Dari sekian peristiwa yang pernah terjadi dalam hidup Mia, dia tidak pernah menyangka bahwa hantu dari masa lalu itu akan datang kembali dalam hidupnya. Menyedihkan, sosok yang membuat Mia kesal kini malah menjadi bos di kantornya. Huh, menyebalkan.
Pertanyaannya: kenapa harus Rafael?
Masih belum cukupkah pria itu mengacak-acak kehidupan Mia di masa lalu, atau dia, si Rafael, memang berniat menyengsarakan kehidupan Mia?
Mia ingin mengajukan surat pengunduran diri. Jelas, dia merasa tak nyaman berada di bawah kepemimpinan Rafael. Dalam hati, Mia sudah bisa memperkirakan hal buruk apa saja yang mungkin menimpanya nanti. Ditambah, Toni yang selalu bersikap menyebalkan kepada rekan kerjanya, lengkap sudah paket penderitaan Mia.
“Mia,” seru Ratna memecah lamunan Mia. “Kenapa kamu ini? Dari tadi Mama perhatikan, kamu kebanyakan bengong. Apa masakan Mama kurang enak?”
Mia menggeleng. “Enggak kok.”
“Terus,” sahut Wiranto. “Apa kamu ada masalah di kantor?”
“Palingan juga masalah cowok.”
Rio langsung diam seribu bahasa ketika mendapati Mia memelototinya. Tidak terima.
“Nah, terus ada apa? Mama dan Papa bisa loh minta tolong ke Om Fian agar dia masukin kamu ke kantornya.”
“Ma,” ujar Mia menenangkan. “Mia baik-baik saja. Mama nggak usah khawatir.”
Tentu saja, Wiranto tidak percaya dengan apa yang diungkapkan putrinya. Sebagai seorang ayah, Wiranto bisa membedakan gestur dan mimik putra-putrinya. Saat ini pun Wiranto tahu ada sesuatu yang salah dengan putrinya. “Mia,” kata Wiranto. “Kalau kamu sudah nggak betah, kamu bisa ikut kerja di studio Papa. Lagi pula, di sana Papa juga butuh karyawan.”
“Pa, Mia kan nggak bisa melukis. Kalau untuk yang satu itu, Rio jauh lebih bisa diandalkan.”
“Betul itu,” sahut Rio, puas.
“Memang,” ucap Ratna mengiakan, “kamu boleh ikut kerja sama Papa kalau PR matematikamu udah beres. Mama malu, masak wali kelasmu bilang ke Mama kalau nilai matematikamu selalu di bawah rata-rata.”
“Ih, Rio kan emang nggak jago berhitung.”
Pembicaraan di meja makan pun beralih pada masalah Rio dan nilai matematika yang berwarna merah.
***
Dalam ruangan yang tampak temaram, Rafael merebahkan tubuh di ranjang. Dia melonggarkan sedikit ikatan dasi, merasa gerah dan lelah. Kedua mata Rafael memandang langit-langit ruangan; mencoba memikirkan sesuatu yang mengusik benaknya.
Sepulang dari Amerika, Rafael tidak terlalu berminat mengambil alih pekerjaan di salah satu kantor ayahnya. Tidak ada sesuatu yang membuatnya tertarik, tempat itu biasa saja. Namun dasar yang namanya orangtua, mereka berpendapat bahwa pekerjaan besar akan lebih baik jika dilakukan oleh keluarga sendiri.
Untungnya Rafael mengamini permintaan orangtuanya.
Gadis pendiam yang dulu sering dia jahili, gadis yang selalu menepi jika melihat kehadiran Rafael, gadis yang tak pernah menunjukkan keberadaannya.
Dia ada di sini, di dekat Rafael.
Penampilan Mia jauh berbeda dari kali terakhir Rafael berjumpa. Tidak ada kepang rambut, tidak ada tatapan memelas, semuanya berubah. Gadis itu kini terlihat ... entahlah, yang bisa Rafael tangkap hanyalah tatapan sinis.
Mungkin, ini akan menjadi permulaan yang sangat menarik.