“Arka tau, nggak?”
Neta sandarkan kepalanya di bahu Arka, sedangkan Arka bersandar di pohon, mereka ada di belakang sekolah, tempat di mana Arka mengajak Neta pacaran. Keduanya tengah menikmati ketenangan di jam istirahat.
“Kadang aku mikir, ngebunuh orang itu nggak dosa selagi yang fatal kesalahannya. Kayak dipenjara aja ada hukuman mati, kan? Nah, berarti boleh dong kita ngebunuh manusia. Iya, kan?”
Ngomong apa sih, Neta? Arka diam saja. Membiarkan cewek itu mengoceh sesukanya.
“Ngomong-ngomong, kamu jangan kaget, ya, kalau suatu saat aku bunuh orang.”
Untuk kali ini, praktis mata Arka terbuka. Membuat jarak demi menatap Netalia. "Bercanda lo nggak lucu.”
Neta tidak terima.
“Aku serius. Lagian udah pernah kok … hampir sih.”
Arka terdiam. Menelusuri telaga bening Neta yang memandangnya sambil tersenyum, dan cewek itu berkata, “Makanya kalo nanti Arka jahatin aku, mati.”
Yang Arka toyor kepalanya. Neta memekik, “Arka, ih!” Mengusap bekas toyoran Arka, bibirnya mengerucut.
Geli. Arka sandaran lagi ke pohon. Jujur, sepanjang dia berperan sebagai pacarnya Neta, Arka masih tidak paham di tiap kali Neta cerita. Isinya selalu tentang bunuh-membunuh. Dasar cewek psycho!
“Arka ….”
Mingkem, Arka malas buka suara. Tujuan dia mengasingkan diri ke belakang sekolah itu untuk mencari ketenangan.
“Kamu jangan balikan sama Vira, ya.” Tetapi Neta mengganggunya. Yang Arka pandangi sekarang.
“Sampai kapan pun, jangan, walau nanti status kita cuma mantan dan sebab pacaran karena taruhan.”
“Kenapa?”
Ya, memangnya kenapa? Kenapa tidak boleh, padahal Neta tahu kalau Arka masih ada rasa kepada Vira. Neta tahu … ah, tidak. Bukan cuma Neta, tetapi nyaris seisi sekolah tahu kalau Arka masih mencintai Vira, pun sebaliknya.
Yang jadi pertanyaan, kenapa putus? Kenapa malah jadian sama Neta? Karena taruhan?
“Nggak … ya … jangan aja.”
Bukan. Arka mungkin pacaran dengan Neta karena bertaruh dengan teman-temannya, tetapi putus dengan Vira tidak ada sangkut pautnya.
Ah … Vira Alisandina, kenapa minta putus di saat Arka sedang cinta-cintanya? Kenapa ngajak balikan di saat Arka sudah terjebak taruhan? Hingga Arka menjanjikan kepada Vira bahwa: Tunggu aku. Selesai sama Neta, kita balik kayak dulu.
Namun, Neta berkata, “Kamu boleh pacaran sama cewek mana pun, asal bukan Vira.”
Bahkan jauh dari hari ini, sejak awal jadian dengan Neta pun Arka sudah setuju pada gagasan yang Vira cetuskan, yakni: Aku bisa kok pura-pura jadi mantan kamu. Kenapa harus nunggu nanti … kalau sekarang kita bisa sama-sama lagi?
***
Rumah adalah kata kiasan dari neraka bagi Neta. Yang sedang dia pandangi isinya, hampa, tetapi tiap kali Neta injakkan kaki di sana, dia terbakar.
“Neta udah makan?”
“Udah. Papa jadi pulang hari ini?”
Neta sedang teleponan dengan papanya, wajah yang tengah Neta tatap lewat foto di ruang keluarga. Ada sosok yang tegap berjas hitam di sana, di sebuah bingkai foto, berdiri dan merangkul sang mama … istri papa … yang sudah tiada.
“Jadi dong. Neta mau sekalian Papa bawain apa?”
“Di sana ada apa aja?” Papanya sedang bisnis ke luar kota, itu yang Neta tahu dari sang Papa langsung sebelum meninggalkan neraka … rumah mereka.
“Ada banyak, apa aja ada. Kalo nggak ada pun Papa usahakan supaya ada, buat Neta.”
Wah, papanya penyayang sekali. Neta tersenyum. Namun demikian, hatinya terluka.
Kalau kirim mama buat Neta, bisa? Bukan mama yang merebut papa. Tetapi mama yang melahirkan Neta ke dunia Mama yang sudah lebur di tanah sejak dua tahun lamanya. Mama yang hari itu pamit … dan ternyata untuk selama-lamanya.
“Neta mau boneka sentet aja, ada?”
Di seberang sana papanya tertawa. “Oke, nanti Papa kirim boneka.”
“Boneka santet?”
“Itu nggak terdaftar, Sayang.”
“Katanya apa aja ada asal buat Neta.” Bersama nada manjanya, tapi ketahuilah … tatapan Neta tak bernyawa.
“Selain itu?”
Sekalinya bernyawa, justru ketika Neta berkata, “Jasad Mama, atau jantung si perebut Papa dari Mama. Kirim aku itu.”
Yang Neta matikan teleponnya. Sambungan nirkabel itu terputus. Neta tidak membiarkan sang Papa meresponsnya. Dia letakkan ponsel di meja, saat di mana layar ponsel itu bercahaya menunjukkan notifikasi pesan masuk, yang kemudian Neta baca.
Dari Arka.
Gue udah di depan rumah lo, cepet buka!
Ah, iya … sebelumnya Neta meminta Arka bawakan makanan ke rumah, Neta bersikap tak tahu malu, dia ngemis-ngemis kepada pria itu, lalu mengancam, banyak hal yang Neta lakukan untuk seorang Arka.
Biarkan.
Yang Neta tatap sosoknya dari jendela, tetapi tak kunjung Neta bukakan pintunya. Arka tidak melihat keberadaannya. Hingga Neta tutup kembali tirai ventilasi itu, kembali duduk di sofa keluarga, kembali menatap foto papa dan mama.
Arka. Ya, lelaki itu … anggap saja sebagai jalur ninja Neta untuk balas melukai orang-orang ternista.
Karena demi apa pun … hatinya kosong. Sudah lama Neta mati rasa.
***
Neta berjanji demi jasad mamanya, dia akan melukai perempuan perebut papa hingga titik darah penghabisan.
Alasan mengapa dia ada di sini, lahir ke dunia untuk membalas duka dari orang-orang meluka. Detik di mana Neta mencengkeram kuat sejumput rambut nista seorang wanita, yang dia tarik hingga mencipta pitak di sana.
“AKH ... LEPAS, SIALAN!”
Menjerit-jerit meminta pertolongan, Neta gelap mata bilamana lensanya tepat jatuh di wajah sang pencuri papa. Yang sedang Neta tarik kuat helai rambutnya, terus begitu, bahkan Neta tidak peduli pada suara semerdu bujuk rayu papanya.
Benar, papa k*****t. Bisa-bisanya membohongi Neta perkara kepulangannya. Yang katanya mau pulang ke rumah … rumah siapa? Bukan rumah Neta. Melainkan rumah perempuan sialan yang memecah belah keluarganya.
Bahkan, bohong!
Papanya tidak benar-benar ke luar kota.
Bohong!
Lelaki itu justru menginap lama di rumah Vira.
Ah, Vira … manusia nomor sekian yang Neta tempatkan di antrean untuk dia binasakan. Perempuan yang mengirimkan foto kemesraan keluarga anjing itu kepadanya. Memanas-manasi Neta yang duduk diam di sofa rumahnya, menanti sang Papa.
Neta yang tidak membukakan pintu untuk Arka, Neta yang membiarkan Arka marah dan pulang lagi tanpa sempat Neta temui. Neta … sungguh mati dia diam saja sejak tadi.
Namun, Vira membenci Neta. Sebab Neta nyaris membunuh mamanya kala itu. Hingga Vira getol memanasi. Mengirimkan foto-foto harmonisnya keluarga. Padahal, hei! Itu papanya Neta! Itu punya Neta!
Neta yang mengaku mati rasa, tetapi nyatanya dia terluka melihat foto kiriman dari Vira. Yang tak lagi bisa dia tahan emosinya. Neta datangi rumah mereka, tempat di mana sang Papa bersemayam meninggalkannya ke luar kota. Kenyataan … papanya ada di sana. Memandangnya tanpa kata.
Terkejut begitu tiba-tiba Neta jambak istri barunya. Ya, benar. Mama Vira.
“Selir anjing! Mati lo, b***h. Mati!”
“Akh ... sakit, lepas!” Merintih, mencoba melepas diri, lalu memohon kepada suami, papa Neta, untuk melepaskan dia dari serangan putri sialannya. “Mas ...akh, rambut aku!”
Tak tahan lagi, tanpa tedeng aling-aling Neta gunakan tangan satunya untuk mencekik wanita itu. Saat di mana papanya berkata, “NETA CUKUP!”
Lalu mendorong Neta sekuat tenaga sebab Neta tak gentar ketika dijauhkan dari istrinya dengan kelembutan.
Membuat Neta terdorong dua langkah ke belakang, nyaris jatuh, mata Neta memerah, berkaca menahan amarah.
“Kamu nggak pa-pa?”
“Kepala aku sakit, Mas!”
Oh, bukan. Dia bertanya kepada putrinya. Kepada Neta yang membekap mulut, lalu berlari begitu saja dari sana.
Dio mengejarnya. “Neta!”
Namun, secepat angin Neta berlari. Bersembunyi.
Hingga papa tidak dapat meraihnya. Neta gemetar, dia berjongkok di sebelah rumah orang … entah milik siapa. Dia sembunyi di sana, menahan mual yang datang, telapak pun dingin dibuatnya. Mual.
Neta mau muntah di tiap kali emosinya meledak. Neta mual di tiap kali dia sadar bahwa baru saja dia mengamuk sampai nyaris membuat pitak baru di kepala mama tirinya.
Satu hal yang tidak Neta raba, bahwa ternyata dia … sakit. Dia butuh pertolongan. Dia butuh uluran tangan.
Ya, Neta.
Lagi, dia melukai tangannya. Tiba di rumah dengan keadaan gemetar parah, Neta mengambil obatnya … serpihan kaca.
***
N O T E:
M A S U K I N - P E R P U S - D U L U - A J A- Y A I TU - K L I K - L O V E N Y A.
H A B I S - I T U - T U N G G U - A C C.
M A K A - B E R S A B A R L A H.