CHAPTER 1

1230 Words
Sudah setahun lamanya sejak kepergian Aleta ke Jerman. Dengan segala tekadnya, Aleta kembali lagi ke Indonesia dengan satu tujuan, bukan balas dendam ke kembarannya, Alena. Akan tetapi, datang untuk pamannya tercinta, Fabian Lachowski. Aleta ingat terakhir kali ia bertemu dengan pamannya itu saat pertunangan Alena berlangsung. Sebenarnya ia ingin menemui Fabian saat itu, tapi ternyata masih ada sedikit perasaan di hatinya untuk Steven. Oleh karena itu, Aleta mengurungkan niat dan bertekad untuk kembali setelah ia benar-benar melupakan Steven. Lalu sekarang adalah saatnya ia untuk beraksi memperjuangkan cintanya meski hal itu terlarang. Ia lelah dengan kekalahan dalam urusan cinta, jadi ia harus memenangkannya saat ini. Aleta sekarang berada di luar Bandara Soekarno-Hatta. Ia sedang menunggu kedatangan Arsen dan Alena yang akan menjemputnya. “Kak...” Aleta menoleh, kemudian membuka kacamata hitamnya ketika ia melihat Alena berlari ke arahnya. “Alena...” panggilnya, kemudian melebarkan kedua tangannya agar Alena dapat memeluknya. Mereka pun berpelukan. “Aku kangen Kakak,” ujar Alena seraya mengeratkan pelukannya. “Kakak juga kangen Alena, mana Papa?” Tanya Aleta sambil melepaskan pelukannya dan menoleh ke samping untuk mencari Arsen. “Itu...” tunjuk Alena. Aleta pun tersenyum saat melihat Arsen yang dengan gagahnya berjalan ke arah mereka. Pria yang sangat ia sayangi itu tetap sama seperti tahun lalu. Tampan dan selalu tampan. Terlebih lagi lesung pipinya yang semakin membuatnya bangga memiliki ayah setampan Arsen. “Papa, kenapa nggak ngajak Mama?” Aleta berlari ke arah Arsen. Ia berniat memeluk pria itu, tapi ia urungkan niatnya. “Peluk dulu dong.” Arsen merentangkan tangannya dengan maksud ingin dipeluk putri tersayangnya yang sudah pergi selama satu tahun. Akhirnya Aleta memeluk Arsen dengan erat. “Mama sedang menyiapkan makanan untuk Aleta dan di sana ada Fabian.” Kedua mata Aleta langsung membesar, dan ia mulai melepaskan pelukannya. "Ayok, cepat!" ujar Aleta sambil menarik koper dan tangan Arsen untuk menjauh dari tempat itu. Arsen dan Alena tentu saja sangat bingung dengan perubahan sikap Aleta. Sekarang ini, Aleta terlihat berbeda. Ia lebih agresif. Setibanya di rumah keluarga Lachowski yang sangat mewah, Aleta membiarkan Steven membawa kopernya dan ia sendiri langsung berlari ke dapur untuk menemui Fabian―ia bahkan melupakan Verina. Di sana terlihat Fabian yang sedang memotong beberapa sayuran. Fabian memang suka memasak dan masakannya tidak kalah enak dengan masakan para chef. Melihat hal itu tentu saja membuat Aleta tidak berdaya. Postur tubuh Fabian yang sempurna dan wajah tampan membuat pria itu menjadi sangat sempurna. Memang calon suami idaman, batin Aleta. “Paman...” Fabian langsung menoleh ke sumber suara dan tersenyum menemukan Aleta yang berdiri di samping kulkas. Ia terpana sebentar karena penampilan Aleta yang semakin dewasa. Perempuan itu mengenakan dress pendek bewarna putih dengan rambut hitamnya yang menjuntai ke belakang. Benar-benar sangat cantik. “Kebiasaan, jangan berteriak,”seru Fabian sambil mengarahkan telunjuknya pada Aleta. Aleta sendiri hanya tersenyum, dan berniat berjalan ke arah Fabian.“Sedang apa?” “Baca buku,” jawab Fabian santai. “Ih, paman kok gitu jawabnya. Kebiasaan deh...” “Lah, udah tahu paman lagi masak pakai tanya segala.” Aleta mempoutkan bibirnya. “Paman, ada salam dari kakek dan nenek. Katanya kapan paman nikah?” Fabian langsung menghentikan acara memotongnya dan menatap Aleta. "Mereka selalu saja begitu. Aleta, bisa carikan paman istri?” Aleta langsung mengangguk. "Sama Aleta aja, Leta kan cantik. Cocok dijadikan istri." Aleta tersenyum seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya pada Fabian. Fabian tampak menimbang-nimbang perkataan Aleta.“Terus paman akan berhadapan dengan Papamu yang posesif.” “Paling paman hanya patah tulang―”Ucapan Aleta terhenti karena jitakan Fabian di kepalanya. “Paman heran, di Jerman, Kakek mengajarkanmu apa?” Aleta tersenyum jahil. “Paman ingin tahu?” Fabian dengan polosnya mengangguk. “Ini...” Cup... Aleta mencium pipi Fabian dan berlalu setelah mendapati pipinya yang merona. Fabian sendiri hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dasar...” ♥♥♥ Kedua mata Aleta masih setia memandangi fotonya bersama Fabian. Foto itu diambil saat kedatangan pertama Fabian ke Indonesia dan saat itu ia belum memiliki perasaan apapun pada Fabian. Fabian. Nama itu terus mengusik ketenangan Aleta selama satu tahun ini. Bagaimana bisa pria itu memiliki pengaruh yang cukup besar bagi Aleta? Setiap mendengar namanya, Aleta selalu ingin berlari dan berada di sisinya. Ia selalu ingin berada di setiap waktu yang ada bersama Fabian. Menikmati masa indahnya yang bahagia. “Kak, dipanggil Mama untuk makan buah.” Lamunan Aleta buyar seketika. Ia meletakkan foto itu, kemudian berjalan ke luar kamar. Langkah kaki mungilnya berjalan menuruni anak tangga dan seketika dadanya berdesir saat melihat senyuman Fabian yang sedang tertawa dengan Alvaro, kakaknya. Sungguh, senyuman Alvaro yang katanya dibilang sangat manis, dikalahkan oleh senyuman Fabian yang memikat. Ia menyukai senyuman Fabian. Hanya Fabian. Karena hal itu, Aleta ikut tersenyum, kemudian duduk di antara Fabian dan Alvaro. “Kebiasaan...” Gerutu Alvaro dan Fabian. Aleta tidak memerdulikannya dan memilih untuk menikmati buah yang sudah Verina kupas dengan sangat baik. “Alena, ke mana Steven?” Alena tidak menjawab, ia melirik sekilas ke arah Aleta dan lirikannya membuat Aleta menghentikan makannya. Aleta mengembuskan napasnya, kemudian memberikan garpu beserta buahnya ke Fabian yang berada di sisi kanannya. Lalu, ia menoleh ke arah Alena. “Alena...” “Iya, Kak?” “Aku sudah melupakan Steven, jadi jangan pernah merasa bersalah. Anggap tidak ada yang terjadi tahun lalu, mengerti?” Alena hanya mengangguk, sedangkan keempat orang itu hanya menatap takjub ke arah Aleta. Mereka tak menyangka Aleta bisa langsung melupakan Steven, mantan tunangannya tahun lalu. “Lalu, siapa yang kamu sukai sekarang ini?” tanya Alvaro. Aleta memilih diam dan mengambil garpunya dari Fabian, semuanya memperhatikan Aleta untuk menunggu jawaban dari perempuan itu. “Ada satu, tapi aku harus menaklukkannya dulu,”ujarnya sambil memakan lagi buah apel. “Apa dia tampan?” tanya Arsen. Aleta mengangguk. “Sangat tampan.” “Lebih tampanan siapa?” tanya Alvaro. “Dia peringkat ketiga setelah Papa dan Kakek.” Alvaro tampak kecewa akan jawaban Aleta, dan semua orang yang ada disana tertawa karena raut wajah Alvaro yang sangat lucu. ♥♥♥ “Yakin udah ngelupain Steven?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Fabian. Sekarang, mereka berdua tengah duduk di tepi kolam sambil menurunkan kaki mereka ke air kolam yang dingin. Tadi, selesai mengobrol, semuanya kembali ke kesibukan masing-masing. Verina dan Arsen keluar, Alvaro kembali ke kantor dan Alena pergi ke rumah Steven. Jad tinggallah Aleta dengan Fabian. “Sangat yakin, berkat paman, aku tahu kalau Steven harus dilupakan.” Aleta tersenyum, kemudian ia mengingat lagi perkataan Fabian kepadanya tahun lalu. Fabian mengatakan bahwa cinta itu tidak harus memiliki dan tidak bisa dipaksakan. Aleta akui, itu ada benarnya. Namun, sejak ia bertekad membuat Fabian mencintainya, ia yakin bahwa cinta harus dipaksakan. “Tidak ingin memberi paman hadiah atas semuanya?” Aleta menyipitkan matanya. “Ada, Paman mau?” Fabian mengangguk. “Tutup mata Paman.” “Baiklah, tuan putri,” ujar Fabian, kemudian mulai menutup matanya. Cukup lama ia menutup matanya sampai ia dapat merasakan suara gemericik air. Sepertinya Aleta sudah mengeluarkan kakinya dari kolam. Cup... Fabian merasakan benda kenyal menempel di bibirnya, ia pun membuka matanya dan terkejut mendapati Aleta yang sedang menutup matanya dan menciumnya. Tiba-tiba saja ada gemuruh yang kuat di d**a Fabian karena merasakan bibir kenyal Aleta di bibirnya. Cukup lama Fabian terdiam sampai Aleta melepaskan bibirnya. Aleta tersenyum. “Aku mencintai Paman.” Tidak ada hal yang lebih mengejutkan daripada ini. Fabian bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD