Aku dan Yuuki terus bernyanyi sepanjang jalan. Sesekali kami bertepuk tangan diseilingi tawa renyah yang hanya aku dan anak gadisku saja yang terdengar, sementara Kuroda-san, dia hanya fokus pada jalanan.
Hari ini Sabtu, dan seperti rengekan Yuuki setiap hari pada ayahnya, kami memutuskan untuk pergi ke Kobe, ke rumah orang tuaku. Meski sebenarnya jarak antara rumah kami ke rumah ayahnya Kuroda-san jauh lebih dekat, tapi entah kenapa Alpha ku ini jauh lebih akrab dengan orang tuaku daripada dengan orang tuanya sendiri.
Bukan hanya ayahnya, tapi juga ibunya pun begitu. Meski Hiro sering datang ke rumah untuk bermain dengan Yuuki, menginap bahkan sesekali membawa Yuuki menginap di rumah ayahnya—komisaris Marumaki, tetap saja hubungan Kuroda-san sama sekali tidak bisa seakrab bagaimana dia dengan orang tuaku.
“Papa~” teriak Yuuki dari jok belakang.
“Hm?”
Lima tahun kami menikah, tapi tidak ada yang benar-benar berubah dari Kuroda-san. Dia tetap pria yang sangat irit bicara, sangat tenang meski kadang aku tahu kalau dia sedang sangat marah, ah, tidak ... dia sangat menakutkan waktu marah. Aku masih ingat bagaimana marahnya dia saat aku nyaris kehilangan Yuuki karena Mihara Kuji.
Ah, lupakan tentang cerita itu. Aku sudah terlalu sering mengingat cerita itu sampai rasanya sangat muak. Sekarang aku sudah sangat bahagia hanya hidup dengan mereka.
“Yuu mau beli jajan sebelum ke lumah kakek.” Sahut gadis kecil dengan rambut panjang setengkuk itu.
“Jajan apa? Sebentar lagi kita akan sampai.” Jawab Kuroda-san sangat jelas, tanpa berniat menghentikan mobilnya.
“Yuu mau beli jajan es klim, Papa~”
“Hei, di rumah kakek juga ada banyak.” Aku menahan keinginan anak perempuanku.
Bukan karena aku tidak sayang padanya, tapi karena memang ayah dan ibu selalu menyiapkan jajanan kesukaan Yuuki setiap kali kami mengatakan kalau kami akan datang kemari. Entah itu cemilan, es krim atau nugget dan makanan instan lainnya yang memang selalu disukai oleh anak-anak, mungkin karena alasan itu juga Yuuki sangat sering merengek untuk diajak datang kemari.
“Tapi Yuu mau es klim cokelat, Maachan~”
“Nenek juga punya di rumah, ka—“
“Sudah, sudah, aku juga ingin beli sesuatu, kita berhenti di toserba dekat rumah.” Kuroda-san menengahi perdebatan kami.
Selalu saja seperti ini. Setiap aku dan anak gadisnya sudah beradu mulut, Kuroda-san seperti enggan mendengar lebih banyak suara-suara yang keluar dariku dan dari Yuuki. Dia ini seperti ... apa ya, seperti sudah terlalu malas mendengar aku dan Yuuki bertengkar dia jadi sangat jengah.
Mobil kami berhenti tepat di depan toserba yang berada tak jauh dari rumah ayah dan ibuku. Setelah mobil Kuroda-san berhenti, Yuuki langsung berlari masuk ke dalam toserba tanpa bisa kutahan. Begitulah dia, selalu seperti anak kecil, ah ... dia memang masih anak-anak.
“Mau turun atau tetap di sini?” tanya Kuroda-san sambil membuka seat belt –nya.
“Kau mau beli apa memangnya?”
“Rokok.”
“Kau masih merokok?” tanyaku penasaran.
Tentu saja, karena dari yang kuingat, Kuroda-san sudah sangat jarang merokok dan nyaris tidak pernah merokok ketika dia di rumah, terlebih di depan Yuuki, dia benar-benar memproteksi dirinya sendiri dari rokok ketika berada di dekat anak gadisnya.
“Tidak, tapi rasanya aku tidak biasa kalau tidak membawa rokok di saku celanku.” Jawabnya kemudian keluar dan menutup pintu mobil.
Aku menghela napas panjang.
Sungguh, aku tidak paham apa yang ayah dan anak itu pikirkan, mereka selalu bertindak di luar akal manusia. Padahal hanya tinggal beberapa meter lagi kami akan tiba di rumah ayah dan ibu, tapi dia malah berhenti di sini hanya untuk membeli sekotak rokok? Lalu anak itu, apa-apaan juga dia dengan merengek ingin membeli es krim sementara dia pasti hafal benar kalau kakek dan neneknya pasti sudah menyiapkan banyak sekali es krim di lemari es untuknya.
“Haaa~ aku tidak pernah bisa membayangkan kalau sampai aku harus menambah satu anak lagi nanti.”gumamku pada diriku sendiri sambil menghela napas panjang dan menyandarkan kepalaku pada bantalan kursi.
Tentu saja, sudah tiga kali aku hampir saja kebobolan lagi oleh Kuroda-san, kalau saja aku tidak bertengkar dengannya dan memarahi dia soal menambah anak, mungkin sekarang aku sudah sedang mengandung dan aku akan sangat kerepotan seperti waktu aku mengandung Yuuki.
Aku bahkan masih ingat bagaimana aku merengek pada Kuroda-san tentang aku ingin makanan atau minuman yang tidak lazim di dapatkan di jam-jam tertentu. Belum lagi tingkat emosianalku yang tidak tidak pernah stabil setiap kali berurusan dengannya. Ya, aku sering uring-uringan pada Kuroda-san, memarahinya untuk alasan-alasan tidak jelas bahkan aku sering memintanya untuk tidak tidur satu ranjang denganku.
Dulu mungkin rumah kami hanya satu petak tanpa sekat, jadi kalau pun Kuroda-san tidak tidur di ranjang, aku masih bisa melihatnya tidur di sofa di depan televisi dari tempat tidur kami, tapi serang ... aku hanya bisa melihat dinding kalau sampai dia tidur di sofa itu lagi.
Aku tidak mungkin setega itu padanya sekarang, terlebih Yuuki juga sudah besar. Dia pasti akan bertanya tentang banyak hal yang rasanya enggan sekali kujelaskan. Ingat, kalau rasa ingin tahu anak-anak itu sangat tinggi untuk berbagai alasan yang tak bisa dijelaskan oleh kami orang dewasa.
Yuuki juga tahun ini baru masuk tahun pertama sekolahnya. Aku cukup beruntung karena anak itu adalah seorang Alpha seperti ayahnya, meski kami belum tahu apakah dia dominan seperti Kuroda-san juga atau tidak, tapi setidaknya Yuuki punya simpati dan sikap arogan tinggi seperti kebanyakan Alpha. Karena itu aku harus benar-benar mendidik anak itu agar dia tidak jadi Alpha kurang ajar seperti kebanyakan Alpha yang kutemui di luar dulu.
“Maacha~”
Teriak Yuuki dari luar, aku membuka kaca jendela dan membalas lambaian anak itu.
Rambut panjang sebahu anak itu memang terikat, namun ikat rambut yang dipakai anak itu kendur, sedikit rambutnya terlihat mencuat ke luar dan sedikit berantakan oleh gerakannya sendiri, meski begitu sepertinya Yuuki sama sekali tidak bermasalah. Tapi aku akan memperbaiki ikat rambut anak itu nanti di rumah ibu. Selain ikat rambutnya yang tidak teratur, aku juga melihat anak itu menunjukkan sekeranjang penuh es krim yang dia ambil dari freezer.
Melihat apa yang diambil Yuuki, aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Entah dia akan benar-benar menghabiskan semua itu atau tidak. Tapi tetap saja, aku tidak bisa memarahinya di depan Kuroda-san. Karena jika aku melakukan itu di depan ayah anak itu, maka aku yang akan dapat hukuman.
Ya, hukuman yang menyebalkan.
Aku memutar bola mataku jika aku mengingat hal itu. Di saat begitu, Kuroda-san benar-benar menyebalkan. Tapi, bisa apa aku kalau aku tidak pernah bertemu dengannya.
“Maachan~ lihat! Yuu beli es klim!” tunjuknya padaku setelah Kuroda-san menyruhnya keluar lebih dulu membawa sekantung penuh berisi es krim, sementara Kuroda-san masih berada di kasir untuk membayar apa yang anaknya ambil.
“Yakin mau menghabiskan itu?” tanyaku penasaran.
“Yakin! Yuu suka es klim!” jawab Yuuki dengan mata berbinar. Tapi aku tidak langsung mengiakan apa yang dikatakan oleh anak gadisku itu. Aku hanya tersenyum sambil mencubit gemas pipi bulatnya.
“Sudah tidak ada lagi yang ingin dibeli, Yuu?” tanya Kuroda-san setelah dia keluar dari toserba dan membantu anak gadisnya masuk ke dalam mobil.
“Ndak ada, Yuu cuma mau es klim.” Jawab Yuuki dengan suara cempreng khas miliknya.
“Kalau begitu duduk yang benar, kita akan langsung ke rumah nenek. Dan Papa minta, kamu jangan nakal di sana, ingat untuk membantu nenek juga nanti, ya?”
“Baik, Papa~”
Aku tersenyum.
Begitulah Kuroda-san. Dia selalu menasehati Yuuki seperti itu, untuk membantu pekerjaan ayah dan ibu di rumah selama kami di sana, dan jika sampai Kuroda-san tidak melihat membantu ibu ayah di pekerjaan mereka, maka Kuroda-san akan mengancam Yuuki untuk tidak akan pernah membawa Yuuki lagi kemari. Tentu saja itu membuat Yuuki langsung kelabakan, bukan hanya karena di tempat ini anak itu akan bebas dari omelanku, tapi juga di tempat ini juga anak itu selalu dimanjakan.
Ya, ayah dan ibuku selalu memanjakan cucu pertama mereka ini dengan berbagai macam cara, entah itu dari makanan atau dari apa yang mau dilakukan anak itu tanpa harus dilarang, tidak sepertiku dan Kuroda-san yang akan selalu melarang semua hal sebelum kami tahu apa yang akan dilakukan anak itu benar-benar aman dan bermanfaat untuk dia atau tidak. Entah itu untuk membelikan mainan atau bepergian, karenanya anak ini sangat betah berlama-lama tinggal di Kobe, bahkan pernah dia menolak untuk pulang ke Kansai bersama kami dan ingin terus berada di sini bersama kakek dan neneknya. Tapi, tentu saja itu ditentang oleh Kuroda-san.
Sudah kubilang kalau jarak antara toserba dan rumah orang tuaku tidak terlalu jauh, jadi hanya sekitar lima menit mobil kami berjalan, kami sudah tiba di depan rumah.
Seperti biasa, Yuuki akan langsung berlari keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah sambil teriak memanggil kakek dan neneknya. Bahkan teriakanku untuk bersikap sopan pun tidak dia dengarkan.
“Kau masuklah, biar aku yang mengeluarkan tasnya.” Ujar Kuroda-san.
“Baiklah, maaf merepotkan.”
“Hm.”
Seperti perintah Kuroda-san, aku turun dari mobil, sementara dia membenarkan parkiran mobilnya sebelum mengeluarkan tas milik kami dan Yuuki sebelum masuk ke dalam rumah. Sementara aku, sudah mengekor Yuuki yang lebih dulu berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak-teriak tidak jelas memanggil ayah dan ibu. Hanya saja, aku tidak menemukan siapa pun di dalam sini, pergi ke mana ayah dan ibu? Tidak biasanya mereka ada di luar sementara mereka tahu kalau kami akan datang kemari hari ini.
“Ke mana mereka?” gumamku saat aku juga tidak melihat ibu di mana pun. Padahal biasanya, ibu adalah orang yang paling pertama menyambut kami dan memeluk Yuuki.
“Maachan~ kakek sama nenek mana?” tanya Yuuki sambil turun dari lantai atas.
“Mungkin ke ladang.” Jawabku, padahal aku sendiri tidak tahu apakah mereka benar-benar pergi ke ladang atau tidak.
“Kenapa?” tanya Kuroda-san setelah membawa masuk tas kami ke dalam rumah dan meletakkannya tepat di sisi tangga.
“A—“
“Papa, kakek sama nenek nggak ada.” Sahut Yuuki mendahului suaraku.
Kesal juga kadang-kadang melihat dia selalu dapat perhatian lebih dari ayahnya, dan selalu melampauiku melakukan semua hal untuk Kuroda-san, tapi bagaimana pun dia anak kami, tidak mungkin aku cemburu pada anakku sendiri.
“Oh, telepon saja kakek. Pasti kakek bawa ponsel, kan?” jawab Kuroda-san.
Aku berani bertaruh, kalau Yuuki lah yang sudah mengubah pria kaku yang menyebalkan di hadapanku sekarang ini. Karena bagaimana pun, memang kurasa tidak akan pernah ada orang yang bisa mengubah tabiat dingin dari seorang Kuroda Shouhei.
Ya, lihat saja betapa akurnya dia dengan adik perempuannya, tapi sedekat apapun mereka, tetap saja Hiro tidak mengubah banyak hal dari diri Kuroda-san, bahkan selalu seperti itu sejak dulu. Tapi setelah Yuuki lahir, semuanya seperti berbeda.
“Papa~” teriak Yuuki setelah dia menutup telepon, setelah berhasil menelepon ayah yang entah ada di mana sekarang, “kakek bilang, kakek akan pulang sekalang!”
“Ah, kalau begitu jangan nakal.” Ujarnya dan dijawab anggukan penuh semangat dari anak itu.
“Aku akan membawa tas naik dulu.” Ujarku pada Kuroda-san dan dijawab anggukan ringan olehnya.
Sementara aku membawa naik tas kami ke atas, kulihat Yuuki menghampirinya dan mengeluarkan plastik berisi es krim yang mereka beli dan mulai memakannya sambil sesekali berceloteh, melihat itu sekali lagi aku tersenyum karena keakraban mereka benar-benar membuatku takjub, karena Kuroda-san memang hanya bisa bersikap manis hanya pada anak itu. Tidak padaku.
Padaku? dia hanya akan selalu bertingkah dingin, bahkan hanya mengatakan sesuatu yang penting-penting saja, ringkas dan bahkan tidak pernah terlihat kalau dia benar-benar peduli pada apa yang kulakukan, sama seperti ketika kami sebelum menikah.
Ah, rasanya sangat menyebalkan mengingat seperti apa aku dan Kuroda-san dulu sebelum kami bisa seperti ini.
Aku masuk ke dalam kamar lamaku, di mana kamar itu masih tetap sama seperti terakhir kutinggalkan saat aku pergi ke Tokyo untuk bekerja di hari pertamaku dalam satuan. Tidak ada yang berubah, bahkan ibu masih membiarkan semua perabotan milikku tetap pada tempatnya, tidak menggesernya seinci pun bahkan ibu benar-benar merawat semua benda-benda milikku dengan sangat baik.
Aku membuka laci paling bawah dari meja komputer di hadapanku. Di dalam sana aku menemukan beberapa benda yang memang tidak pernah kubuang sejak sangat lama.
Jika dilihat, benda-benda itu hanya sebuah sampah. Seperti botol bekas air mineral, brosur makanan di mini market, bahkan kartu kereta keluaran lama yang masih kusimpan, entah itu akan masih bisa digunakan atau tidak, tapi yang jelas aku masih menyimpan semuanya.
Benda-benda ini memang hanya sampah di mata orang lain, tapi tidak di mataku. Karena benda-benda ini, semuanya mengarah pada orang yang kunikahi sekarang. Orang yang tidak sengaja kutabrak hingga ponsel yang dia gunakan waktu itu sampai jatuh dan hancur terinjak olehku, juga orang yang menolongku untuk banyak hal, entah itu saat aku kelaparan karena menunggu orang yang memiliki cincin yang ku pungut di sungai dengan membelikanku makanan, atau dia yang memberikanku suppressant di stasiun, bahkan dia yang menolongku saat heat pertamaku tiba hingga akhirnya aku tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ayahku menarikku kembali kemari karena alasan keselamatanku, hingga akhirnya kami bertemu lagi di Tokyo, menikah dan memiliki Yuuki.
Ya, orang itu adalah Kuroda Shouhei.
Pasanganku. Mate –ku. Hidupku.
_