Bab 4

1131 Words
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri. “Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa. “Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!” Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kumpulnya angkatan kami yang jumlahnya sekitar 250 orang dari seluruh kelas. Beruntung Renata datang di saat yang tepat, ucapan Dewi jadi tak ada yang menanggapi. Dion pun tampak melipir ke arah para kaum lelaki yang mulai berdatangan. Apalagi waktu sekolah, dia memang memiliki geng solid yang menjadi satu tim basket tangguh di sekolahan. “Hay, Re! Wah anaknya cantik banget! Beda ya kalau istri pengusaha, sih, bling-bling!” celoteh Salsa sambil mencubit pipi Cici. Sementara itu, Cici tampak cemberut dan menepis tangan Salsa. “Sudah deh gak usah bawa-bawa suami! Paksu kutinggal dulu, biar bebas nanti kita rumpi-rumpi!” kekehnya seraya melirik kepada kami. Dia memang supel, meskipun tak ada yang dekat denganku selain Harum, tetapi ketika sekolah, Renata merupakan orang yang cukup netral dan tak memihak pada geng-geng yang tercipta di dalam kelas. Setelah dipersilakan oleh Pak Faqih, aku pun pada akhirnya ikut dengan Renata yang sialnya dia lebih memilih bergabung dengan Dewi dan teman-temannya. Sudahlah ikut saja dulu, biar nanti kalau ada kesempatan misah, baru cari cara buat memisahkan diri. Aku membantu membawakan kotak kue milik Harum dan Azriel, karena dia harus menggendong balita yang menggemaskan itu. Lalu aku, Harum, Renata, Mirna, Salsa, Dewi dan tiga orang teman lainnya yang ikut mengekor, duduk mengelilingi satu meja. “Ya ampuuun, Rum! Anak kamu montok banget, sih? Umur berapa?” Renata menatap Harum ketika kami pada akhirnya sudah duduk mengelilingi meja yang sengaja ditarik dan disatukan. “Dua setengah tahun, Re!” “Kok baru dua setengah tahun, eh iya, ya, kamu nikahnya telat, sih, ya? Anakku sudah lima tahun, tokcer soalnya!” kekehnya. “Ya gak apa lah, Re! Kalau jodoh sudah datang, ya gimana lagi? Masa kita tolak!” tukas Harum seraya tersenyum. “Iya lagian kamu keren tahu, Re. Dapet suami pengusaha! Beuhhh … aku juga kalau ada pengusaha tajir kayak suami kamu yang nyasar, sudah kuembat!” Mirna menimpali seraya mengunyah potongan kue yang dia masukkan ke dalam mulut. “Yah, kadang orang hanya saling pandang, Mir! Asal kalian tahu, menjadi istri pengusaha itu tak seindah yang dibayangkan. Bahkan dua minimarket paksu sudah dijual, kami terlilit hutang, Mir!” wajahnya berubah sendu. Namun satu hal yang aku suka dari Renata, dia itu blak-blakan dan apa adanya. “Ya ampuuun, maaf banget, Re!” Mirna tampak merasa tak enak. “Iya gak apa-apa, makanya aku seneng banget mau ada reuni ini, ya kali teman-teman yang sudah sukses bisa bantu ekonomi aku. Sekarang sisa dua minimarket lagi yang masih di pegang suami, satunya lumayan sih, omset per bulan itu dua ratus lima puluh jutaan, tapi ya salah kami sih yang dulu mentingin gaya hidup, kalau gak dilepas ya kami masih pontang-panting nutup cicilan! Hmmm … kali dari kalian ada yang mau ambil alih, jual butuh saja mau kulepas lima ratus juta!” tukasnya dengan wajah sendu. Kami semua saling terdiam. Angka yang disebutkan oleh Renata bukan main-main, lima ratus juta. Sebetulnya uang tabunganku dari hasil menulis selama lima tahun, ditambah dari kontrak film kemarin lebih dari dua kali lipatnya angka tersebut. Namun, aku sendiri masih takut kalau mau investasi dan aku bingungan orangnya. Jadinya selama hidup, hanya kuambil sedikit saja untuk keperluan sehari-hari dan menyenangkan Ibu. Selebihnya aku hanya berusaha hidup memakai gajiku dari ngajar TK dan hidup sederhana. Toh tempat tinggal sudah gak nyicil walau memang tak besar. Tanah dan rumah peninggalan almarhum Ayah sudah cukup untukk bernaung. Lagian aku gak mau orang-orang tahu kalau aku banyak uang. Di rumah aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Aku takut kalau ada orang yang mau berniat jahat gimana? Karenanya hidup sederhana menjadi pilihan. “Dew! Kamu ‘kan jadi bintang di film terbaru yang fenomenal itu! Ayolah bantu Renata, tabungan kamu pasti banyak ‘kan?” Mirna menatap sohibnya yang sejak tadi tampak tak fokus. Aku tahu sudut matanya mengarah ke mana? Sejak tadi dia sibuk memperhatikan Dion yang tengah berbincang dengan teman-teman satu angkatan lainnya. “Ah, iya kenapa, Mir? Bantu Renata maksudnya?” Dewi seperti baru tersadar akan topik obrolan kami. Dia gegas menoleh pada Renata. “Dia sedang terlilit hutang, Dew! Kamu kan artis! Duitnya banyak pasti! Bantulah Renata, kasihan!” Mirna mengulang lagi kalimatnya. “Ya alhamdulilah sih kalau masalah uang, meskipun aku bukan orang pintar dan kebanggaan sekolah dulunya, tapi kalian lihat sendiri lah! Aku sudah jadi bintang iklan juga, sekarang sudah tanda tangan kontrak juga untuk main film! Ya you know lah, kira-kira berapa,” tukas Dewi dengan bangga. “Kalau gitu belilah Dew, minimarket aku mau dilepas murah saja! Aku terbantu banget kalau kamu mau beli! Aku benar-benar ingin terlepas dari hutang riba. Capek aku, Dew! Harga temen, dua kali bayar juga gak apa, Dew!” Renata tampak mengiba. Tampak beban yang menggelayut itu begitu nyata. “Berapa emang harganya? Kamu remehin aku ya sampai nyuruh dua kali bayar?” kekeh Dewi seolah merasa tersindir. “Tuh, Re! Dewi itu artis, kamu jangan khawatir, duit dia pasti banyak!” Mirna tampak bangga sekali pada sahabatnya itu. “Alhamdulilah, semoga pertolongan ini datang dari acara reuni ini! Gak mahal, Dew! Aku lepas minimarketnya seharga lima ratus juta saja!” Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam d**a. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang dibayar ratusan ribu per hari ada juga yang hanya puluhan ribu itu pun hanya beberapa scene biasanya. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD