“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah.
Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.
“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi.
Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu.
“Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dion. Dia dan Hilman sudah berdiri tak jauh dari kami.
“Uhuyyy, disamperin cogan!” pekik Mirna. Matanya seketika berbinar melihat dua orang pebasket dari kelas kami dulu. Tubuh sama tinggi, hanya saja kulit Dion sedikit lebih hitam dari pada Hilman yang putih kebule-bulean. Teman-temanku dulu sering mengoloknya bule nyasar, karena dia sendiri yang kulitnya berbeda.
“Ahm, Yon! Kebetulan kamu ke sini! Kali kamu ada rencana buat lebarin sayap bisnis orang tua kamu ke bidang waralaba minimarket! Ini Renata mau jual butuh! Murah banget cuma lima ratus jutaan doang. Tadinya aku mau ambil, tapi kelupaan kalau sudah janji mau investasi sama Mr William. Hmmm … maklum artis baru, duit di rekening ya cuma baru ada lima M.”
Dewi langsung saja nyerocos seolah tak memberiku ruang. Sepertinya dia bahkan tak siap ketika hanya mendengar aku tertarik dengan tawaran renata. Bisa jadi dia tak mau tersaingi karena sejak tadi hanya dirinya yang dielu-elukan, tak rela jika aku yang memang kastanya di bawah dia, tiba-tiba punya nama. Namun gak apa, sih, bagiku. Toh niat mau beli minimarket pun bukan buat sombong, hanya saja mendengar dan melihat kesungguhan Renata untuk terlepas dari utang riba, membuat ada yang tersentuh dari lubuk hati di dalam sana. Namun, jika Dion mau ambil, berarti porsi pertolongan Renata tetap akan ada, meskipun bukan dariku dan sama sekali bukan masalah bagiku.
“Wah, beneran, Re? Sudah hak milik atau sewa bangunannya?” Kedua mata elang itu tampak berbinar mendengar tawaran yang dilontarkan Dewi. Dia menarik kursi lalu duduk diikuti oleh Hilman pada meja kami.
“Tadi sih ayu sudah tanya, itu sudah hak milik, Yon! Bisnisnya waralaba dan sudah sistem autopilot, enak sebetulnya dan omsetnya juga masih bagus … tapi ya gitu, aku kelilit hutang, Yon! Hmmm … tadi ayu sudah tanya juga, aku pastiin dulu karena Ayu duluan yang nanya. Kalau dia gak ambil baru lempar ke kamu. Hmmm, Yu kamu jadi ambil gak?” Renata menoleh ke arahku. Seperti yang kubilang, jika dia selama ini cukup netral orangnya. Dia pun tak mempermasalahkan jika aku atau siapapun yang membeli, sepertinya.
“Ya ampuuun, Re! Kamu pikir Ayu serius! Mana ada dia uang! Gaji ngajar TK berapa, sih? Kisaran lima ratus ribuan saja ‘kan? Nah kalau mau dapat lima ratus juta harus berapa ribu tahun dia nabung, Re?” kekeh Dewi seraya menatap sinis ke arahku. Baiklah, aku tinggikan dulu keinginanmu, Dew! Biar kamu puas, sebelum nanti pingsan pada akhirnya.
“Iya, Re! Aku cuma nanya doang! Ingat ada kenalan yang dulu pernah nyari minimarket, tapi kalau Dion mau ambil … jual ke Dion saja yang lebih pasti, soalnya kamu butuh cepet ‘kan ‘ya?”
Aku tersenyum menanggapi cemoohan Dewi. Langit tak perlu berkata kalau dirinya tinggi, semua orang sudah tahu ketika menyebut langit maka dia itu posisinya di mana. Sedangkan yang selalu menyatakan dirinya tinggi, sebetulnya dia hanya orang yang butuh pengakuan karena sebetulnya posisinya belum di sana dan aku akan memberikan pengakuan itu pada Dewi. Merendah, agar dirinya tetap merasa tinggi.
“Tuh, bener ‘kan, Re! Kamu itu jadi orang kok polos banget, Re, Re!” kekeh Salsa yang tampak ikut-ikutan tersenyum puas ke arahku.
“Yu, kamu tertarik buat bisnis minimarket? Wah keren kalau gitu, gimana kalau kita berpartner?”
Tiba-tiba Dion menatapku dengan mata berbinar. Aku mendongak, menoleh ke arahnya sekilas. Namun lekas membuang pandang melihat sepasang manik hitam itu menatapku dengan lekat.
Duh, hati kok jadi dag dig dug kayak gini, sih?
“Ahm, aku mana paham, Yon! Aku awam masalah bisnis-bisnisan,” kekehku seraya menunduk. Duh, ini tangan jadi salting malah memilin-milin ujung kerudung, untung di bawah meja.
“Kalau kamu belum paham, aku bisa ajarin kok, Yu! Gimana kalau besok bisa lihat bareng-bareng saja unitnya! Baru kita putuskan mau seperti apa?”
Dion menatap dengan wajah berbinar ke arahku. Aku mengangkat wajah, sekilas terbersit rasa ingin mencoba, apalagi yang akan jadi partnernya adalah Dion. Ingin juga membuktikan pada orang tua Dion yang melarang hubungan kami dulu kalau aku tak semiskin yang mereka kira. Aku bukan tipe perempuan manja yang bisanya hanya menghabiskan uang mertua dan suami. Namun, jujur … aku masih nyaman dengan statusku yang tersembunyi seperti sekarang ini. Duhhh … galau jadinya. Please hatiiii, ambil keputusan!
Dewi tiba-tiba terbatuk-batuk, lalu seketika mengalihkan obrolan.
“Pak Faqih! Sini, Pak!” Dia memekik pada mantan wali kelas kami yang tampak baru selesai menyapa beberapa kerumunan mantan siswa.
Lelaki berlesung pipi itu menoleh dan tersenyum. Pak Faqih lekas berjalan mendekat pada meja kami.
“Bapak boleh gabung?” tanyanya seraya menarik kursi di samping Hilman.
“Boleh dong, Paaaak!” koor dari kami yang duduk berbaris pada dua sisi dan saling berhadapan dengan meja.
Renata yang tampak merasa terancam jika obrolan akan dialihkan, lekas mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya. Lalu dia sodorkan kepadaku dan Dion.
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut.
Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion?
Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku?