Sesekali, Menjadi Egois itu Tidak Apa-Apa

1425 Words
Siang itu, cuacanya agak mendung. Sepulang sekolah, Aksa dan Renisha mampir ke taman bermain yang letaknya tak jauh dari sekolah. Mungkin karena semalam habis turun hujan, jadi tempatnya masih becek, dengan kubangan air di mana-mana. Aksa, yang hanya mempunyai Renisha sebagai temannya, mulai menuruti semua perkataan yang Renisha kecil lontarkan. Sejak Renisha membela Aksa dan membuat Dodit terbaring di rumah sakit, tidak ada yang berani membully Aksa lagi. Kehidupan Aksa di sekolah, mulai normal meski tetap saja tidak ada yang mau berteman dengan Aksa karena takut dipukuli Renisha. Renisha kecil, adalah tameng untuk Aksa. Pelindung sekaligus teman bermain yang setia. Hanya saja, lama kelamaan, Aksa merasa menjadi anjing peliharaan Renisha. Aksa menurut ketika Renisha menyuruhnya bermain bersama, Aksa menurut saat Renisha meminta dibelikan es krim. Dan sekarang, Aksa juga menurut ketika Renisha menyuruhnya naik ke perosotan padahal di bawahnya adalah sebuah genangan air yang kotor dan becek. Aksa... tidak suka kotor. "Ayo! Kak Aksa pasti bisa!" Tetapi, melihat Renisha dengan mata bulat dengan binar itu, serta mengingat jasa-jasa yang sudah Renisha lakukan, Aksa, mau tak mau, tetap turun melewati perosotan itu, meski ia tahu kalau seragamnya akan basah dan kotor. Bunda pasti akan marah kalau melihat Aksa pulang dengan keadaannya sekarang. "Kak Aksa, maaf! Seragamnya jadi kotor," kata Renisha dengan nada menyesal, kemudian menepuk-nepuk seragam Aksa, berharap bisa menghilangkan noda yang menempel. "Ah! Aku punya ide!" bola mata Renisha bersinar, "Ayo, kita sekalian main air!" Renisha kecil mengambil selang dan menghidupkan air kran. Tanpa meminta persetujuan Aksa, ia membasahi Aksa dengan air dengan tujuan membuat seragam Aksa bersih. Hanya saja, Renisha tidak tahu bahwa Aksa sedang memahan tangis. Renisha tidak kira-kira dalam menyemprotkan air hingga membuat mata Aksa perih, serta hidung dan mulutnya kemasukan air. Aksa... tidak berani membantah. Aksa kecil adalah pengecut dihadapan Renisha yang baru berusia delapan tahun. Aksa sudah terlalu lama ditindas, baik oleh teman-teman sekelasnya maupun Renisha sendiri. Aksa jadi tidak percaya diri, sering murung, dan menyendiri. Kehadiran Renisha yang seharusnya bisa menguatkan Aksa, justru membuat mentalnya semakin jatuh. Karena itulah, Aksa harus ke psikiater sejak naik kelas tujuh SMP. *** Bertemu dengan Renisha, seolah memaksa Aksa untuk menggali lagi ingatan kelamnya di masa lalu. Aksa yang sekarang, adalah Aksa yang berani dan dihormati, Aksa yang sukses dengan perusahaannya yang bergerak di bidang media dan periklanan. Hanya saja, di depan Renisha, Aksa kesulitan untuk mengendalikan diri. Meski Renisha sudah berusaha bersikap baik, tetap saja, Aksa... masih ketakutan. Dan ia menyembunyikan ketakutannya dengan bersikap kejam dan dingin. Aksa... tidak mau diinjak-injak lagi oleh Renisha. Aksa tidak suka diatur, didekati secara paksa, apalagi dibuntuti. Maka dari itu, ia selalu berusaha menghindari Renisha sekuat tenaga. Menghindar ketika berpapasan, sebisa mungkin tidak berinteraksi. Aksa tidak mau Renisha melihatnya sebagai cowok lemah dan pengecut, sama seperti ketika masih SD. Aksa ingin kabur dari orang-orang yang pernah ada di masa lalunya. Hanya saja, takdir seolah sengaja mengejek Aksa dengan selalu mempertemukannya dengan Renisha. Bagaimana, cara Aksa mejelaskan semua itu pada Renisha tanpa kehilangan harga diri? Karena, Aksa kemudian menyadari, bahwa jiwa pengecutnya sama sekali belum hilang. Aksa merasa... frustrasi... dan juga, tidak percaya diri. Apa, Aksa harus konsultasi ke psikiater lagi? Apa Aksa gila lagi? "Kenapa kamu bersikap kejam banget sama aku? Dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah tahu alasan kamu sebenarnya itu apa! Berhenti kabur dan beri aku jawaban sekarang! Jangan plin-plan dan ambigu! Aku bukan cenayang yang bisa nebak jalan pikiran kamu." Napas Renisha terengah-engah karena amarah."Kamu pikir, enggak capek, berusaha melakukan sesuatu tapi nggak pernah dihargai?" Aksa menggertakkan gigi, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Satu minggu terakhir, Aksa mulai merasa bisa menerima Renisha. Ia menyukai cheese stik buatan Renisha dan hal itu, sedikit mengalihkan fokus Aksa. Hanya saja, jika Renisha sudah bersikap keterlaluan seperti ini, apa yang harus Aksa lakukan? Kenapa dia bertanya sesuatu yang tidak akan pernah bisa Aksa jawab? "Saya nggak pernah minta kamu buat berbuat baik sama saya," kata Aksa, masih tidak mau menoleh sama sekali. "Semoga, ini jadi pertemuan terakhir kita." Cepat, Aksa meninggalkan toko milik Renisha. Berharap, ia bisa kembali menjalani hidup seperti sebelum Renisha datang dan mengobrak-abrik diri Aksa, hingga ia bahkan menanyakan kewarasannya sendiri. **** Renisha sudah menduga jika Aksa akan menghindari menjawab pertanyaan itu lagi. Sekuat apapun Renisha memaksa, maka sekuat itu juga Aksa akan menghindar. Padahal dulu, setelah mereka cukup dekat, Aksa adalah tipe cowok penurut, yang selalu mengiyakan apapun keinginan Renisha, sama seperti perlakuan Aksa pada Sashi sekarang. Namun, kenapa sekarang berubah? Renisha memijat hidungnya dan duduk sambil bersandar. Emosinya sudah mereda. Tiba-tiba, ia merasa bersalah karena sudah membentak dan memaksa Aksa menjawab pertanyaannya. Sebenarnya, apa yang tidak Renisha ketahui tentang Aksa? Kebetulan, ponsel Renisha berbunyi dan nama Sashi muncul. Jika Aksa tidak bisa menjawab pertanyaannya, mungkin saja, Sashi bisa, kan? Renisha ingin mencoba memahami Aksa lewat Sashi. Renisha juga tidak tahu, kenapa ia selalu saja peduli dan ingin tahu soal Aksa meski sudah didorong menjauh dan disakiti berkali-kali? Apa ini... cinta? Sayang? Rasa kasihan? Atau... perasaan bersalah? Renisha... tidak tahu. Yang pasti, ia hanya ingin Aksa bersikap baik padanya. Seperti dulu. Itu saja. "Halo, Shi," kata Renisha memulai percakapan. "Ada apa?" Suara Sashi terdengar riang di seberang sana. "Aku lagi seneng, karena Mas Aksa beneran putus sama Maharani. Tapi aku juga sedih karena Mama jadi marah-marahin Mas Aksa, sampe-sampe Mas Aksa cuma bisa diem sambil nunduk." Sashi menghela napas, tiba-tiba nadanya berubah sedih, "Dan sekarang aku bingung, harus gimana cara menghibur Mas Aksa. Kamarnya aku ketuk-ketuk berulang kali tapi nggak dibuka." "Biarin aja Aksa sendiri dulu," balas Renisha, memberi saran. "Aksa pasti butuh waktu buat nenangin diri. Mungkin besok, semuanya bakal balik normal lagi." "Ya, semoga." Tiba-tiba, Renisha terpikir sesuatu. Soal kejanggalan hubungan Aksa dan Rani. "Ah, iya, apa aku boleh tanya sesuatu soal Aksa?" "Tanya aja. Kujawab kalau tahu." "Pak Aksa, lamar Rani karena dipaksa sama ibu kalian, atau karena kemauannya sendiri?" tanya Renisha hati-hati, karena ia tahu kalau ini adalah sesuatu yang sensitif. "Aksa tadi ke tempatku buat ambil cheese stik. Dan dia nggak kelihatan marah atau sedih karena putus dari Rani." Ada jeda yang cukup panjang sebelum Sashi menghela napas dan memutuskan untuk buka suara. "Kamu tahu, Mama itu, terobsesi banget sama budaya Jawa. Mama pengin aku sama Mas Aksa nikah sama keturunan bangsawan yang masih punya gelar murni. Aku emang beruntung dapetin Naren, tapi Mas Aksa? Aku lihat Mas Aksa nyaris stres sama tuntutan Mama. Terlebih, Aksa itu, selalu nurut apa kata Mama." Renisha agak terkejut dengan fakta yang diberikan Sashi. Jadi, selama ini, Aksa tertekan karena keinginan ibunya? Karena itulah, Rani sampai merasa bahwa dirinya hanya barang untuk dipamerkan Aksa? Kalau begitu, seharusnya Aksa sedang merasa marah dan tertekan karena tidak bisa memenuhi ekspektasi sang ibu. "Jadi..." Renisha menghela napas. "Maharani itu, juga keturunan bangsawan?" "Iya. Dia saudara dekatnya Naren," balas Sashi. "Sebenarnya, aku nggak peduli Mas Aksa mau nikah sama siapa saja, aku juga nggak mau Mas Aksa terus-terusan nurut apa kata Mama. Aku, cuma pengin Mas Aksa bahagia. Tapi, aku nggak tau caranya, Renisha. Mas Aksa sejak kecil selalu menarik diri dari aku. Sulit banget buat mahamin Mas Aksa." Renisha mengerjab, tiba-tiba merasa kasihan pada Aksa. Sejak kecil, Aksa selalu dikucilkan dan tidak dianggap ada. Aksa, menyandang sebuah nama yang membuat dirinya sering ditertawakan. Bahkan untuk mencoba bahagia dengan pilihannya sendiri pun, Aksa tidak diperbolehkan. Bagaimana caranya, Aksa bisa bahagia di antara semua tekanan itu? "Sashi," ujar Renisha. "Apa kamu tahu, kalau sejak SD, Aksa suka dibully sama teman-teman sekelasnya?" "Apa? Yang bener?" tanya Sashi, nadanya terdengar terkejut. "Pas kelas tujuh, Mas Aksa emang sering ke rumah sakit, tapi aku nggak tau dia sakit apa." Sashi terdiam sejenak. Seperti sedang berpikir dan menganalisa sesuatu. "Apa... itu ada hubungannya sama Mas Aksa yang sering dibully? Tapi selama ini, Mas Aksa kelihatan baik-baik aja kok." Jadi, Sashi tidak tahu, ya? Apa keluarganya memang tidak ada yang tahu soal Aksa? Bagaimana perasaan Aksa kecil waktu itu? Siapa yang memberinya dukungan? Membayangkannya saja sudah membuat hati Renisha seperti sedang diremas kuat. "Jangan kasih tahu hal ini sama Aksa," kata Renisha, nadanya serius. "Aku khawatirnya, Aksa nggak pernah cerita karena dia merasa tertekan dan malu. Ngungkit hal ini di depan Aksa bakal bikin dia ngerasa lebih buruk." "Aku, nggak akan cerita soal ini sama siapa pun," balas Sashi di seberang sana. "Tapi, apa kamu bisa janji satu hal sama aku, Renisha?" "Apa?" "Tolong, bikin Mas Aksa sembuh. Bikin Mas Aksa mikirin dirinya sendiri sebelum orang lain." Helaan napas Sashi terdengar berat. "Sesekali, menjadi egois itu nggak apa-apa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD