“Aku menerima tawaranmu.” Insting dalam diriku memperingatkan bahwa ada yang tidak beres. Kiel tidak memberengut saat aku memanggil langsung nama depan dan bukannya Sir Noyes. Namun, firasat tidak menyenangkan terkesampingkan begitu berhadapan dengan urusan hidup dan mati. Seolah ada api membara dalam paru-paru hingga membuatku kesulitan bernapas. Degup jantung bertalu, menggedor rongga d**a—begitu kencang hingga aku bisa mendengar suaranya seperti genderang perang. Mau tidak mau aku bersiap menerima kedatangan maut. Namun, setelah sekian lama, teriakan maupun erang kesakitan belum juga terdengar. Awalnya ragu-ragu, tetapi aku harus memastikan. Saat mendongak wajah Kiel balas menatapku. Kepalanya masih menempel di leher; tidak terluka, utuh, bahkan tampaknya air liur beruang pun tidak