“Ini… ini tidak mungkin,” gumam Bulik, memegang dadanya yang mulai naik-turun. Ia memandang ke arah jendela yang sebelumnya terkunci rapat, tetapi kini terbuka lebar.
Wentira tiba-tiba muncul di depan pintu kamar, wajahnya lebih serius dari biasanya. Tanpa basa-basi, ia melangkah masuk dan memeriksa jejak kaki itu. Kemudian, ia berdiri tegak dan memandang Bulik dengan sorot mata penuh arti.
“Ini pertanda buruk,” ucap Wentira. “Soca Ludira telah menunjukkan dirinya, tetapi tidak sepenuhnya. Dia menandai Lintang sebagai miliknya. Jika tidak segera diselesaikan, ini akan menjadi masalah besar, bukan hanya untuk Lintang, tetapi untuk seluruh desa.”
Lintang terdiam, bingung dan takut. “Apa maksudnya, Kak Wentira? Apa yang harus diselesaikan? Bukankah pernikahan sudah selesai tadi malam?”
Wentira menggeleng perlahan. “Pernikahan itu hanyalah awal. Soca Ludira tidak akan sepenuhnya hadir kecuali kamu benar-benar menerima takdirmu. Dia masih menguji keberanianmu. Jika kamu tidak bisa membuktikan keberanianmu, dia akan terus mengganggu—atau lebih buruk, mengambilmu ke alamnya.”
Lintang mundur selangkah, merasa tubuhnya melemas. “Aku tidak ingin ini… Aku tidak ingin menikah dengannya. Aku tidak ingin menjadi miliknya!”
Bulik mencoba menenangkan Lintang, memeluknya erat. Namun, Wentira tetap berdiri tegap, suaranya tegas. “Kalau begitu, kita harus mencari cara untuk memutus ikatan ini. Tetapi itu tidak mudah. Soca Ludira bukan makhluk biasa. Dia setengah manusia, setengah dewa yang telah moksa. Untuk melepaskanmu darinya, kita harus melibatkan danyang penjaga desa. Itu satu-satunya cara.”
Lintang merasa dunia seakan runtuh. Segalanya terlalu cepat, terlalu menakutkan. Tetapi di lubuk hatinya, ia tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan ini. Dengan gemetar, ia mengangguk.
“Apa pun yang harus aku lakukan… Aku akan melakukannya. Aku tidak ingin dia terus mengejarku.”
Wentira mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus bersiap malam ini. Kita akan mengadakan ritual untuk memanggil Danyang Desa Cangkiran. Tapi ingat, Lintang, keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Jika Danyang tidak bersedia membantu, maka kamu harus menghadapi Soca Ludira sendiri.”
Lintang menelan ludah, bulu kuduknya kembali berdiri. Ia tahu, malam itu akan menjadi malam yang panjang dan menakutkan—bahkan mungkin lebih menakutkan dari malam sebelumnya.
Lintang duduk di ujung ranjang dengan tubuh gemetar. Pikirannya berputar tentang kejadian semalam. Jejak kaki hitam di lantai, kehadiran Soca Ludira yang penuh misteri, dan ritual yang direncanakan Wentira membuat hatinya semakin berat.
Namun, dalam keheningan pagi, ia merasa dirinya terbaring di ranjang, meski sebelumnya ia yakin duduk di ujungnya. Lintang memandang sekeliling dengan bingung. Ia merasakan ada sesuatu yang berubah di kamar itu—lebih sunyi, tapi juga lebih mencekam.
Tiba-tiba, sebuah cahaya biru terang menyeruak dari sudut kamar. Cahaya itu membentuk bola, perlahan berubah menjadi sosok bayangan hitam. Tubuh Lintang membeku. Ia tak bisa bergerak atau berbicara, seperti tubuhnya tertahan oleh kekuatan tak terlihat.
“Siapa kamu?!” teriak Lintang akhirnya dengan suara yang gemetar.
Bayangan itu perlahan memudar, memperlihatkan seorang pria dengan wajah tampan mengenakan pakaian serba hitam. Mata pria itu memandang Lintang dengan tatapan lembut, namun menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Kamu pasti menungguku, istri kecilku,” ucap pria itu dengan suara yang rendah namun penuh wibawa.
Lintang terkesiap. “Apakah… apakah kamu Soca Ludira?”
Pria itu tersenyum tipis. “Namaku Mahesa. Aku bukan hantu, aku manusia, meski alam kita berbeda. Dan ya, aku adalah suamimu.”
Lintang mundur sedikit, memeluk lututnya erat. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. “Kenapa kamu datang ke sini? Apa yang kamu inginkan dariku?”
Mahesa melangkah mendekat, mengambil sesuatu dari jarinya—sebuah cincin dengan batu merah menyala. “Aku datang untuk memberikan ini, pengantin kecilku. Cincin ini adalah perlambang ikatan kita. Ia juga akan melindungimu. Jangan pernah melepasnya.”
Ia meraih tangan Lintang yang gemetar, lalu memasangkan cincin itu di jari manisnya. Anehnya, cincin itu langsung menyesuaikan ukuran jarinya. Lintang hanya bisa menatap tak percaya.
“Ini tidak masuk akal…” bisik Lintang.
Mahesa duduk di sampingnya, memandangnya dengan senyuman yang anehnya menenangkan. “Tidak apa-apa, Lintang. Kamu akan memahami segalanya ketika waktunya tiba. Untuk sekarang, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu di sini, menjagamu.”
Lintang tidak tahu harus merasa lega atau semakin takut. Sosok Mahesa terlalu nyata untuk dianggap mimpi, tapi terlalu aneh untuk diterima sebagai kenyataan. “Lalu… apa yang terjadi nanti? Apakah kamu akan terus datang?” tanyanya dengan suara bergetar.
Mahesa mengangguk pelan. “Ketika usiamu delapan belas tahun, aku akan menyelesaikan tanggung jawabku sebagai suamimu. Sampai saat itu, jangan biarkan siapa pun merusak ikatan kita. Jangan jatuh cinta pada pria lain.”
Lintang menelan ludah. Kata-kata itu seperti beban berat di pundaknya.
Mahesa tersenyum sekali lagi sebelum membaringkan tubuh Lintang dengan lembut di ranjang. “Tidurlah, aku akan pergi untuk sekarang. Tapi ingat, panggil aku jika kamu membutuhkan. Aku akan datang.”
Lintang memejamkan mata, tubuhnya masih gemetar. Ketika ia membuka mata beberapa saat kemudian, Mahesa telah hilang, dan pagi telah berganti siang.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bulik masuk, diikuti oleh Wentira. Tatapan mereka langsung jatuh pada cincin di jari Lintang.
“Lintang… dari mana kamu mendapatkan cincin itu?” tanya Wentira dengan nada penuh arti.
“Dia… dia memberikannya padaku,” jawab Lintang terbata-bata. “Dia bilang dia suamiku. Tapi… aku tidak tahu apakah itu mimpi atau nyata.”
Wentira hanya mengangguk kecil, wajahnya serius. “Cincin itu bukan sembarang cincin. Ia memiliki kekuatan. Dan kamu harus menjaganya, Lintang. Jangan sampai hilang.”
Lintang hanya bisa mengangguk, sementara Bulik memeluknya erat. “Ingat, Lintang,” ujar Bulik lembut, “kamu harus kuat. Tidak ada jalan kembali. Kamu telah menjadi istri seseorang, dan dia bukan manusia biasa.”
Lintang menatap pantulan dirinya di cermin setelah Bulik dan Wentira pergi. Wajahnya yang muda tampak lelah dan bingung. Ia menyentuh cincin di jarinya, merasa ada beban besar yang belum ia pahami sepenuhnya. Di usia yang masih belia, hidupnya berubah menjadi sebuah misteri besar yang penuh ketakutan dan tanggung jawab.
Terkadang aku bingung dengan nasibku sendiri. Bagaimana aku bisa menikah dengan makhluk dari alam lain. Arti menikah pun aku masih belum paham apapun. Tuhan aku ingin hidup normal seperti yang lain.