"Kenapa kamu bisa di sini? Ngikutin saya, ya?"
Renisha mengerjab perlahan. Ditatapnya Aksa dari ujung kaki ke ujung kepala. Cowok itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi siang, kemeja biru dongker dan celana bahan. Hanya saja, pantopel Aksa sudah berganti dengan sandal jepit. Kenapa Aksa bisa berada di sini?
"Aku mau nengok Sashi sama bayinya. Pak Aksa lagi sakit?" tanya Renisha polos. Padahal dalam hati ia tersenyum lebar. Bukan main. Kenapa ia selalu mendapat kebetulan-kebetulan tak terduga jika berkaitan dengan Aksa?
"Bukan urusan kamu," balas Aksa dingin. Cowok itu bahkan langsung mengalihkan pandangan dan beranjak pergi, seolah jijik jika bertatapan lebih lama dengan dengan Renisha.
Pintu kamar 404 tiba-tiba terbuka. Tampak Naren sedang tersenyum lebar menatap Renisha. "Lo udah dateng?" ia mengulurkan tangan. "Mana kadonya."
Astaga. Bocah besar satu ini. Enggak tahu malu. Bisa-bisanya dia langsung menodong kado bahkan sebelum memersilahkan tamunya masuk. Lagaknya kayak orang miskin padahal game online terbarunya baru saja rilis minggu lalu. Renisha menepuk telapak tangan Naren sambil melotot. "Bentar dulu, gue mau tanya." ia menunjuk punggung Aksa yang hampir menghilang di tikungan. "Cowok yang di sana itu siapa? Yang pake kemeja dongker sama sendal jepit. Tadi gue liat dia kayak mau masuk ke kamar ini. Lo kenal nggak?"
Naren melihat arah pandang Renisha. Keningnya berkerut samar. "Ah, itu kan Mas Aksa. Kakaknya Sashi."
"Ha?" mulut Renisha setengah terbuka. "Yang bener? Masa sih? Berarti Ramas kakak ipar lo? Ko gue nggak liat dia di resepsi kalian?"
Renisha tidak menyangka. Kenapa ia tak mengenal Sashi jika cewek itu adalah adik Aksa? Apa mereka dulu tidak berada di SD yang sama? Ah, iya. Renisha ingat jika dulu Aksa sering pulang bareng sama anak cewek kelas empat, yang wajahnya cantik dan imut. Hanya saja, Renisha tidak tahu jika cewek itu adalah adik Aksa. Reni masih kelas dua waktu itu, jadi tak begitu paham dan ingat detailnya.
"Ramas?" Naren balik bertanya.
"Maksudnya Aksa," balas Renisha gemas. "Ramas itu panggilan sayang gue ke Aksa. Singkatan dari Raden Mas." tiba-tiba Renisha teringat sesuatu. Tentang Naren yang juga mempunyai gelar Raden yang sama. "Ah, jadi keluarganya Aksa masih punya garis keturunan sama kerajaan mana? Kok mukanya Aksa nggak ada jawa-jawanya? Apa dia dulu keturunan penjajah Jepang? Kalau dipikir-pikir kayaka enggak masuk akal sih."
Naren meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia buru-buru menarik tangan Renisha dan membawanya masuk. "Mending kita ngobrol di dalem deh."
Mau tak mau, Renisha menuruti Naren. Lagipula, tidak baik juga berbicara di depan pintu.
Sashi sedang makan potongan buah apel sambil menonton tv saat Renisha datang. Saat mata mereka bertemu, Sashi tersenyum tipis.
Renisha menaruh bungkusan kadonya di atas nakas, bersebelahan dengan vas berisi bunga mawar putih yang tampak segar dan cantik. Ia kemudian tersenyum tipis. "Apa kabar? Aku bawain kado buat Angkasa."
"Aku baik kok. Terima kasih," balas Sashi. "Aku tadi denger kamu langsung dipalak Naren di depan pintu. Aku sendiri heran kenapa tingkahnya malah tambah kekanakan padahal udah punya anak dua."
Renisha tertawa. "Kena sindrom daddy blouse kali."
"Aku kan enggak gitu sama semua orang," Naren merajuk. Cowok itu duduk di atas sofa sambil ngemil keripik. "Oh iya, tadi Reni nanya tuh. Kamu sama Aksa punya garis keturunan dari kerajaan mana?" Naren tiba-tiba mengubah posisinya jadi duduk tegak, kemudian membungkukkan punggung. Bibirnya menyeringai geli. "Eh, maksud saya bukan kamu, tapi Den Ajeng."
Sashi melotot ke arah Naren. Refleks melemparkan potongan apel yang baru ia gigit setengah. "Diem lo Bejo! Ngeledek sekali lagi, bukan apel yang melayang! Tapi pisau!"
Sialan memang cowok satu itu. Masih saja menjadikan nama pemberian Ibu Ratu sebagai bahan ledekan. Sashi mendadak heran, kenapa dulu ia bisa suka sama Naren, sih? Bukan karena guna-guna kan?
Naren justru terbahak-bahak. Renisha melihat keduanya dengan sorot bingung. Mereka beneran pasangan suami istri?
Setelah tawa Naren merdeda, ia berujar, "Jadi, ibu mertua gue yang paling cantik itu ngidam banget pengin namain anaknya sama gelar Raden Mas dan Raden Ajeng. Bahkan milih calon mantu pun harus diseleksi ketat. Harus keturunan langsung dari raja-raja di tanah Jawa." Naren kemudian tersenyum geli. "Beruntung Eyang masih ngakuin gue sebagai cucunya. Jadi gue bisa nikahin Sashi. Coba lo bayangin kalau Sashi nggak ketemu gue? Bisa-bisa dia jadi istri kedua Eyang gue."
"Sembarangan aja kalau ngomong!" Sashi kali ini melempar buah jeruk yang masih utuh, tetapi dengan mudah ditangkap oleh Naren. Cowok itu tertawa ngakak. Merasa puas sekali bisa menjaili sang istri.
Renisha ikut-ikutan tersenyum melihat tingkah mereka berdua. "Wah, berarti nanti Pak Aksa bakal punya calon istri keturunan raja juga dong ya? Aku jadi nggak punya kesempatan."
"Kamu... suka sama Mas Aksa?" tanya Sashi. Raut wajahnya tiba-tiba berubah serius. Begitu juga Naren yang ikut-ikutan terdiam.
Renisha tersenyum tipis. "Iya. Emangnya siapa yang nggak suka sama Pak Aksa? Beliau itu ganteng dan baik."
Sumpah. Niat Renisha hanya bercanda saat berujar demikian. Ia hanya main-main untuk mencairkan suasana. Tetapi melihat ekspresi Sashi, ia malah merasa bersalah. Tiba-tiba saja, Sashi meraih tangan Renisha dan menggenggamnya erat.
"Kalau kamu bener-bener serius sama Mas Aksara, masih ada kesempatan, kok," kata Sashi tenang. Matanya menatap Renisha lekat. "Mama aslinya bukan orang yang kolot banget. Ya, meskipun emang butuh tenaga ekstra buat yakininnya, tapi aku tahu kalau Mama pengin Mas Aksa bahagia."
"Cewek itu sama sekali nggak punya kesempatan," pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dan Aksa melangkah masuk. Wajahnya tampak begitu dingin, terselip kemarahan. Ia menggandeng tangan Chika yang menatap mereka semua dengan tatapan polos. "Aku lebih baik nikah sama Rani daripada nyoba sama dia."
Jahat sekali...
Suasana mendadak berubah canggung dan hening. Rasanya Renisha ingin tertawa terbahak-bahak dan mengatakan pada Aksa bahwa cowok itu terlalu percaya diri. Sayangnya, Renisha hanya bisa menahan diri. Dia tak mau terlihat seperti cewek bar-bar di depan anak kecil seperti Chika.
Aksa menunduk dan melepaskan pegangan tangannya pada Chika. Raut wajahnya mendadak berubah lembut. Kontras sekali dengan yang tadi. "Pakde harus pulang sekarang. Nanti Chika suruh anter Ayah ya kalau mau pulang?"
Chika mengangguk. "Iya, Pakde."
Aksa tidak berujar apapun lagi dan langsung pergi, menutup pintu sedikit kasar. Renisha menatap Naren dan Sashi dengan senyum canggung, merasa begitu aneh. Jika tahu Aksa akan datang tiba-tiba, Renisha tentu tak akan mengucapkan kalimat ajaib itu dari mulutnya. Ia hanya bercanda, astaga. Mana mungkin kan, Renisha suka pada Aksa? Cowok itu memang ganteng, tetapi, ia sama sekali bukan tipe Renisha.
"Aku..." Renisha berujar, memecah hening. Ia memaksakan senyum. "Aku pulang dulu, ya? Perkataan yang tadi cuma becanda, kok. Jangan dianggap serius," ia mengibaskan tangan. "Pak Aksa itu dosen di kampusku. Aku cuma suka aja cara dia ngajar, nggak lebih."
"Lebih juga nggak apa-apa kok," balas Naren santai. "Kalau lo butuh bantuan buat naklukin hati Mas Aksa, lo tinggal ngomong sama gue."
"Kamu bisa bersaing sehat sama Mbak Sri Maharani," tambah Sashi serius.
Renisha menggeleng cepat. Kenapa suasana jadi serius dan tegang begini sih? Kenapa pula Aksa harus muncul di saat yang tidak tepat?
"Aku nggak ada niatan buat deketin Pak Aksa. Toh, dia juga benci banget sama aku," ujar Renisha, ia tersenyum tipis. "Aku pulang dulu. Semoga baby Angkasa dan kamu segera pulih dan bisa keluar dari rumah sakit."
Renisha buru-buru keluar, tak menunggu respon dari Sashi maupun Naren. Ah, sial. Renisha merasa seperti cewek yang perlu dikasihani karena bari saja ditolak cowok yang ia suka. Dalam perjalanan tak henti-hentinya meruntukki diri sendiri. Jika tahu akan berakhir begini, Renisha akan menjaga mulutnya agar tidak bicara sembarangan. Aksa pasti sekarang berpikiran yang tidak-tidak dan semakin membenci Renisha. Mau ditaruh mana muka Renisha kalau bertemu Aksa nanti? Mampus.
Sepertinya Renisha tak perlu menunggu lama untuk bertemu Aksa. Ia melihat cowok itu sedang bersandar di samping mobilnya sambil melirik jam tangan. Inginnya Renisha putar balik agar tidak berpapasan dengan Aksa, tetapi, benang merah takdir seolah sedang mengikat jari kelingkingnya dengan milik Aksa. Kenapa pula mobil Renisha bisa parkir di sebelah mobil Aksa?
Sialan.
Renisha baru akan berbalik ke rumah sakit dan memilih menunggu saja di kafetaria sampai Aksa pulang, tetapi, cowok itu sudah keburu melihatnya. Astaga, Tuhan, apalagi ini? Ia kini dibingungkan dengan dua pilihan; kabur atau pura-pura tidak mengenal Aksa dan memasuki mobilnya?
Ia memejamkan mata sejenak. Mulai berhitung dari angka satu sampai tiga. Pada akhirnya, Renisha bersikap masa bodoh dan menghampiri Aksa. Ketika jarak mereka tersisa satu langkah, Renisha berujar dengan membuang sisa-sisa rasa malunya, "Kalau Pak Aksa nunggu di sini karena pengin maki saya supaya enggak deketin Bapak, maka Bapak cuma buang waktu." Renisha mengambil napas dalam. "Saya nggak suka sama Bapak. Yang tadi itu cuma--"
"Saya nggak punya waktu buat dengerin ocehan kamu," balas Aksa dingin. "Saya sedang menunggu pemilik mobil di sebelah saya pergi, supaya saya bisa masuk."
Renisha mengerjab. Ia melihat mobilnya yang terparkir terlalu dekat dengan mobil Aksa sehingga cowok itu tidak punya celah untuk membuka pintu. Sementara di sisi kanan mobil Aksa adalah pagar tinggi dan semak-semak. Renisha meringis, wajahnya memerah menahan malu. Bisa-bisanya! Astaga. Kalau saja operasi plastik itu murah, maka Renisha akan berganti wajah secepatnya!
***