Jika Mia sudah berniat, maka tak akan ada apa pun yang bisa menghalangi. Segala perintang akan Mia hadapi, dia benar-benar tidak peduli dengan semua trik busuk Toni yang berindikasi mengurangi kebahagiaan Mia. Mia akan buktikan pada Toni bahwa ia memang layak bekerja di Intermezo. Catat, Mia memang layak bekerja di sana, ia merupakan jelmaan Athena, sang dewi kebijaksanaan, yang mengantarkan Intermezo ke dalam jajaran majalah yang sering disentuh oleh kaum ningrat.
Selesai revisi, Mia langsung melenggang masuk ke ruangan Toni. Dan benar saja, ruangan Toni lebih pantas disebut sebagai tempat bekerja seorang sipir penjara; tidak ada hiasan ataupun pernik yang mungkin bisa mencitrakan kepribadian seorang Toni, hanya ada rak yang dipenuhi dengan jejeran buku pengetahuan yang Mia tebak membahas mengenai politik, filsafat, teologi, gender, linguistic, serta sejumlah ilmu pengetahuan yang tak mungkin mampu dicerna oleh Mia. Namun, hal yang paling menyedihkan ialah, tiadanya foto yang menghias ruangan tersebut. Bahkan kubikel milik Nayla dihias dengan aneka foto artis Korea, mulai dari Siwon Super Junior, EXO, G Dragon, MBLAQ, 2PM, dan itu masih belum termasuk aktor kenamaan sekelas Lee Min Ho. Intinya, semua orang memiliki kesenangan akan sesuatu, dan dari hal-hal kecil tersebut, setidaknya Mia bisa menarik kesimpulan: Toni merupakan jelmaan dari ratu es dalam bentuk maskulin.
“Letakkan di atas meja,” kata Toni yang masih berkutat dengan laptop.
Menurut, Mia melakukan apa yang diperintahkan Toni. Setelah itu, Mia langsung berbalik pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Lega,” ucap Mia. Bersyukur.
Artinya, Mia tidak perlu khawatir pulang larut malam seorang diri lagi. Itu juga berarti, ia tak perlu berjumpa Rafael. Dan ini juga bisa diartikan, dia menang. Menang atas apa? Mia sendiri tak mengerti tengah berperang melawan apa, yang jelas, ia bisa menghabiskan akhir petangnya bersama....
Menepuk jidat. Mia lupa, dia tidak punya pacar atau teman dekat yang bisa diajak berbagi kebahagiaan.
Menyedihkan.
***
Rasanya Dewi Fortuna tengah berbaik hati memberikan Mia limpahan keberuntungan. Tugas dari Toni telah Mia selesaikan tanpa perlu mendapatkan tatapan maut, Adam pun tak mempermasalahkan teks yang dipercayakan pada Mia, dan yang paling penting: Mia bebas.
Sebagai antisipasi dari kejadian terakhir kali, ketika Mia membentak Rafael (catat, Mia tidak melakukan tindakan tersebut dengan maksud terselubung), maka Mia pun mulai mengirimkan sejumlah lamaran ke beberapa tempat. Sayang memang, namun mau bagaimana lagi, tak mungkin Mia bisa bertahan lebih lama lagi. Lucifer telah muncul di tengah kehidupan Mia, maka sebaiknya Mia segera mengambil langkah penyelamatan; ikut upacara penyucian untuk membuang sial, mencari pekerjaan baru, membuat surat pengunduran diri, dan mempertebal keimananan agar terhindar dari godaan iblis terkutuk.
Jari-jemari Mia mulai mengetik CV, kedua matanya terfokus pada layar monitor yang berkedip-kedip, rasa panas pun mulai menyengat mata.
Berhenti, Mia mengucek mata, mencoba mengusir rasa pening yang tiba-tiba datang. Ini merupakan tanda bagi Mia untuk segera mengistirahatkan diri.
Bangkit, Mia meninggalkan kubikel dan berniat pergi menuju pantry.
“Mia,” panggil Miranda. Mia bisa melihat Miranda yang terus menekuni layar monitor. “Aku nitip kopi dong. Dua sendok gula. Nggak pakek lama.”
“Aku juga dong,” seru Nayla. “Kopi s**u, yang manis kaya aku, ya.”
Mengerutkan kening, Mia memprotes, “Enak aja. Bikin ndiri.”
“Ya ampun,” keluh Miranda. “Kita kan sahabat sejati yang tak terpisahkan. Seperti kepompong.”
“Mia, aku juga mau teh anget,” seru pegawai lain.
“Aku teh lemon.”
“Kalau aku s**u cokelat.”
“Aku kopi pahit.”
Lalu deretan pesanan pun berdatangan. Mia menepuk jidat, pasrah.
***
Bersungut-sungut, Mia mulai mengambil mug dan memasukkan gula ke dalam setiap mug. Sungguh, mungkin inilah yang dirasakan oleh Bawang Putih; hidup dalam penderitaan dan tak memiliki daya untuk melawan Bawang Merah dan sang ibu tiri, tersisih, jauh dari masyarakat, hidup dalam pengasingan, menangis merintih seorang diri dan Mia mulai mempertimbangkan bekerja di kantor yang tidak mempekerjakan pegawai alay dan lebay.
Satu kopi pesanan Miranda selesai, Mia tinggal menyelesaikan beberapa buah mug lagi. Mungkin Mia perlu menuang sedikit garam ke dalam kopi milik Miranda, sepengetahuan Mia, garam berfungsi menambah kadar darah dalam tubuh manusia. Oke, sedikit jahat tidak akan memengaruhi persahabatan Mia dan Miranda.
Melirik ke toples yang berisi garam, Mia pun menarik toples itu keluar dan ketika ia hendak melaksanakan niat buruknya, sebuah suara menghentikan Mia.
“Itu garam.”
Kaku, tanpa menoleh ke belakang pun Mia tahu, siapa gerangan pemilik suara itu.
Menoleh, Mia pun mendapati Rafael tengah menyeringai. Entah mengapa, Mia merasa tengah berhadapan dengan sang bintang jatuh yang terusir dari surga. Lucifer berwujud manusia itu tengah berdiri tepat di belakang Mia, hanya ada beberapa jarak yang memisahkan Mia dan sang malaikat terbuang.
“Aku tahu,” balas Mia.
“Atau kamu berniat memasukan sesuatu selain garam?” tebak Rafael. “Sianida atau mungkin arsenic?”
Bah, dia pikir Mia ingin melakukan tindak pidana apa? Abaikan tuduhan tindak pidana, adapun yang perlu Mia khawatirkan adalah kehadiran Rafael. Melirik sekitar, pantry dalam keadaan sepi. Mia tak menjumpai satu orang pun di dalam sana. Tiba-tiba saja Mia merasakan firasat buruk.
Mengangkat salah satu mug, Mia berkata, “Ingin mencoba salah satu racun yang tengah aku ramu?”
Huh, biar saja. Mia akan dengan senang hati mencampurkan sepuluh sendok garam ke dalam minuman yang dipesan Rafael. Mia tidak peduli. Toh, sebentar lagi Mia berencana meninggalkan Intermezo. Namun jika memang Tuhan memberikan kesempatan kepada Mia untuk membalaskan dendam, maka Mia akan dengan senang hati menerima anugerah tersebut.
Rafael hanya menggelengkan kepala. “Mia, ada cara yang lebih bagus selain meracuni seseorang.”
“What?” seru Mia.
“Bercanda.” Rafael menghampiri Mia. Dari jarak sedekat ini, Mia bisa mencium aroma mint. “Kamu sensi banget.”
“Bodo!”
Alih-alih menyahut, Rafael memilih mengambil cangkir dan mulai membuat kopinya sendiri. “Kamu,” katanya. “Hati-hati.”
Diam, Mia terus memperhatikan pria yang kini berada di sampingnya.
“Kenapa?” Tanya Mia, ketus.
“Kalau kamu terlalu membenci seseorang, bisa-bisa nanti kamu jatuh cinta.”
Jeduwer. Mia merasa rahangnya jatuh. Jatuh cinta? Pada Rafael? Tidak akan.
“Rafael, kamu terlalu percaya diri.”
“Dan kamu sangat tidak sopan meninggalkan seorang pria di tengah kafe.”
“Aku kan udah nolak,” protes Mia.
“Dan aku aku tidak peduli.”
“Kamu tuh ngeselin.”
“Terima kasih.”
“Dari SMP nggak pernah bisa bersikap sopan.”
“Dan kamu terlalu introvert, makanya gampang diganggu.”
“Banci, beraninya sama anak perempuan.”
Hening, Rafael menghentikan kegiatannya mengaduk kopi.
Tiba-tiba saja Mia merasa melihat sepasang sayap hitam khayalan yang kini terbentang di belakang punggung Rafael. Menelan ludah, Mia hanya bisa menatap kaku sosok Rafael yang kini menatap Mia.
“Banci?” ulang Rafael. Lalu, Rafael pun mulai mendekati Mia. “Sayang, kamu nggak boleh mengejek pria mana pun menggunakan kata banci.”
Merasa terancam, Mia pun berjalan mundur menjauhi Rafael.
“So what?” kata Mia. “Kamu dulu emang banci kok.”
“Tahu dari mana?” Rafael maju selangkah.
Mundur selangkah, Mia menjawab, “Semua anak juga tahu.”
“Benarkah?”
Jalan buntu, punggung Mia membentur pinggiran pantry. Melirik ke pintu keluar, mungkin ini saatnya bagi Mia untuk undur diri.
Namun sial, Rafael menutup satu-satunya akses Mia. Kedua tangan Rafael terbentang mencengkeram pinggiran pantry dan kini Mia pun berada di dalam kungkungan Rafael.
Bagai malaikat kegelapan, Rafael menyatakan kuasanya atas Mia melalui kedua tatapan matanya. “Mia, kamu tahu kan, apa akibatnya kalau membuat seorang pria merasa tersinggung?”
Kaku, Mia hanya menggelengkan kepala. Entahlah, ke mana perginya patriotisme Mia, yang jelas saat ini Mia merasa lumpuh. Aneh memang, harusnya Mia berkoar dan mengutuk Rafael, apa pun. Namun lihatlah, Mia bahkan tak mampu menggerakkan tubuh.
Rafael mulai menatap kedua manik mata Mia yang tampak bulat, jelas gadis itu kini merasa terintimidasi. Bagus, Rafael senang dengan reaksi Mia. Mencondongkan diri, Rafael mulai berbisik pelan di telinga Mia, “Kamu manis,” katanya. “Aku bahkan ingin langsung memakanmu, saat ini juga.”
Horor, Mia tak kuasa menahan dorongan untuk menggampar Rafael. Sial, Rafael bisa membaca gerakan Mia. Pria itu menangkap tangan kanan Mia, dan mencengkeramnya. “Sayang,” ucapnya manis. “Kamu semakin terlihat menggiurkan.”
“Demi Tuhan,” desis Mia. “Hentikan sandiwara ini.”
“Mia, aku tak pernah bersandiwara.”
“Oh, ya?”
Rafael menarik tangan Mia dan mengecupnya.
Mia merasa gigilan dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Berulang kali Mia berusaha menahan diri. Tidak, dia tidak boleh kalah.
“Would you be mine?”
Dan pertanyaan Rafael membuat Mia merasa jatuh ke dasar neraka. Sang Lucifer telah menjerat Mia dan berencana membawanya pergi.