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD