Bab 17: Masuk Angin

1042 Words
"Bapak harus gitu ya ngomong di sana soal hubungan kita?" protes Tania pada Leo saat mereka sudah berada dalam lift dan akan turun ke basement parkiran perusahaan di mana mobil Leo terparkir. Leo menoleh ke arah Tania, heran dengan pertanyaannya itu. "Lah? Cepat atau lambat mereka akan tahu juga," jawab Leo santai, tapi tidak dengan Tania yang seperti cacing kepanasan karena sikap Leo tadi, "kenapa cemas sih?" tanya Leo. "Pak, saya ini ..." Tania tak tahu harus bicara dengan Leo dari mana dulu. Hatinya masih berdebar-debar, ia menunduk dan tersenyum malu-malu. Meski kejadian tadi membuatnya merasa sungkan dan malu kepada para staff karyawan lainnya, tapi Leo seperti pangeran berkuda putih untuknya yang datang tiba-tiba. "Apa? Kamu gak kesambet kan, Tania? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Leo heran. Senyum di wajah Tania lantas menghilang mendengar kalimat dari Leo. "Gimana gak senyum, pak? Kan saya mau jadi istri bos, dapat tambang emas harus senyum donk," kata Tania. Mendengar itu Leo meringis dan tak tersinggung sama sekali. Mengenal Tania selama tujuh tahun, ia tahu betul dalam dan luar Tania seperti apa. Sekilas ucapan-ucapannya itu memang terdengar perempuan matre, tapi Leo suka, Tania sangat jujur kalau ia mencintai uang. Pintu lift terbuka dan mereka berdua keluar bersamaan. Mereka masih bergandengan tangan, berjalan beriringan tanpa sadar kalau tangan mereka masih saling bertaut. Saat hendak memasuki mobil, Leo tak kunjung membuka pintu mobilnya. "Kenapa cuma berdiri saja, pak?" tanya Tania heran. "Kunci mobil ada di celana kanan saya, bisa kamu ambilkan?" tanya Leo. Tania mengerutkan kening, lalu sadar bahwa ia belum melepaskan tangannya dari tangan Leo. Ia buru-buru melepaskannya, "kayak ada magnet memang ya, Tania. Kamu aja gak bisa lepas dari tangan saya, apalagi nanti kalau sudah tahu setiap inci tubuh saya," kata Leo menggombal. Tania mendelik mendengarnya. "Ihh, jangan m***m, pak!" seru Tania tak terima. Leo hanya terkekeh mendengarnya, ia tak menyangka wajah Tania memerah mendengarnya. Tania berlari ke arah sisi mobil dan membukanya lalu masuk ke dalamnya begitu saja. Ia tak menoleh ke arah Leo yang duduk di sebelahnya. Mereka tiba di kantor klien lima belas menit kemudian. Leo dan Tania lantas menuju ruangan pak Wildan didampingi staff kantor yang menjemput mereka. Presentasi yang disampaikan oleh Leo singkat dan padat, kepiawaiannya dalam menarik investor memang sangat baik. Tania mengakui hal itu, presentasi sederhana yang disiapkan Tania menjadi lebih berbobot dengan pengetahuan yang Leo miliki. Meeting itu berakhir dengan kata sepakat. Keluar dari kantor kliennya, Leo dan Tania lantas menuju ke lokasi prewedding. "Pantai?" tanya Tania ke arah Leo. Ia tercengang melihat apa yang ada di hadapannya. Bukan karena ombak indah dan buih yang bertaburan di kakinya, tapi karena lukisan pantai yang tampak nyata di depannya. Tania menoleh ke arah Leo dan menatapnya heran. Bagaimana bisa Leo membawa Tania ke studio foto seperti ini? Padahal tadi Tania sudah kegirangan ketika Leo mengatakan akan mengajaknya foto preweeding di pantai. "Kenapa?" tanya Leo. "Ini namanya lukisan pantai, pak. Bukan pantai," kata Tania geram. "Kita gak punya waktu, Tania. Pernikahan kita dua minggu lagi, dan saya gak mau kamu atau saya sakit gara-gara kita berjemur di pantai," kata Leo. Tania menatapnya sengit sekali. Seorang perias mendatanginya dan memintanya untuk mengikutinya. Dengan enggan, Tania mengikutinya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang cocok digunakan di pantai. Aneh sekali rasanya memakai pakean summer didalam studio. Kipas angin diputar sangat kencang untuk pemotretan yang mereka lakukan selama tiga jam lamanya. Badan Tania bahkan terasa meriang saat ini. "Kita akan bulan madu ke pantai jika kamu mau, jadi senyumlah," bisik Leo ditelinganya. Bukannya Tania gak mau tersenyum. Kipas angin yang menerpa tubuhnya itu membuatnya masuk angin. Tania tak biasa pakai kipas, perutnya selalu kembung jika pakai kipas. "Kapan ini selesai?" tanya Tania. "Foto ini seolah-olah diambil beberapa hari, makanya kita harus ganti-ganti kostum seolah foto ini real," kata Leo. "Saya ingin pulang sekarang, pak," kata Tania. "Tunggu sesi terakhir pemotretan," kata Leo. Tania tak menjawab. Perutnya terasa tak nyaman dan akhirnya ia tak bisa menahannya lagi. Ia pun berlari dari area studio menuju luar ruangan. Di luar ruangan, Tania kentut berkali-kali, sampai tubuhnya lemas. Sepertinya perutnya kembung. Tak berselang lama kemudian, Tania muntah dan Leo tersentak kaget melihatnya yang muntah-muntah itu. "Kamu gak papa, Tania?" tanya Leo seraya memijat sedikit tengkuk leher belakang Tania untuk membantunya muntah lebih banyak agar ia lega. Tapi yang terjadi, Tania malah merasa tangan Leo membuatnya geli -geli yang berbeda, hingga tubuhnya semakin merinding. Sedangkan para kru di studio saling berbisik dan mengira Tania telah hamil saat ini. "Saya masuk angin, pak. Saya gak suka pakai kipas angin, jadinya kayak gini," kata Tania. Leo merasa bersalah karena Tania sakit, padahal niatnya foto indoor agar mereka beruda tidak kelelahan. Tapi nyatanya ia malah kena masuk angin. Detik itu juga, Leo mengajak Tania pulang ke panti. Sampai di depan pintu gerbang panti tempat Tania tinggal, ia menoleh dan melihat Tania ternyata sudah tertidur pulas di kursi. Leo tak sampai hati membangunkannya, ia akhirnya turun dari mobil dan membuka pintu gerbang itu sendiri sebelum akhirnya mobilnya bisa masuk ke halaman panti Asuhan tersebut. Leo mematikan mesin mobil dan memeriksa kening Tania yang sedang tidur di sampingnya. Tania tidak demam, Leo bersyukur. Ia hendak membangunkan Tania tapi melihat Tania tidur sangat lelap, membuatnya kembali tak tega. Akhirnya Leo turun dari mobil dan berjalan memutar dan membuka pintu mobil dimana Tania berada. Dengan penuh hati-hati dan pelan, Leo menggendong Tania di kedua tangannya dan membawanya masuk ke dalam panti. Bu Hani tergopoh-gopoh mendatangi Leo yang menggendong Tania di kedua tangannya. "Tania masuk angin sepertinya, ini lagi tidur setelah tadi minum obat," jelas Leo. Bu Hanu mengangguk lalu mengantar Leo untuk ke kamar Tania dan membaringkannya di kasur. "Nak Leo tunggu sini, ibu buatkan minuman hangat dan ambil minyak kayu putih juga," kata bu Hani dan Leo kembali mengangguk paham. Bu Hani pergi dan Leo bisa dengan puas menatap kamar Tania dengan seksama. Ada beberapa potret Tania di dinding, dari mulai bayi hingga dewasa. Leo tersenyum melihat foto-foto tersebut. Saat ia hendak pergi dari kamar Tania karena merasa sungkan berdiam diri di sana lama-lama, tiba-tiba saja tangannya ditarik Tania. Leo tersentak dan menatap Tania yang ternyata masih tidur. Bahkan matanya masih merem, tapi kenapa tangannya memegang tangan Leo. "Jangan pergi," lirih Tania. Mendengar kata itu, Leo tertegun, dipandangnya Tania dengan begitu dalam sampai dadanya berdebar-debar tak karuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD