Rencana Sashi

1342 Words
Aksa duduk di sofa ruang tamu. Sementara itu, para karyawan Renisha diam-diam mencuri pandang untuk menatap Aksa. Cowok itu bahkan tidak menyandarkan punggungnya ke sofa, tubuhnya tegap dengan kedua tangan memegang ponsel. Aksa, seperti patung dewa yang terbalut pakaian modern. Beruntung sekali wanita yang mendapatkan Aksa nantinya. Yang pasti, wanita itu bukanlah Renisha. Renisha, jelas tidak berani berharap. Sambil membawa secangkir teh, Renisha menghampiri Aksa. "Minum dulu, Mas--eh, Pak Aksa." Renisha meringis malu sambil meletakkan cangkir teh itu ke depan Aksa. Astaga, Renisha. Mulut kamu kenapa, sih? Bisa-bisanya memanggil Aksa dengan sebutan Mas, hanya karena Aksa secara tidak langsung sudah menyelamatkannya di depan Rudi. Pasti Renisha terbawa cara bicara Sashi yang memanggil Aksa dengan sebutan Mas. Padahal, Aksa lebih seksi kalau dipanggil Aa'. "Ak... aku ambil pesanan Mas Aksa dulu, ya?" kata Renisha, buru-buru bangkit untuk menyembunyikan mukanya yang memerah malu. "Tunggu," kata Aksa cepat. Renisha mengerjab dan menatap Aksa. Ia tak salah dengar kan? Aksa memanggil karena ingin mengobrol atau bagaimana? "Ya?" "Pria tadi itu, siapa?" Ternyata bukan. Namun, Renisha juga tidak menyangka jika kalimat itu akan keluar dari bibir Aksa. Ia pikir, Aksa tidak akan peduli dengan apapun yang menyangkut Renisha. Ternyata, dia bisa kepo juga. Bukankah kepo adalah sebentuk perhatian meski menyebalkan? "Jangan salah paham, saya nggak mau pria itu tiba-tiba menghampiri saya dan mencari masalah di masa depan. Cukup hari ini saja saya jadi tameng kamu," sambung Aksa lagi, dengan nada sedatar penggaris. "Berarti Pak Aksa cuma basa-basi." Renisha menatap Aksa yang lebih memilih memandang ibu-ibu yang sedang mengemas cheese stik. "Pak Aksa tenang aja. b******n itu nggak akan berani cari masalah sama Pak Aksa. Dia cuma anak mami bermulut besar yang nggak berani mengambil tindakan." Aksa yang sedang menyeruput tehnya langsung tersedak. Kenapa, Aksa merasa jika Renisha sedang menyindirnya? Memangnya apa yang salah dengan menuruti perkataan orangtua? Sebab selama ini, Aksa selalu yakin bahwa apa yang diputuskan bundanya adalah yang terbaik untuk Aksa. Bunda itu, tidak pernah salah. "Pak Aksa pelan-pelan minumnya," kata Renisha. "Kalau begitu saya ke dapur dulu ambil kuenya. Nggak lama kok." Setelah mendapat anggukan dari Aksa, Renisha beranjak pergi ke dapur. Sepanjang perjalanan, Renisha mendapat tatapan godaan dari karyawan-karyawannya. Sebab, ini pertama kalinya Renisha membawa pria tampan ke dalam toko, yang segera mereka curigai sebagai pacar Renisha. Biasanya hanya ada bapak-bapak paruh baya dan ibu-ibu muda yang memesan catering. Setelah lelah bekerja, melihat wajah tampan Aksa seperti recharge energi untuk mereka. "Yang di ruang tamu siapa Mbak? Lebih ganteng dari yang pertama," Bu Retno tiba-tiba datang dan menggoda Renisha. "Tampangnya kayak CEO yang ada di n****+ dewasa." Renisha menoleh dengan wajah terkejut. "Bu Retno suka baca n****+ juga?" "Iya, kadang-kadang kalau suami lembur kerja." Bu Retno terkekeh geli. "Lumayan Mbak, bisa jadi referensi buat adegan romansa sama suami. Ya walaupun lebih banyak gagalnya dari pada berhasil. Suami saya nggak humoris soalnya. Kaku kayak papan penggilasan." Entah kenapa, wajah Renisha sedikit memanas mendengar kalimat Bu Retno. Renisha segera mengambil paperbag yang sudah ia siapkan untuk Aksa dan pamit pergi. Mau tak mau, Renisha jadi membayangkan adegan romansa Aksa dengan pacarnya. Pasti hanya akan ada scene saling diam dengan lagu latar bunyi jangkrik. Selain wajah, bibir dan tubuhnya yang sempurna, Aksa itu sebenarnya... membosankan. *** Aksa sedang mengobrol dengan para ibu sambil duduk bersila di atas karpet. Jas mahalnya sudah dilepas dan menyisakan kemeja biru dongker yang lengannya sudah digulung hingga siku. Aksa, tampak asik bicara, membantu mengemas cheese stik sambil sesekali memasukkan cheese stik itu ke dalam mulut. Oke, lebih banyak ngobrol dan makan daripada membantu. Renisha jadi berpikir jika Aksa sengaja bergabung hanya untuk makan cheese stik. Kekanakan sekali, bukan? Tetapi kenapa, malah terlihat menggemaskan? Cara Aksa duduk dan mengobrol seperti menyiratkan ajakan untuk ikut bergabung. Ah, sial. Renisha, tidak boleh lagi menjadi pemuja Aksa seperti dulu. Renisha menghampiri Aksa dan berujar, "Pak Aksa? Pesanannya sudah siap." Aksa menoleh, mengangguk pada Renisha dan tersenyum ramah sekali pada ibu-ibu itu untuk berpamitan. Renisha mengikuti Aksa yang mengambil jasnya yang diletakkan di lengan sofa. "Jadi, semuanya berapa?" tanya Aksa ketika menerima paperbag dari Renisha dan melihat isinya. "Kok, enggak ada cheese stik-nya?" "Aku belum buat," balas Renisha. "Yang lagi dibungkusin sama ibu-ibu itu pesanan orang buat isi snack. Pak Aksa harus nunggu tiga sampai empat hari lagi kalau pengin cheese stiknya. Nanti aku buatin." Renisha bisa melihat raut kecewa di wajah Aksa, meski cowok itu langsung menutupinya dengan mengalihkan pandangan. "Yasudah, saya ke sini empat hari lagi." "Pak Aksa, pengin banget cheese stiknya ya?" tanya Renisha, perlahan. "Chika sama Naren yang suka," balas Aksa. Ia kemudian mengangkat paperbag di tangannya. "Jadi saya harus bayar berapa?" "Nggak usah," Renisha mengibaskan tangan. "Itung-itung, itu sebagai rasa terima kasihku sama Naren dan Sashi." Aksa menggeleng dan mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Lama-lama, kamu bisa rugi kalau saya minta gratis terus." ia mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dan menyerahkannya pada Renisha. "Saya jadi nggak enak kalau kamu nggak mau nerima uangnya." "Khusus Pak Aksa, aku nggak nerima uang sebagai bayaran," Renisha tersenyum lebar. "Besok aku ada pesanan banyak. Sepulang kantor, Pak Aksa, bisa ikut bantu kalau mau. Dan aku anggap semuanya lunas. Pak Aksa juga bisa dapat cheese stiknya lebih cepat. Gimana?" "Nggak," Aksa menggeleng tegas. Ia menaruh uang itu di atas meja dan berdiri menjulang di hadapan Renisha. "Saya pulang dulu. Empat hari lagi saya ke sini ambil cheese stiknya." Dan, Renisha tak bisa berkutik saat Aksa berjalan meninggalkannya dengan langkah tegap. Ternyata, susah juga ya membujuk Aksa untuk tinggal lebih lama? Padahal, ia kira, Aksa suka berinteraksi dengan karyawan-karyawannya karena mereka terlihat sangat akrab tadi. Selain itu, jika Aksa sering datang, maka Renisha bisa terus memandangi wajah tampannya. Aih, sadar, Renisha! *** Sashi, sudah mendapatkan informasi yang ia cari. Alika mengirimkan foto-foto serta bukti yang menyatakan bahwa Rani adalah sosok yang licik ketika masih di Solo. Alika juga bilang bahwa mantan-mantan pacar Rani, semuanya berasal dari kalangan atas, mulai dari anak pejabat pemerintahan hingga pemilik perusahaan sukses. Hanya saja, hubungan Rani dengan mantan pacarnya pasti berjalan tak kurang dari tiga bulan. Orang-orang bilang bahwa Rani adalah seorang playgirl. Bahkan Alika juga bilang soal rumor yang menyebut Rani sebagai simpanan Om-om kaya. Sashi menutup mulutnya, terkejut. Tak ia sangka jika Rani pernah punya rumor yang begitu buruk mengenai dirinya. Yang Sashi lihat selama ini, Rani adalah sosok wanita yang cerdas, anggun, dan mempunyai perilaku yang baik. Ia juga pandai mencairkan suasana, serta memiliki tutur kata sopan. Selain itu Rani berasal dari keluarga baik-baik. Penampilan Rani, jelas mengidentifikasikan bahwa cewek itu adalah wanita mandiri dan tangguh. Karena itulah, Sashi tidak pikir panjang untuk mengenalkan Aksa dengan Rani. Jika sudah begini, Sashi harus bagaimana? Sashi merasa bersalah, serta takut jika Aksa akan disakiti nantinya. Lagipula, kenapa Aksa harus terburu-buru melamar Rani, sih? Sambil menggigit-gigiti kukunya, Sashi mondar-mandir di kamar, memikirkan sebuah cara untuk menjauhkan Aksa dari Rani secepatnya. Naren yang melihat kegelisahan sang istri kemudian bertanya. "Ada apa? Mas Aksa lagi?" Sashi berhenti dan menatap Naren yang sedang menidurkan Angkasa. "Aku harus nyari cara supaya Mas Aksa nggak jadi nikah sama Rani!" "Udah kubilang kalau Rani nggak sebaik penampilannya, tapi kamu nggak percaya dan mengagung-agungkan feeling seorang wanitamu itu," balas Naren, nadanya terdengar sinis, setengah mengejek. Sashi melotot marah. "Kalau nggak bisa bantu, nggak usah ngajak bicara!" Naren cuma membuang muka dan tidur dengan posisi berbaring menghadap Angkasa. "Cowok emang selalu salah, sih. Entah kapan benernya. Iya kan, Angkasa sayang? Untung kamu cowok, jadi bisa belain Ayah dari mamamu." Sashi mendengus, kemudian duduk di atas ranjang sambil memijat pelipisnya. "Pokoknya, aku nggak bisa biarin Mas Aksa sama Rani. Nggak boleh!" "Minta bantuan aja sama Renisha," kata Naren tiba-tiba. "Bukannya dia suka sama Mas Aksa? Lagian aku kenal Renisha juga udah lama. Dan dia bukan tipe cewek yang neko-neko. Dia punya prinsip dan pekerja keras." Sashi menatap Naren. Senyumnya melebar. "Benar juga!" ia buru-buru mengambil ponselnya di atas nakas. "Kalau begitu, aku mau hubungi Renisha dulu. Semoga aja dia mau diajak kerjasama." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD