Dea hamil

1098 Words
Rumah besar itu sedang heboh, karena berita kehamilan sang putri. Seorang Ayah yang merasa gagal, dan ibu yang tidak bisa berkata-kata. Seorang kakak yang tidak bisa lagi membendung kemarahannya, karena adiknya hamil tanpa tahu siapa yang menghamilinya. "Kita tidak bisa biarkan anak itu lahir. Karena itu hanya akan membuat Dea sengsara!" ungkap Revdi yang sedang dipenuhi emosi. "Tenanglah, kita tidak bisa gegabah. Turunkan suaramu. Kau tidak bisa melakukan apapun dengan marah-marah seperti itu!" Bima sama kecewanya dengan sang putra, tapi bagaimanapun Andrea juga putrinya, dia harus mencari solusi yang terbaik. Risa hanya bisa terus menangis, dia memikirkan nasib sang putri. Padahal dia sudah merencanakan pertunangan sang putri dengan anak temannya. Tapi jika seperti ini, masa depan Andrea akan sulit. "Aku akan membunuh orang yang telah menjebak adikku!" Revdi sangat menyayangi Andrea, dan dia sangat marah karena adiknya dicurangi seperti ini. Bima sudah menyuruh anak buahnya mencari tahu, siapa dalang dari kemalangan yang dialami oleh putrinya. Dia percaya, putrinya tidak akan melakukan hal seperti itu, jika tidak ada yang menjebaknya. "Sayang, bagaimana nasib putri kita? Dia masih terlalu muda. Bahkan dia baru saja masuk kuliah beberapa bulan lalu!" Risa tahu putrinya belum siap untuk memiliki anak, terlebih tidak ada orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban. "Kita akan bicarakan ini padanya. Diamlah, dan coba temui putrimu!" Bima sudah sangat pusing dengan masalah ini, dan semakin pusing mendengar keluhan dari istrinya. "Dea mengunci pintu kamarnya. Dia menolak untuk menemui siapapun!" jawab Risa sambil menangis. Sejak Andrea mengungkapkan kehamilannya, gadis itu tidak mau menemui siapapun. Menguncikan dirinya, membiarkan keluarganya kebingungan. Tok tok tok "Siapa?" teriak Revdi keras. "Saya tuan, di luar ada tamu!" Pelayan itu tahu keluarga ini sedang menghadapi masalah, dia jadi takut kalau saja melakukan kesalahan. "Suruh tamu itu menunggu!" jawab Revdi agak kesal, karena tamu itu mengganggu mereka yang sedang membicarakan masalah penting. "Aku akan temui dulu tamunya. Cobalah untuk membujuk Dea agar keluar dari kamarnya. Dia belum makan sejak siang!" suruh Bima pada Revdi dan Risa. Dia keluar dari ruangan masih dengan wajah tegang. Berjalan menuju ruang tamu, dia melihat punggung seseorang dari kejauhan. "Anda siapa?" Bima yang masih dalam mode kesal tidak repot untuk beramah-tamah. Orang itu mengenakan pakaian berkelas, wajah tampannya terlihat dingin. Mata yang menyorot tajam dan terlihat familiar. "Anda mungkin lupa, saya Aldo. Anak dari rekan bisnis Anda, Albi Avega!" Aldo mengulurkan tangannya, dan disambut ragu oleh laki-laki paruh baya di depannya. "Albi bilang kau ada di Singapura. Kupikir kita tidak akan bisa bertemu dalam waktu dekat!" Mengabaikan perasaan kalutnya, dan mencoba bersikap profesional. Keduanya terlibat dalam pembicaraan ringan. Aldo terlihat dingin, tapi sikapnya yang mudah menyesuaikan diri terhadap lawan bicaranya membuat Bima juga bisa mengobrol dengan santai. Hingga Aldo mengungkapkan pertanyaan yang membuat Bima kembali bingung. "Aku kemari atas permintaan papa. Dia ingin aku segera melamar putri Anda. Kupikir, sebaiknya aku mengenalnya lebih dulu!" Bima jadi semakin kesal. Seharusnya Andrea bisa menjadi menantu keluaran Avega yang terkenal baik. Tapi dengan kondisi saat ini, bagaimana dia bisa memilihkan calon yang baik? "Maaf, putriku sedang tidak enak badan. Mungkin lain kali kalian bisa bertemu. Kau tidak keberatan bukan?" Bima tidak mau langsung menolak niat baik keluarga Avega, karena mungkin saja dia bisa mencari jalan keluar lainnya untuk masalah kehamilan Andrea. Aldo malah tersenyum tipis menanggapi alasan Bima. Dia melihat ada kegelisahan di wajah laki-laki paruh baya di depannya. "Tentu tidak masalah. Aku akan menunggu waktu lainnya!" Aldo melirik ke lantai atas, dia melihat seorang gadis yang berdiri di pagar pembatas. Saat mata mereka bertemu, dia melihat gadis itu langsung berbalik pergi. Dia terus menatap kepergiannya. Hingga tidak lagi terlihat di pandangannya. "Besok aku akan datang bersama orangtuaku. Anda tidak keberatan bukan, jika kamu berkunjung? Kuharap, putri Anda sudah sembuh, agar aku bisa melihatnya!" Aldo mengatakan dengan tegas, seakan menunjukkan, jika dia tidak mau mendapat penolakan. Bima tersebut, menyembunyikan kegetiran yang dirasakannya. Dia memang pernah berjanji untuk menjodohkan putrinya dengan putra keluarga Avega, jika keduanya cocok. Dia tidak mengira akan secepat ini, usia Andrea juga baru delapan belas tahun. Dalam pikirannya, dia belum berencana untuk menikahkan putrinya yang paling dia sayangi. Tapi takdir malah mempermainkannya, putrinya hamil, dan lamaran baik datang terlalu cepat. Bima mengantarkan Aldo ke pintu depan. Pemuda itu memiliki sikap dingin, tapi Bima dapat yakin, keluarga Avega memiliki karakter yang baik. Dan dia cukup menyukai pemuda di depannya. Risa dan Revdi sedang berada di kamar Andrea. Gadis itu mau membuka pintunya, dan sekarang ini sedang makan. Revdi langsung melihatnya, saat mendengar kabar dari pelayan kalau Andrea ingin makan. "Jangan lihat aku seperti itu. Kalian boleh memarahiku. Tapi jangan tatap aku dengan tatapan seperti itu!" Andrea berbicara dengan mulut terisi penuh, dia lapar setelah seharian menangis. Revdi tidak bisa berbicara, melihat wajah adiknya yang sembab akibat habis menangis saja, membuat hatinya sakit. Mulutnya yang sudah akan mengeluarkan umpatan saja tidak jadi melakukannya. "Makanlah yang banyak!" Risa mengusap rambut sang putri, senyum terpatri di bibirnya, tapi hatinya merasa kesakitan. Andrea makan dengan lahap, mencoba menahan air matanya yang akan kembali menetes. Dia bahkan makan terlalu cepat, hingga pada menit selanjutnya, air matanya tetap menetes. Dia tetap makan, meskipun sambil terisak. Revdi mengalihkan tatapannya ke arah lain. Dia benci melihat pemandangan di depannya. Hatinya terasa diremas kuat dengan tangisan sang adik. Risa malah jadi ikut menangis. Dia berjalan keluar, seakan tidak melihat apapun. Beralasan ingin memasak sesuatu. Padahal ini sudah jam sembilan malam, tidak ada yang akan makan lagi. "Sambalnya terlalu pedas!" ucap Andrea beralasan, tapi isakannya jadi makin jelas. Revdi mendekat, dia berjongkok di hadapan adiknya. Tersenyum lembut mengusap air mata adiknya. Matanya menghantarkan kehangatan, dia ingin Andrea tahu, kalau dia tidak sendirian. "Makanlah perlahan. Kakak tidak akan meninggalkanmu sendirian. Lihat, kau makan sampai belepotan!" oceh Revdi sambil mengusap noda di bibir adiknya. "Dea salah!" ungkap Andrea yang tidak tahan melihat kakaknya bahkan sedikitpun tidak marah padanya. Bayangannya sebelum mengungkapkan apa yang terjadi padanya, adalah melihat kemarahan sang kakak. Amukan dari orangtuanya, atau bahkan mungkin diusir dari rumah. Tapi semuanya salah. Mereka semua tidak melakukan hal itu, dan malah membuatnya jadi semakin merasa bersalah. "Kakak tahu!" jawab Revdi masih mengusap air mata sang adik. Revdi adalah anak motor. Dia sering memenangkan kejuaraan freestyle. Dia memiliki banyak teman yang tersebar di wilayah Jawa. Karena sering ikut berbagai kompetisi nasional. Dia membiarkan Andrea mengikuti jejaknya. Kadang Andrea akan ikut anak-anak motor lainnya, yang latihan di sirkuit. Dia anak perempuan yang memiliki hobi extreme. Meskipun hanya ikut-ikutan sang kakak, tapi dia jadi banyak tahu tentang motor. Ada masa depan yang telah dirangkai menjadi indah. Tapi ditengah jalan ada batu terjal. Andrea terjungkal dan butuh pertolongan. Akankah keluarga itu bisa menolong Andrea untuk bangkit lagi? Yang pasti, Revdi akan menarik Andrea dari kejatuhannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD