Melimpahkan Tanggung Jawab

1365 Words
Renisha... tidak percaya bahwa dia akan melakukan hal menggelikan seperti ini. Setelah kuliah bubar, ia mengikuti mobil Aksa hingga sampai di sebuah kafe yang terkenal dengan rooftop-nya yang indah. Nyaris semua orang datang berpasangan ke sini, kecuali Renisha, tentunya, yang sudah jomblo empat tahun. Renisha duduk di salah satu kursi, paling pojok dan terjauh dari posisi Aksa. Dari tempat ini, Renisha bisa melihat keduanya sangat jelas, dan, mereka berdua memang tampak serasi. Terakhir kali Renisha mengikuti Aksa adalah ketika ia masih kelas dua SD dan Aksa kelas enam. Ia seperti anak ayam yang mengekori induknya. Astaga, jika diingat-ingat kembali, rasanya begitu memalukan. Beruntung, sekarang Renisha sudah tidak centil lagi seperti dulu. Setelah Aksa menolak permintaan pertemanan darinya dan membuang permen-permen cokelat itu, dengan tidak tahu malu, Renisha tetap mendekati Aksa meski cowok itu berkali-kali mengusirnya. Ia juga tidak berhenti melindungi Aksa dari para pembuli. Hingga pada akhirnya, Aksa luluh juga setelah dua bulan penuh. Mereka berteman dan menghabiskan waktu berdua sebelum Aksa naik kelas tujuh dan pindah sekolah. Apakah, Renisha juga harus melakukan hal yang sama pada Aksa sekarang? Pantang menyerah untuk mendapatkan hati cowok itu? Hanya saja, Renisha sudah tak seberani dulu. Kemampuan taekwondo-nya juga sudah payah karena jarang berlatih. Salah satu hal yang ia sesali sampai sekarang. Renisha menghela napas, kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Sashi. Butuh waktu cukup lama untuk Sashi mengangkat teleponnya. Dan ketika terhubung, hanya ada suara tangisan bayi yang kencang, lalu suara pintu tertutup dan helaan napas berat Sashi. "Halo? Sashi?" kata Renisha akhirnya, setelah suasana agak hening. "Renisha, maaf. Aku nggak bisa datang hari ini," nada suara Sashi terdengar menyesal. "Angkasa tiba-tiba demam dan jadi rewel banget. Naren nggak bisa nanganin sendiri, aku juga kasihan kalau harus pergi. Kamu... nggak apa-apa kan, sendirian?" Renisha memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Kemudian tersenyum saat seorang pelayan mrngantarkan latte pesanannya. "Yaudah, nggak apa-apa. Aku mau pulang aja." "Yah, jangan dong Ren!" Sashi mengerang. "Kamu tiba-tiba duduk di samping Mas Aksa aja. Pura-pura nggak sengaja ketemu. Buat kencan mereka jadi nggak asik." "Hmm," Renisha hanya bergumam sebagai balasan. Kemudian menutup telepon. Ia bahkan mengabaikan Sashi yang seperti masih ingin mengatakan sesuatu. Astaga, ide Sashi itu, kekanakan sekali. Renisha jelas tidak akan melakukannya. Renisha bukan jalang yang memisahkan dua orang yang sudah memutuskan untuk segera menikah. Renisha, hanya akan di sini, menyesap latte-nya perlahan-lahan, dan melihat pemandangan kota Bandung yang bermandikan cahaya dari atap. Hanya sendiri, ditemani alunan musik klasik lembut yang menenangkan. Renisha bahkan sudah lupa, kapan terakhir kali ia menikmati kesendiriannya seperti ini. Dia terlalu sibuk dengan bisnis dan cita-citanya yang ingin membangun rumah sendiri sebelum usia tiga puluh tahun. Renisha, ingin jadi sosok mandiri secara finansial, jadi tidak perlu bergantung dengan suaminya kelak. Tiba-tiba, Renisha dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang mengambil tempat duduk di depannya. Bola mata Renisha membeliak saat menyadari sosok itu. Si b*****t Rudi? Bagaimana bisa ia ada di sini? Cowok itu tersenyum, terlihat sangat sinis. "Kamu sengaja datang ke sini ya? Buat nemuin aku?" Rudi melirik ke arah meja Aksa dan Rani. Kemudian menyeringai. "Atau, mergokin calon suami kamu selingkuh sama cewek lain?" Renisha menggertakkan gigi, menahan sekuat tenaga agar tidak menggebrak meja dan memancing keributan. Bola matanya tersiram amarah. "Lo sengaja ngikutin gue ke sini? Nggak tahu malu." "Jangan pura-pura t***l. Kafe ini punyaku, dan kamu tahu itu," kata Rudi tajam. "Kamu, emang sengaja ke sini buat aku, kemudian nggak sengaja mergokin calon suami selingkuh." Rudi memiringkan kepala, lagi-lagi menyeringai sinis. "Apa perlu aku bantuin buat ngelabrak mereka? Biar rasa sakit hati kamu tersampaikan? Tanganku, udah gatel banget pengin nonjok orang." Rudi itu... terlalu percaya diri sekali. Renisha bahkan tidak peduli bahkan jika cowok itu memiliki semua gedung di kota Bandung. Mana sudi, Renisha mencari tahu soal cowok itu? "Jangan macam-macam," Renisha berujar tajam dan dalam. Bola matanya berkilat. "Nggak usah ngerasa sok berhak buat ikut campur. Kamu itu... cuma sampah. Jadi, silahkan pergi yang jauh dari sini." Rudi menyandarkan punggungnya dengan sikap santai. Padahal Renisha sudah nyaris gemetar karena takut bahwa cowok sialan itu akan berbuat nekat dan membuat semuanya berantakan. Kenapa sih, Aksa harus memilih kafe ini untuk kencan? Dan kenapa Renisha harus menuruti ide konyol Sashi? "Kalau gue nggak mau, gimana?" tanyanya dengan nada mengejek. "Lagian, ini cafe punyaku. Kenapa jadi aku yang harus pergi?" Menyebalkan. Kenapa Rudi tidak enyah saja dari hidup Renisha? Kehadiran cowok itu hanya akan menyusahkan dan menjadi batu sandungan untuknya. Renisha berdiri dari kursinya. "Kalau begitu, gue aja yang pergi." "Tunggu," Rudi ikut-ikutan berdiri sambil mencengkeram lengan Renisha. "Kamu nggak boleh pergi sebelum aku ngehajar calon suami kamu yang enggak berguna itu." "Lo pikir, dengan ngelakuin itu, lo jadi ngerasa hebat? Ngerasa dosa lo di masa lalu bakal terhapus?" Renisha terkekeh sinis. "Jangan belagak jadi superhero padahal lo cuma pecundang yang sembunyi dibalik ketiak ibu lo!" Pura-pura lupa padahal dulu juga ia bersikap kejam pada Renisha. "Kamu!" Amarah Rudi berkobar, tampak jelas terlihat di bola matanya. Tangan Rudi bahkan sudah terangkat hendak memukul, tapi cowok itu bisa menahan diri dan kembali mencengkeram pergelangan tangan Renisha. Kali ini setengah menyeretnya. "Ayo, ikut gue. Biar gue tunjukin kalau gue bukan anak manja yang nggak berani ngambil tindakan." Renisha mencoba melepaskan tangannya, tetapi, Rudi terlalu kuat. Ia bisa saja menendang Rudi. Hanya saja, Aksa sudah keburu menatap tajam ke arah mereka. Renisha cuma bisa meringis. Ingin kabur tetapi ia tahu percuma saja melakukannya. Astaga, kenapa jadi rumit begini, sih? Kehadiran Rudi memang malapetaka! "Jadi, ini kelakuan lo di belakang calon istri sendiri? Selingkuh, huh?" Rudi berujar sinis, dan Renisha sudah kehilangan mukanya. Ia bahkan tidak berani memandang Rani maupun Aksa. Hancur sudah, semuanya. "Lo, nggak pantas disebut manusia!" Dasar munafik! Nggak ngaca jika dulu ia juga menampakkan Renisha demi wanita yang dipilihkan ibunya? Renisha ingin mengatakan itu keras-keras di telinga Rudi tapi ia menahan diri. Renisha... sudah tidak tahan lagi. Sebelum semuanya bertambah runyam dan semakin memalukan, ia menginjak kaki Rudi dan langsung kabur saat cengkeraman tangannya dilepas. Renisha tahu bahwa tindakannya ceroboh dan tidak bertanggung jawab, tetapi, ia tak mau lebih malu lagi di hadapan di b******k Rudi. Rudi mengira jika Renisha dicampakkan lagi, dan rasanya itu lebih baik ketimbang ia tahu bahwa Renisha hanya berbohong soal hubungannya dengan Aksa. Renisha, tidak mau terlihat seperti cewek menyedihkan yang menunggu Rudi hingga empat tahun. Padahal, memikirkannya pun Renisha tidak pernah. Renisha jadi teringat Sashi. Setelah cowok itu mendengar kabar tentang hari ini, ia pasti akan langsung membungkuk dan berterima kasih pada Renisha! Dan setelah itu... Aksa, pasti akan murka! *** Aksa sedang berbincang dengan Rani ketika tiba-tiba saja, Renisha datang dengan cowok yang kemarin menyakiti tangan Renisha di depan tokonya. Ia marah-marah dan berkata bahwa Aksa berselingkuh dari Renisha. Apa-apaan, semua ini? Renisha, belum menyelesaikan masalah kemarin, ya? Jadi cowok itu masih mengira jika Aksa adalah pacar Renisha? Atau, apa tadi? Calon suami? Yang benar saja. Aksa tidak mau jadi tameng Renisha! Aksa memandang Renisha, tapi cewek itu hanya menunduk. Baru saja Aksa hendak membela diri, tiba-tiba Renisha sudah melarikan diri dan meninggalkan Aksa untuk membereskan semuanya. Sekarang, apa yang harus Aksa lakukan? "Mas Aksa, maksudnya apa ini? Jadi cewek tadi calon istri Mas Aksa? Terus kenapa kamu malah ngelamar aku? Kamu pikir aku mainan?" raut wajah Rani memerah menahan amarah. Ia bersiap bangkit. "Maharani, aku bisa jelasin," kata Aksa cepat. "Renisha, dia bukan--" "Cukup, Mas!" Rani memotong cepat. Raut wajahnya mengeras. Kemarahan itu jelas berkobar di kedua bola matanya. "Padahal, aku udah mikir buat mutusin serius sama Mas Aksa. Tapi kenyataannya, begini?" Rani terkekeh sinis. "Seumur hidup, baru kali ini aku dipermalukan sama cowok! Padahal harusnya aku yang berkuasa!" Aksa hendak meraih tangan Rani tapi cewek itu keburu menyentaknya dan pergi dengan langkah lebar, membuat Aksa mengusap wajahnya frustrasi. Hilang sudah calon istri potensial yang diinginkan Bundanya. Sekarang, apa yang harus Aksa lakukan untuk memperbaikinya? "Tahu, kan, rasanya dicampakkan?" Rudi tertawa mengejek. "Makanya, jangan terlalu serakah." Bedebah! Aksa mengayunkan tinjunya, mengenai rahang Rudi dan langsung membuatnya jatuh tersungkur. Tanpa kata, ia meninggalkan cowok itu dan pergi menyusul Rani. Aksa, yakin jika semua ini bisa diperbaiki. Ia hanya perlu membawa Renisha ke hadapan Rani untuk menjelaskan semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD