1. PROLOG
Empat tahun yang lalu.
Wanita itu berbaring di atas ranjang berseprai putih dalam kondisi setengah basah. Ia baru saja berendam air dingin di kamar mandi, tapi air dingin pada pukul satu pagi itu rupanya tidak memberikan efek apa pun pada tubuhnya yang sedang menggelenyar, menggelora oleh bara api tak kasat mata yang memanaskan tubuhnya.
Napasnya terputus-putus, tubuhnya menggeliat gelisah dan tangannya mencoba menggapai-gapai bagian tubuhnya yang paling tidak nyaman, mencoba menenangkan bagian bawahnya yang terus berdenyut meminta diperhatikan.
Seluruh kulit putihnya merona, kemerahan oleh api yang menjalar.
“Ahhh panas…” desah wanita itu sambil mengerang-erang. “Tolong aku, panasss…”
Bahkan setelah berendam dengan air dingin pada dini hari, minum banyak air putih yang juga dingin, menurunkan suhu mesin AC yang ada di kamar, dan melepaskan setiap helai benang yang menutupi tubuhnya, wanita itu tetap kepanasan. Rasa panas yang tak tertahankan.
Sudah setengah jam hal ini berlangsung dan tidak ada kemajuan sedikit pun, justru semakin parah hingga membuat wanita itu terlihat sangat kesakitan.
Dhika melepaskan kemejanya yang basah setelah mengangkat tubuh wanita itu dari dalam bathtub, sungguh usaha yang sangat sia-sia karena tidak memberikan efek apapun pada wanita yang mengerang kepanasan tak berdaya. Mata Dhika yang sedang melepaskan celana basahnya terpaku pada sesuatu yang menonjol dari bawah sana lalu berdecak kesal, sempat-sempatnya dia terbangun ditengah semua kerepotan ini.
Tapi bukan salahnya juga kalau sampai terbangun seperti itu, dia sudah cukup sabar menghadapi situasi yang serba salah ini.
Sudah lebih dari tiga puluh menit Dhika telaten mengurusi wanita itu dan mencoba segala upaya untuk menyembuhkannya dengan tidak mengambil kesempatan sekecil apapun. Bahkan ketika wanita itu melepaskan setiap pakaian yang melekat dengan kedua tangannya sendiri, Dhika pun mencoba untuk bersikap layaknya gentleman sejati yang memalingkan wajah.
Dhika duduk di samping ranjang, tangannya mengelus wajah wanita itu, mencoba mencari perhatian darinya.
Wanita itu mendesah dan terus mengerangkan rasa panas yang sangat mengganggunya, padahal suhu tubuhnya tidak panas, entah panas macam apa yang menyerang tubuhnya. Dhika tak paham.
“Apa yang terjadi di tempat kerja sampai kamu jadi begini?” Dhika mencoba bersikap tenang, panik yang dia rasakan selama bermenit-menit lalu sudah membuatnya melupakan pertanyaan mendasar ini.
“Shhh… panashh… minum… Aku diberi minum…”
Dhika mengernyit, minuman macam apa yang bisa membuat seseorang jadi seperti ini?
Hingga pada akhirnya, otak Dhika sampai pada suatu kesimpulan yang tak mengenakkan. Matanya membelalak besar-besar. Kalau perkiraanya benar, maka mungkin efeknya bisa sangat lama atau bisa juga sebentar. Tergantung dosis dan kondisi tubuh setiap orang. Sementara sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit berlalu, sedangkan wanita itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Justru semakin besar efek yang ditunjukkan.
“Sial, berapa banyak yang dia masukan pada minumanmu!?”
Wanita itu tak menjawab, tangan mungilnya tak berhenti menyentuh dimana-mana.
“Apa kamu meminum semuanya?”
“Enghh… aah! Iyah….”
Dhika meraih pipi chubby yang memerah itu, mengelusnya lembut. “Kalau sudah begini, apa yang harus saya lakukan?” lirih Dhika sambil memandang mata sayu yang tidak fokus dihadapannya. Wanita itu cantik sekali, begitu polos dan bermata indah, bibirnya nya terbuka dan terengah menyedot semua perhatian Dhika. Membuat Dhika berdebar-debar hanya dengan menatapnya.
Dhika menundukkan kepala dan berhenti tepat di depan wajah cantik yang tak berhenti mengerang kesakitan, “Lain kali jangan sembarangan minum…” bisik Dhika sebelum menyatukan bibirnya dengan kelembutan yang memabukkan.
Bibir wanita itu laksana candu, sekali sentuh maka engkau akan terus menginginkannya. Begitu nagih dan menggetarkan hasrat yang selama ini dia tahan.
Ciuman lembut itu berubah menjadi cepat dan penuh hasrat. Kecupan-kecupan kecil berganti menjadi lumatan dan hisapan yang semakin membangkitkan ‘keinginan’ keduanya, membesarkan api yang sudah ada sejak awal. Membuat keduanya menginginkan lebih dari yang seharusnya.
Dhika menjauhkan bibir basah akibat cumbuan yang mereka lakukan.
Wanita itu menatapnya penuh tanya, menggoda Dhika dengan perpaduan kepolosan dan gairah menggelora yang menyelimuti dirinya. Sudah sejak lama Dhika menginginkan wanita polos dan cuek ini, sudah sejak lama Dhika menantikan kesempatan untuk bersamanya. Walau bukan dengan cara aneh seperti ini, tapi Dhika memang jatuh hati dengan pelayan minimart yang dikunjunginya setiap hari.
Wanita itu menyentuh pipi Dhika.
“Apa…ngh… Apa itu…?” tanya Sang pelayan sangat kebingungan.
Dhika menelusurkan tangannya di atas kelembutan yang membuat tubuhnya menggigil hingga kuduknya berdiri. Ternyata wanita itu pun merasakan hal yang sama, ia justru mengerang semakin keras.
“Sensitif sekali tubuhmu…”
Kepala wanita itu mendongak, mulutnya terbuka lebar dengan mata tertutup. Napasnya semakin memburu, terengah-engah. Ia semakin gelisah. “Mas, Nas kenapa?!!!”
"Kamu telah meminum hal yang tidak baik..." bisik Dhika.
Hembusan nafas Dhika menyapa kulit sensitifnya hingga kepalanya semakin mendongak, memamerkan leher rapuh yang menggoda untuk disentuh.
Dhika menunduk, mengecup dan menghembuskan nafas hangatnya di permukaan leher itu. Matanya terpejam oleh keharuman yang menyapa indera penciumannya, aroma lembut yang menguar begitu kuat itu membuatnya pening karena hasrat yang meningkat.
Pria itu menjauhkan diri, lalu menelan ludah dengan susah payah. Mata Dhika terpaku menatap tangan besarnya yang sudah menggenggam wanitanya.
Gentleman Dhika sudah lenyap entah kemana, digantikan oleh pria berhasrat besar yang selama ini dia sembunyikan diam-diam di belakang layar. Pria yang selalu muncul saat sedang bersama para wanita yang menjalin hubungan timbal balik bersamanya.
Pria itu adalah Pradhika yang sesungguhnya, pria yang dia sembunyikan dibalik topeng dingin dan tak tersentuhnya. Pria yang memiliki gairah besar, yang memiliki kemampuan fisik luar biasa dan penyuka percintaan kasar yang mendominasi.
Tidak banyak yang mengetahui sisi Pradhika yang satu itu, hanya wanita-wanita yang sempat mereguk puncak bersamanya saja yang bisa melihatnya. Karena semua orang, bahkan keluarganya sendiri hanya tahu sisi Pradhika si lelaki penggila kerja yang anti wanita. Lelaki yang memilih rebahan daripada berkencan dihari liburnya. Lelaki yang tidak pernah mau repot-repot keluar kamar jika tidak ada keperluan. Lelaki yang terlihat lemah dengan bahasa tubuh yang selalu lelah.
Semua orang tidak tahu bahwa dirinya laksana koin yang memiliki dua sisi dengan dua gambaran yang berbeda. Sangat berbeda.
Dhika merunduk, mencium wanita itu untuk kesekian kalinya. Bibir mereka saling bersambut, sementara tangan mereka berusaha meraih satu sama lain.
Dicumbu sedemikian rupa membuat pelayan minimart itu menelusurkan jemarinya hingga menelusup disela-sela rambut Dhika, meremasnya keras sambil menekan semakin lekat pada kenikmatan yang sedang menggetarkannya.
“Mas… tolonghhh… S- Saya…"
***