Kicauan burung yang bertengger di atas ranting pohon mangga terdengar sampai ke kamar oma Fani sore ini. Kicauan yang menakutkan dari burung Kedasih meresahkan hati Maira saat berada di dapur.
Konon burung Kedasih memiliki mitos seram dari dulu. Maira mengingat perkataan mamanya saat kecil, kalau ada suara burung itu maka dalam waktu dekat akan ada orang yang meninggal.
Hatinya tak menentu, meski itu hanyalah mitos tapi dia cukup khawatir pada kondisi Oma yang sedang sakit.
"Hush, Hush, Burung pergilah!" ucap Maira sembari menuangkan teh ke cangkir kesayangan Oma Fani di dapur.
Maira melangkah pelan menuju kamar Oma. Terlihat Oma masih membaca sebuah buku harian masa mudanya, berulang kali Jarinya membolak-balik lembaran yang berisi kenangan bersama almarhum suami tercinta.
Maira menyuguhkan teh pada Oma diiringi sebuah senyuman.
"Oma sedang lihat apa?" tanya Maira penasaran.
"Haha. Oma teringat sama opa, dia masih sangat tampan di sini," jawabnya sambil menukarkan teh yang diberi Maira dengan buku harian usangnya.
Maira melihat foto Opa yang tampan persis seperti Oma bilang. Pria itu menggunakan baju kemeja putih dimasukkan ke dalam celana kain cokelat muda. Rambutnya disingkirkan ke kanan.
Maira tersenyum dan tertawa kecil. "Sangat tampan! Pantas aja Oma bisa suka sama opa dulu," sahut Maira dengan polosnya.
"Iya, Opa dulu rebutan gadis-gadis di sekolah. Oma ingat sekali kenangan itu, saat opa lari dari seorang perempuan agresif dan menabrak Oma yang sedang melamun di koridor lantai dua. Haha," jelas Oma sambil menatap taman dari jendela.
Maira menemani Oma menghabiskan secangkir teh berteman rindu pada masa mudanya. Oma menunjuk ke arah lemari, meminta Maira mengambil sebuah kotak biru dan membawanya ke pangkuan Oma.
Ketika dibuka ternyata isinya adalah sebuah gelang antik bermata merah. Dia menarik tangan Maira dan memakaikan gelang itu padanya.
"Cantik kan?" tanya Oma tersenyum manis melirik ke arah gelang.
"Iya, cantik sekali," jawabnya.
"Oma berikan ini untukmu, tolong dijaga baik-baik," pinta Oma mengejutkan Maira yang sedang memandangi gelang itu.
"Hmm? Kenapa gitu?"
"Oma merasa kamu pantas pakai gelang ini, kenangan yang ada di sini lebih berharga."
"Kenangan? Ada kisah apa dibalik gelang ini, Oma?" tanya Maira penuh penasaran.
"Dulu ini adalah hadiah dari opa untuk Oma, gelang pembawa rezeki ini," jawab Oma Fani mengelus bahu Maira yang duduk di hadapannya.
"Pembawa rezeki?"
"Iya, Nak! Oma harap kamu bisa dilimpahkan rezeki setelah Oma tiada nanti. Oma tidak bisa menjaga kamu terus."
"Oma ini bicara apa?" Maira tiba-tiba sesegukan sedih dan meneteskan airmata. Memeluk erat Oma yang sedang duduk di kursi rodanya.
Oma Fani sudah sakit sekitar 5 tahun, tepat sebulan setelah suaminya meninggal karena kecelakaan. Batinnya yang terkejut ditinggal oleh suaminya, membuat Oma jadi hidup sebatang kara. Selama 37 tahun menikah mereka tidak dikaruniai keturunan. Hidup berdua rukun dan selalu romantis.
Pernah ada seorang anak yang mereka adopsi bernama Joko Hermanto, tapi begitu dia tahu kalau mereka bukan orang tua kandungnya Joko pun pergi dan kembali pada ibunya di Sulawesi.
Oma Fani kembali kesepian. Hingga akhirnya tidak sengaja bertemu dengan Maira di Kebumen. Saat itu Maira hidup sebatang kara semenjak peristiwa tsunami di Pangandaran tahun 2006. Maira mencari pekerjaan disekitar pantai, sambil menanti Ayahnya yang hilang tertelan ombak.
Sampai sekarang dia tidak tahu bagaimana nasib ayahnya itu, masih hidup atau sudah tiada. Saat itu Maira masih SMP, tinggal berdua dengan ayahnya di daerah kebumen. Ibu Maira sudah tiada sejak dia kecil, meninggal karena sakit jantung.
Hampir dua tahun Maira selalu berdiri di pinggir pantai berharap ayahnya muncul dan memeluknya. Tapi harapan itu tak nyata sedikit pun, hanya meninggalkan luka kehilangan dan kerasnya hidup seorang diri.
Kembali ke masa lalu.
Oma Fani bersama Opa pergi liburan di sekitar pantai Petanahan, menghadiri acara temannya.
Maira yang bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe bertemu dengan Oma untuk pertama kalinya.
Entah mengapa Oma dapat membaca kesedihan Maira dari raut wajahnya yang cantik. Oma mahir sekali membuat Maira buka suara tentang keadaannya yang masih polos dengan hati rapuh.
"Hei, Nak! Kemari," panggil Oma setelah mengantarkan dua gelas teh.
"Ya, Nek?" Maira mendekat.
"Duduklah," pinta Oma Fani.
"Maaf, Nek, saya sedang bekerja. Nanti bos marah kalau saya duduk," jawab Maira.
"Tidak masalah, duduk sini." Oma menarik tangannya dan Maira terpaksa duduk di sampingnya.
Ia mengelus rambut dan menyelipkannya di belakang telinga. "Kau cantik sekali, siapa namamu?" tanya Oma.
"Maira, Nek." Ia tersenyum.
"Maira, nama yang sangat cantik seperti wajahmu. Panggil saya dengan sebutan Oma Fani," pinta wanita itu.
Maira tersenyum lagi dan mengangguk.
"Jam segini kenapa gak pergi ke sekolah?" tanyanya."
"Maira gak sekolah, Oma."
"Kenapa?"
"Gak ada biaya, Maira aja tinggal di warung ini."
"Orang tuamu mana?"
"Ibu sudah meninggal, ayah hilang."
"Hilang? Hilang bagaimana?" Oma bingung.
"Ayah hilang saat kejadian tsunami waktu itu."
"Ya, Allah." Menetes air mata Oma mendengar perjuangannya yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena hidup seorang diri.
Mencari sesuap nasi aja susah, apalagi melebihkan rezeki untuk sekolah. Gaji pelayan kafe di sana sangat minim bahkan dipotong dengan alasan ini itu, Maira rela tidur di kafe itu sangking tidak punya biaya menyewa rumah.
Bergetar sanubari seorang perempuan paruh baya itu dan memegang kuat tangan Maira. Beliau menawarkan untuk tinggal bersama dengannya di Bogor, Maira awalnya menolak dengan alasan takut merepotkan.
Oma menjelaskan padanya bahwa dia hanya tinggal berdua dengan suaminya saja. Beliau butuh seseorang untuk menemani dan menjaganya.
Dia meminta agar dirinya dianggap sebagai neneknya saja, tapi harus menyayangi sepenuh hati. Maira tersentuh dan menyetujui penawaran Oma Fani, begitu juga Opa yang terlihat bahagia. Maira meminta ijin pada pemilik kafe untuk ikut bersama dengan mereka.
"Kau yakin? Gimana kalau dia mau menjual kau? Pikirkan lagi lah," kata ibu itu.
Maira melirik ke arah mereka beberapa kali. Namun, hatinya merasa dimana saja pun ia berada tetap sama keadaannya. Sendirian.
"Terimakasih, Bu, sudah membantu Maira selama ini. Maira yakin. Nenek itu butuh pekerja di rumahnya."
"Ya sudahlah, jika itu maumu. Pergi sana, kalau ada apa-apa jangan menyesal!" bentaknya melepas kepergian anak itu.
Maira menunduk dan segera mengambil pakaiannya di dalam kamar.
"Kau kenapa membentaknya?" tanya suami wanita itu.
"Kesal aku! Kurang baik apa coba? Sudah aku kasih tinggal di sini, kasih makan, kasih uang jajan malah mau pergi."
"Kau ini. Dia butuh kasih sayang dan kau tidak bisa memberikannya."
"Halaah! Merepotkan saja." Wanita itu membanting sendok dan pergi.
Maira membawa tasnya dan pamit untuk kedua kalinya pada mereka. “Saya minta maaf jika melakukan kesalahan, kalian baik pada Saya. Sampai kapan pun tidak akan saya lupakan bantuan ibu dan bapak selama ini.”
“Yah, semoga kau bisa menjalani hidup lebih baik lagi,” sahut suaminya. Maira melirik istrinya yang tidak kuat melihat anak itu pergi.
“Sampaikan salamku untuk Ibu ya, Pak.”
“Iya, Maira. Sudah pergilah sana.”
Maira melihat ke arah kafe sebelum benar-benar meninggalkan kampung halamannya. Ia juga melihat lautan dan berharap agar ayahnya bisa segera kembali.
Ayah, Maira pergi ya. Maira sayang Ayah.
Maira pergi dengan perasaan sedih, pergi meninggalkan tanah kelahirannya demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Di sini mereka selalu membuatnya makan hati. Tiap malam harus menanggung pegal kaki serta tangannya karena lelah.