Mobil fortuner milik Dion terus membelah keramaian. Aku duduk dengan jantung yang berdgub-degub. Tak bisa dipungkiri jika keberadaannya mampu membuka lembaran memori yang sudah kulipat rapat-rapat. “Hmmm, mau makan dulu, gak?” Suaranya terdengar lembut bertanya. “Makan?” Bimbang, antara mengiyakan dan tidak. Bukan apa-apa, aku hanya takut jika rasa ini semakin subur saja dan akan berakhir kecewa. “Aku sudah lama gak makan menu angkringan dekat alun-alun kota! Di sana ada bubur ayam yang enak banget, loh!” Aku masih berpikir, kadang lemot emang. Di dalam sini ribut berperang antara hati dan logika. Masih teringat kata-kata ibu padaku. “Neng, kita harus bisa ngukur diri. Kita bukan orang kaya. Jadi kalau mau cari jodoh yang sepadan saja. Gak perlu kaya, cukup dia baik, dewasa, sayan