“Bebep Nuraz!”
“Tungguin!”
Seperti itu. Tiba di hari esok, setelah semalaman Arka tidak bisa tidur gara-gara memikirkan Neta terkait ucapannya, yakni: konon ada pelet di bekal yang Arka makan. Kini dia masuk sekolah dengan kondisi mata yang ngantuk total. Si semprul Neta malah mengganti nama panggilannya.
“Nuraz, ih. Sepatu aku ada heels-nya, tau. Jangan cepet-cepet jalannya!”
Mendengar itu, Arka membuang napas pelan. Sabar. Memangnya siapa yang nyuruh Neta pakai sepatu hak tinggi? Bisa-bisa dirampas oleh guru BK. Yang untungnya Arka tidak peduli.
“Kemaren aku piknik loh sama Papa.”
Arka membiarkan Neta berjalan di sampingnya, yang Arka pandangi sejenak saja. Ada lekuk bibir tipis, sangat tipis, di wajah Netalia.
“Kami piknik di taman.”
Arka memilih diam.
Neta bicara lagi, “Papa aku tuh juaranya kalo masak, yang makan masakan dia bisa langsung jatuh cinta kayak Mama.”
Neta tertawa. Arka pikir tidak ada yang lucu.
“Yeah sayang banget.” Neta menatap Arka yang juga menatapnya. Dalam tatapan itu, Arka tidak bisa membaca atau menerjemahkan jenis pandangan Neta yang terlampau hampa. Sebentar saja, sebelum kemudian Neta menatap lurus ke depan. “Sayang banget ”
Yang Papa kasih makan bukan cuma kami. Yang Papa masakin bukan cuma Mama dan aku.
Sayang banget.
Membuat Neta ingin menghancurkan dapur saat itu juga, ketika ingat bahwa dulu Neta melihat Papa memasak untuk mamanya Vira. Yang Neta pikir mereka saudara. Ya, sebatas ipar saja. Tanpa tahu bahwa mungkin, saat itu adalah bagian dari mereka yang telah merajut rasa bersama.
“Oh, iya, Nuraz”
“Nama gue Arka.”
“Nuraz Sadewa, kan, lanjutannya?” Neta senyum. Dia colek lengan Arka dengan jari telunjuknya. Mereka berjalan di koridor menuju kelas Arka. Jadi konsepnya, Neta lah yang mengantarkan Arka ke kelas. Bukan sebaliknya. Well, kelas Arka ada di lantai atas.
“Jangan ubah nama panggilan orang, Net.”
“Loh, kenapa? Anggap aja panggilan sayang. Setelah dipikir-pikir, aku nggak suka nyebut nama kamu samaan kayak Vira.”
Alah!
Arka hentikan langkahnya. “Neta, plis. Udahan, ya? Jangan bikin gue tambah gedek sama lo, bisa?”
Detik di mana Neta memalingkan wajah menuju gerbang yang terlihat dari tempatnya, Neta menghindari tatapan Arka. Namun, saat itu dia justru melihat sesuatu yang lebih baik tidak dilihat olehnya.
Arka bicara, “Lo tau gue cuma jadiin lo bahan taruhan, dan gue menang. Gue mau mundur, kenapa lo maksa bertahan dengan cara yang menjijikkan?”
Neta diam.
“Lo nggak malu, Net?”
Tidak. Telinganya seolah disfungsi. Karena saat itu ada mobil yang Neta kenali, mobil yang kemarin Neta tumpangi saat pergi piknik. Ya, mobil itu mobil papanya. Neta ingat betul, kemarin dia lah yang turun dari sana, bukan Vira bersama seragam sekolahnya.
“Gue sangat menghargai perasaan lo, kalo lo sesuka itu sama gue. Tapi, Net ”
Ucapan Arka lebur seluruhnya dari pendengaran Neta. Sebab otak Neta bekerja hanya untuk satu fakta yang tertangkap di matanya.
Papa bilang, hari ini harus berangkat pagi karena ada pekerjaan yang kemarin ditunda oleh waktu piknik hingga papanya pergi di pagi buta. Namun .
“Gue cintanya sama Vira. Kalo lo mau gue memohon, oke, tolong jangan ganggu gue lagi, ya?”
Ternyata papanya berangkat pagi-pagi sekali untuk menjemput Vira, mengantarkannya ke sekolah, sementara Neta hanya diberi uang saku lebih banyak dari biasa.
Kenapa, sih?
Kenapa papanya begitu?
Apa tidak cukup hanya menyakiti mama saja?
Yang Neta tatap dengan tajam wajah Arka, lelaki yang saat ini meraih tangannya, menggenggam atas sebuah permohonan. Neta benci Vira dan rasa bencinya sama rata untuk orang-orang yang melukai mama. Neta benci segala hal yang berkaitan dengan Vira hingga dia ingin membunuh mereka satu per satu dengan tangannya. Hati Neta sakit, yang katanya telah mati rasa.
Detik itu, Neta berbalik. Meninggalkan Arka yang mengernyit.
Ah, iya, sepertinya Neta harus bicara. Kembali menghadap Arka, dan mengatakan, “Kamu selalu minta pergi dari aku. Arka harus, ya, aku patahkan kaki kamu supaya nggak bisa lari?”
***
Entah kapan dapat dia ungkapkan, tentang keluarga yang terlanjur berantakan. Apakah ini salahnya?
Salahkah dia bertekad menggapai cintanya? Dio mencintai wanita yang sekarang menjadi istrinya, perempuan yang harusnya Dio nikahi dulu atas perjodohan orang tuanya ya, mama Vira. Bukan ibunya Neta yang merusak semua tatanan hidupnya.
Dulu, selepas Dio menjatuhkan hati kepada Rahee Larasati, dia jatuh cinta lagi. Hatinya berlabuh kepada seseorang yang mamanya kenalkan.
“Aku bukannya nggak suka loh, ya, sama Neta. Tapi dia ini sengaja memonopoli kamu dan berlagak seakan Mamanya itu korban. Padahal kan nggak!”
Laras Asita namanya, disebut Sita, yang jadi mamanya Vira, dan sedang hamil anak Dio sekarang.
“Kamu minta aku akur sama Neta? Yang bener aja, Mas! Anakmu itu yang harusnya kamu omongin. Kenapa jadi aku yang harus mohon-mohon ke dia buat ngajak Neta damai? Selama ini Neta loh yang cari ribut. Rambutku dia jambak sampai pitak! Lihat!”
Dan Dio mencintai wanita itu, Sita. Walau dia juga menyayangi Neta terlepas dari
“Neta nggak bakal jambak kamu kalo aja”
“Apa?! Kamu tuh selalu belain dia!”
“Ta—”
“Dia ini emang dasar sinting anaknya! Nggak ada hormat-hormatnya sama orang tua. Nggak bersyukur”
“Sita!”
“APA?! AKU BENER, KAN? DIA NGGAK TAU DIRI, BUKANNYA BERSYUKUR AKU MAU ULURIN TANGAN BUAT RAWAT DIA, TAPI DIANYA NGGAK MAU!”
Dio terdiam. Istrinya dilahap emosi. Mereka sedang bicara sore itu, sepulang kerja sebelum ke rumah Neta.
“Padahal nih, ya ” Sita menjeda, menarik napas panjang, emosi meletup-letup tak tertahan. Sudah lama ingin dia katakan bahwa, “DIA ITU ANAK KAMU JUGA BUKAN!”
Ya, bukan.
Oh, ternyata bukan.
Neta bukan anak Papa.
Dan Neta berdiri di sana, di depan pintu, memberanikan diri untuk masuk dan mendengar lebih banyak. Sementara tangannya mengepal, merasa kebas.
“Gimana tadi?”
Tersentak. Praktis Dio berdiri, menoleh dan mendapati keberada sang putri. Ada Neta yang tersenyum di sana.
Karena terlanjur emosi, Sita muntahkan kalimatnya. Berkata sebelum Dio sempat menahan, bahwa “Kamu itu nggak tau diri! Dengar itu, Neta. Nggak tau diri! Merengek-rengek untuk menguasai Papa kamu sendiri, padahal saya bahkan lebih berhak atas Papa kamu daripada kamu yang bukan anaknya!”
“Sita—”
“APA, HAH?! SAMPAI KAPAN MAU DISEMBUNYIKAN?”
Yang Neta pandangi kedua orang itu dalam diam. Tak ada air mata, tak ada raut terluka. Dia diam. Sebab lukanya sedang Neta ciptakan di tangan melakui kuku yang panjang.
“Emang bener, ya. Buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Neta begitu sama dengan ibunya.” Dan ibunya Neta adalah kakaknya mama Vira.
“Itu aja?” Neta tampilkan ekspresi kecewa. Ah, tapi dia pura-pura. Yang ada Neta tertawa. “Lucu.”
Mereka lucu. Detik di mana Neta tak tahan lagi, saat papanya mendekat, hendak membawa Neta menjauh dari sana—mungkin—ingin bicara empat mata. Namun, Neta maju lebih dulu. Berjalan cepat, sangat cepat, sampai-sampai dia berhasil meraih vas bunga dan melemparkan ke kepala papanya.
“Papa!” Vira menjerit, dia yang diam sejak tadi pun muncul juga.
Neta melihat darah mengalir di kepala sang Papa. Jatuhnya vas bunga menghasilkan bunyi pecahan kaca yang menggema di telinga, belum lagi suara Tante Sita memekik dan jeritan Vira. Neta menatap mereka hampa.
Tidak merasa sakit. Tidak merasakan sesal.
Merasa puas juga tidak.
“Neta ”
Tetapi saat papanya masih mampu bicara, dan Neta rasa beliau baik-baik saja, saat itu Neta meninggalkannya dengan kalimat, “Ah sayang banget, Papa nggak langsung mati.”
“SINTING KAMU, NETA!”
“ANAK KURANG AJAR!”
“NETALIA—akh!”
“Ma, udah.” Vira memangkas emosi sang Mama. “Perut Mama bisa kenapa-kenapa kalo kebawa emosi sama Neta. Udah. Mending kita obatin Papa, aku telepon dokter dulu.”
Ya, seperti itu. Yang Dio tahu, yang dia alami, dulu kakaknya Sita datang dan membuat drama penghancur angannya bersama Sita. Membawa Neta dalam kandungan dan membuatnya terikat tanpa bisa menolak.
Tapi, sungguh Dio menyayangi Neta sebagaimana Neta adalah putrinya. Hanya saja mungkin, caranya salah dan terlalu berbeda dengan Vira. Padahal mereka sama-sama bukan putrinya. Bedanya, Vira lahir dari rahim wanita yang Dio cintai. Sedangkan Neta tidak sama sekali.
***