Cheese Stik Pembawa Berkah.

1366 Words
Aksa tidak keberatan untuk pergi ke tempat catering milik Renisha. Hanya saja, karena mereka sama-sama membawa mobil sendiri, mereka jadi mengendarai mobil masing-masing hingga sampai ke sana. Padahal sebelumnya, Renisha berbohong bahwa ia kuliah naik angkot, tetapi Aksa tidak percaya, membawa Renisha ke parkiran dan menemukan mobil milik Renisha terparkir tak jauh darinya. Ternyata, Aksa masih saja tidak mau berduaan dengan Renisha di tempat yang sempit. Renisha tersenyum sinis. Cowok itu hanya tidak tahu apa yang akan Renisha lakukan ketika sampai di tempat catering miliknya. Dia... akan membuat Aksa bertahan berjam-jam sambil menunggu Renisha selesai membuat kue balok. Sementara itu, Renisha akan memikat Aksa dengan pesonanya ketika sedang memasak. Seperti dugaan Renisha, tempat catering-nya sepi karena para karyawan hanya bekerja sampai jam tiga sore. Apalagi tidak ada pesanan untuk besok pagi, jadi tidak ada acara lembur. Renisha turun dari mobilnya, kemudian menghampiri Aksa yang sudah keluar lebih dulu. Sambil membawa kunci cadangan, Renisha berujar, "Tempatnya tutup karena jam kerja udah selesai," kata Renisha tanpa diminta. "Di tempatku, kerjanya fleksibel sih, bisa sore sampai malam juga, bisa juga subuh sampai sore, tergantung pesanan. Di dalam juga aku sediakan tempat khusus buat menginap kalau emang harus lembur karena ada pesanan yang harus diantar pagi-pagi." Renisha melirik Aksa yang masih saja diam sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Tatapannya lurus ke depan. Aksa kenapa, sih? Lagi cosplay jadi manekin di mall? Mulutnya terkunci rapat seolah sedang menghemat energi. "Ayo, kita masuk," balas Renisha ramah, mendahului Aksa untuk membuka pintu lebar-lebar. Tempat ini Renisha beli dari sahabatnya yang dulu pindah ke Surabaya. Awalnya, ini hanya sebuah rumah biasa, tetapi Renisha menyulapnya menjadi toko catering sekaligus kantor dan tempat untuk membuat pesanan. Dulu Renisha bahkan tidak pulang berhari-hari karena mengerjakan pesanan. Keliling dari satu tempat ke tempat lain untuk menawarkan produk catering-nya. Beruntung Renisha dikelilingi karyawan-karyawan baik yang mau membantu lembur mengerjakan pesanan. Masa itu, adalah masa terberat, sekaligus membuat Renisha menjadi sosok kuat yang mampu berdiri hingga saat ini. Renisha melangkah menuju ke dapur, tempat yang paling luas dan bersih di rumah ini. Ada tungku-tungku besar, beberapa kompor, oven tangkring, hingga adukan bahan kue berkapasitas besar. Semuanya tertata rapi dan bersih. "Pak Aksa duduk aja dulu, saya coba nyari stok kuenya di--" Ucapan Renisha berhenti saat ia tak menemukan keberadaan Aksa di belakangnya. Wah, jangan-jangan, Aksa masih di depan, ya? Sialan cowok satu ini. Tingkahnya bikin gregetan, enggak sopan sama sekali. Sambil menghentakkan kaki, Renisha keluar untuk mencari Aksa. Ternyata cowok itu sedang duduk di sofa khusus tamu, dengan punggung tegap, seperti seorang presiden yang tidak mau kehilangan wibawanya. Renisha tersenyum tipis. Dasar Aksa, masih saja kaku dan dingin seperti dulu. "Maaf banget, Pak Aksa. Ternyata stok kuenya udah habis," kata Renisha, dengan nada yang dibuat kecewa. "Kalau kamu nggak keberatan nunggu, aku bisa bikinin. Paling cuma sembilan puluh menit udah jadi. Gimana?" Aksa menggeleng cepat dan berdiri dari tempat duduknya. "Besok saja saya ke sini lagi saat jam istirahat kantor." "Tapi--" Renisha buru-buru mencegah saat Aksa hendak melangkah pergi. "Aku nggak lama, kok. Kasihan Sashi udah nunggu tapi nggak ada hasil. Aku yang enggak enak jadinya." "Sashi bukan anak kecil lagi," balas Aksa datar. "Dia masih bisa nunggu sampai besok. Lagian, dia nggak akan mati kalau nggak makan kue itu sekarang." Wah, tajam sekali ucapannya, seperti belati yang baru selesai diasah. Biar bagaimana pun Renisha berusaha, Aksa tetap tak akan mau berduaan saja dengan Renisha di sini. Bisa membawa Aksa sampai ke tempat ini saja sudah merupakan pencapaian yang bagus. "Baiklah, tapi aku nggak bisa biarin Pak Aksa pulang dengan tangan kosong," kata Renisha akhirnya, mengalah sejenak untuk menang. "Tunggu sebentar. Aku punya cookies. Sashi pasti suka." Cepat, Renisha kembali ke dapur. Ia ingat masih menyimpan beberapa toples cookies yang biasanya jadi teman camilan karyawannya saat lembur. Cookies itu berbahan dasar cokelat yang tidak disukai Aksa, dengan taburan kacang sangrai yang renyah. Beberapa ada yang bertoping kismis, juga almond dan chocochips. Renisha bernapas lega saat menemukan toples terakhir di dalam lemari. Luar biasa memang. Cepat sekali habisnya. Padahal seminggu lalu Renisha membuat sepuluh toples. Ia mengambil paperbag, memasukkan toples kaca itu dan menambahkan sekotak cheese stik renyah untuk Aksa. Renisha segera menghampiri Aksa yang ajaibnya kembali duduk tenang di atas sofa dan bukannya kabur. Ternyata Aksa cukup tahu diri juga. "Ini, cookiesnya." Renisha mengulurkan kedua tangan. "Emang enggak banyak, tapi aku yakin kalau Sashi bakal suka." Aksa mengambil ujung paperbag itu, tanpa menyentuh jari Renisha sedikitpun. Ia mengangguk dan berujar, "Terima kasih." "Aku anter sampai depan," kata Renisha, mensejajari langkah Aksa. Cowok itu tidak menghindar atau menolak, tetapi menjaga jarak seperti takut akan tertular virus jika terlalu dekat dengan Renisha. Dan, Renisha, sudah terbiasa dengan sikap Aksa, jadi, ia tidak sakit hati ataupun keberatan. "Aku juga bawain cheese stik buat Pak Aksa, ada di dalam paperbag," ujar Renisha saat Aksa membuka pintu mobil. "Jangan lupa dimakan, ya!" Aksa tidak menjawab, tetapi menganggukkan kepala. Setelah beberapa minggu Aksa menghindarinya seperti kuman penyakit, melihat Aksa mengangguk dan mengucapkan terima kasih saja sudah merupakan kemajuan yang cukup besar. Renisha yakin, lambat laun, Aksa bisa melupakan traumanya dan bersikap normal saat bertemu dengannya. Renisha... berjanji akan membuat Aksa ketergantungan dengan masakannya hingga tak bisa lepas. Meski sikapnya dingin, Renisha tahu bahwa Aksa adalah orang baik. *** Aksa... Menyukai cheese stik buatan Renisha. Teksturnya renyah, tidak keras, dengan paduan rasa keju dan daun bawang yang pas. Sekali gigit, rasa kejunya akan tertinggal di lidah, dan seolah memanggil-manggil untuk mencicipinya lagi dan lagi. Awalnya tadi Aksa hanya coba-coba karena melihat Sashi makan dengan lahap sambil menonton tv. Nyatanya, ia malah ketagihan dan menginginkan lebih. "Jangan diambil semuanya dong," kata Sashi, cemberut. "Kan itu buat aku." Aksa menggeleng. "Nggak, Renisha cuma ngasih kamu setoples cookies itu," Aksa menunujuk Naren yang sedang memangku toples cookies dan memakannya hikmat sambil menatap layar TV. "Cheese stik ini, khusus buat aku." Bukannya marah, Sashi justru menyeringai geli. "Ah, spesial buat Mas Aksa, ya? Jadi sekarang udah mau makan makanan buatan Renisha?" Kening Aksa berkerut samar. Dari mana Sashi tahu jika Aksa sering menolak sesuatu yang diberikan Renisha padanya? Mereka, tidak sedang bersekongkol untuk menjebak Aksa, kan? "Cokelat praline yang kemarin itu buat Mas Aksa," kata Sashi seolah tahu apa yang sedang dipikirkan sang kakak. "Aku tahu, soalnya di bawah toples ada catatan dari Renisha buat Mas Aksa. Katanya: Semoga suka cokelatnya, Pak Aksa! Aku nggak keberatan buat kalau Pak Aksa mau lagi." Wajah Aksa mendadak panas, merambat hingga ke telinga dan leher. Mana Aksa tahu jika cewek itu menulis hal norak dibawah toples? Di mana-mana, kalau ada orang memberi sesuatu, pasti catatannya ditaruh di atas agar bisa langsung terlihat. Nah ini, ditaruh bawah. Mana Aksa duga kan? Kalaupun Aksa menemukannya, ia pasti akan membuang catatan itu sebelum memberikan kotaknya pada Sashi. "Jadi, sedekat apa hubungan kalian sebenarnya?" sambung Sashi lagi, dengan nada menggoda yang tidak repot-repot disembunyikan. Naren yang dari tadi diam, kini menoleh dan memandang Aksa. "Sejak kapan Mas Aksa sama Renisha? Bukankah pas di rumah sakit kemarin kayak benci banget sama Renisha ya? Udah baikan? Kapan?" Sashi menendang tulang kering Naren dan membuat sang suami meringis. "Nggak usah ikut campur ya Bejo. Kamu urus aja tuh, tanaman kakaomu itu!" "Kok gitu? Aku sibuk kan juga buat kamu. Buat beli popoknya Angkasa dan biaya sekolah Chika," balas Naren kesal. Sashi merebut toples cookies dari tangan Naren. "Kembaliin, punyaku!" Naren mengambil napas dalam dan menatap Aksa lagi. Berurusan dengan sang istri memang sulit. Mereka hanya bisa bekerja sama dengan baik saat di atas ranjang. "Mas Aksa, udah baikan sama Renisha?" Aksa menggeleng. Kemudian menepuk celananya dan berdiri. "Hubunganku sama Renisha nggak sesederhana yang kalian pikir. Biarin aku yang selasain semuanya. Kalian nggak boleh ikut campur," Aksa tersenyum tipis, tapi tidak mencapai matanya. "Lagian, aku bakal nikah sama Rani." Aksa berbalik untuk menuju ke lantai atas sambil membawa bungkus cheese stiknya yang tersisa setengah. Aksa, masih tidak menyukai Renisha, masih membenci dan menganggapnya sebagai monster. Tapi ia tidak menolak cheese stik dari cewek itu dan memakannya sampai habis. Sepertinya, ada yang tidak beres dengan otak Aksa. Mungkin ini adalah sebuah tipu muslihat dari Renisha untuk memikat Aksa. Oleh karena itu, Aksa harus selalu bersikap waspada. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD