"Dania ...."
Nama itu terucap dari bibir suamiku bahkan ketika ia sedang terlelap. Aku yang masih terjaga di sampingnya tak kuasa menahan tangis saat mendengar nama wanita lain yang mungkin saja tengah menjadi bunga tidurnya.
Dania.
Wanita cantik yang beberapa bulan lalu meninggalkan rumah ini karena tugasnya telah selesai.
Dania.
Mantan adik maduku yang berbaik hati memberikan Ayra, bidadari cantik buah cintanya dengan Mas Hanif untuk kurawat dan kubesarkan seperti anak sendiri.
Satu tahun yang lalu, ibu mertuaku membawa seorang gadis cantik yang merupakan putri dari sahabatnya yang tengah kesusahan karena terlilit hutang. Gadis tersebut menawarkan diri untuk memberi keturunan pada keluarga ini dengan imbalan hutang-hutang orang tuanya akan dilunasi oleh mertuaku.
Keinginan mereka untuk segera menimang cucu membuatku dan Mas Hanif tidak bisa menolak. Kondisiku yang tidak akan pernah bisa memberi keturunan untuk keluarga ini menjadikanku tidak mempunyai kuasa untuk sekedar mengutarakan keinginan tidak ingin dimadu.
Ya ... aku hanyalah wanita tak sempurna yang dinikahi oleh pria sempurna seperti Mas Hanif. Rahimku diangkat akibat kecelakaan yang menimpaku lima tahun yang lalu, dan aku bukan hanya kehilangan rahim, tetapi juga orang tuaku secara bersamaan.
Pada akhirnya, aku harus ikhlas berbagi suami dengan wanita yang usianya lima tahun lebih muda dariku. Hampir setiap hari aku harus menahan cemburu ketika melihat suamiku memperlakukan Dania seperti ia memperlakukan diriku.
"Raga Mas memang terbagi. Tapi percayalah, cinta Mas hanya untuk kamu," bisik Mas Hanif di suatu malam saat ia melihatku menangis setelah mendengar kabar kehamilan Dania.
Aku ingin mempercayai ucapannya. Namun, saat melihat perlakuan Mas Hanif yang begitu manis terhadap istri keduanya, aku makin ragu bahwa aku masih satu-satunya wanita yang ada di hati suamiku.
Puncaknya, tiga bulan setelah Dania pergi dari kehidupan kami dan meninggalkan Ayra, Mas Hanif berubah menjadi lebih pendiam. Tak jarang ia mengabaikanku yang berada di sisinya dan berusaha mencairkan suasana. Raga suamiku memang ada bersamaku, tetapi sebagian jiwanya ikut pergi bersama mantan istri keduanya.
Apakah aku sudah tidak berarti lagi bagimu, Mas? Apakah tiga tahun kebersamaan kita tidak berarti sama sekali jika dibandingkan satu tahun kebersamaan kalian?
Aku akui, Dania adalah wanita sempurna yang menjadi idaman para Pria. Bukan hanya cantik parasnya, tetapi juga tutur kata dan perangainya selalu mampu mengundang kekaguman. Aku saja sebagi sesama wanita seringkali terpesona menatap segala kelebihan yang ada dalam dirinya, apalagi suamiku yang bukan hanya sekedar menatap, bahkan bisa menyentuhnya sebab mereka terikat hubungan halal.
Keberadaan Ayra sama sekali tidak bisa mengalihkan ingatan Mas Hanif dari bayang-bayang Dania. Percuma aku mendekatkan mereka jika pada kenyataannya Mas Hanif justru lebih menginginkan Dania berada di sampingnya, ketimbang aku dan putrinya.
Haruskah aku menyerah, Mas? Haruskah aku membawa Dania kembali dan mengikhlaskan kamu untuknya?
********
"Bisa kita bicara, Mas? Aku ingin mengatakan sesuatu," pintaku sebelum ia terlelap. Malam ini aku sudah memutuskan untuk mengutarakan isi hati yang beberapa bulan terakhir aku pendam sendirian.
"Boleh, Sayang. Mau bicara apa, hmm?" Ia berkata sangat lembut. Tangan kokoh itu membelai pipi ini hingga aku memejamkan mata, menikmati sentuhannya yang sangat aku rindukan.
"Sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang akan aku katakan membuat Mas tidak nyaman," ujarku memberanikan diri membalas tatapan teduhnya yang selalu berhasil membuatku luluh.
"Aku merasa ... akhir-akhir ini Mas lebih sering melamun. Aku sering memergoki Mas duduk sendirian dengan tatapan kosong dan aku menyadari, Mas menjadi seperti ini semenjak kepergian Dania."
"Isma ...."
"Mas sering mengabaikan keberadaanku dan Ayra. Mas seperti tenggelam dalam khayalan Mas sendiri."
"Sayang ...."
"A-apa sebenarnya Mas mencintainya? Apa Mas menyesal karena telah melepasnya?"
"Tidak, Sayang. Bukan seperti itu."
"Mengaku saja, Mas. Jangan mengelak lagi." Tangisku pecah. Makin ia mengelak, makin yakinlah diri ini bahwa dugaanku selama ini benar.
Mas Hanif menatapku sendu. Aku benci diriku sendiri yang terlihat menyedihkan di depannya.
"Jawab, Mas! Kenapa kamu diam saja? Kamu mencintai Dania, kan? Kamu bukan hanya menginginkan Ayra tapi ibunya juga?" cecarku. Tak kuat rasanya hati ini melihat dia yang menunduk, seolah membenarkan ucapanku.
"Maaf."
Ya Allah!
Satu kata tapi mampu menjawab semuanya. Suamiku memang telah mencintai Dania. Bukan hanya aku yang kini menjadi satu-satunya pemilik hati pria ini.
Beberapa saat lamanya aku tergugu. Mas Hanif ingin memelukku, tetapi aku dengan sigap menghindar. Kekecewaan ini membuatku enggan disentuhnya.
"Mas benar-benar minta maaf, Isma. Mas tidak kuasa menampik rasa ini. Satu tahun kebersamaan kami nyatanya membuat Mas luluh," ucapnya seraya berusaha menyentuh jemariku, tetapi aku menepis.
"Tapi Mas janji akan berusaha melupakannya. Mas akan lebih fokus padamu dan Ayra. Mas yakin kita bisa menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu."
"Percuma, Mas! Aku tidak yakin kamu bisa melupakan Dania secepat itu!" Hatiku menjerit.
Setelah puas menangis, aku memilih keluar dari kamar tanpa menghiraukan ia yang menahanku berkali-kali. Aku memutuskan masuk ke kamar tamu dan meringkuk di sana. Aku merasa kerdil karena pada kenyataannya aku seolah tidak berarti lagi di sisinya. Mendengar jawaban Mas Hanif membuatku makin yakin untuk melakukan sesuatu agar ia bisa bersatu dengan wanita yang saat ini lebih dicintainya.
Ya ... aku akan mencari Dania, Mas. Akan aku membawanya kembali padamu. Kalian akan hidup bahagia ... tetapi tanpa diriku dan Ayra.
Bersambung.