Bab 15

1921 Words
HAPPY READING *** Setelah makan malam, Anja dan Willi memutuskan untuk pulang. Ia melirik Willi sedang memanuver mobilnya, dia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Tangan kanannya di setir dan tangan kirinya berada di audio mencari siaran music yang baik. Ia melihat Willi mengenakan jam tangan. Jujur ia merasa, jika semua pria mengenakan jam tangan, dia terlihat jauh lebih tampan. Apalagi ketika lengannya tergulung hingga siku memperlihatkan jam tangan, kesannya jauh lebih sexy dibanding yang tidak. Alasanya karena dia terlihat rapi, dan dewasa. “Kamu ada media social?” Tanya Anja penasaran. “Media social seperti apa?” “i********:, f*******:, atau yang lainnya,” Tanya Willi. Willi menyungging senyum, “Saya nggak sempat main media social Anja. Kerjaan saya lebih banyak, lebih baik saya membereskan kerjaan saya, dari pada mengurus social media.” Anja tersenyum, jujur ia lebih suka dengan pria yang tidak popular di media social, apalagi dia tidak aktif di sana. Misalnya postingannya nol atau mungkin juga followingnya hanya circle terdekatnya saja. Ia juga suka cowok yang tidak banyak spam. Tidak mengekorin terus menerus, tanya kabar setiap jam, kayak nggak ada kerjaan sama sekali. Jujur ia suka cara bicara Willi yang dewasa, dia sangat santun dan baik, begitu juga bagaimana cara dia mengirim pesan sesuai etika bahasa. Aneh memang, namun entahlah ia selalu suka dengan pria yang menggunakan kata ganti saya, sebagai penunjuk dirinya. Memang kesannya formal dan sedikit kaku, namun pesonanya lebih dapat. “Kamu main media social?” Tanya Willi melirik Anja. Anja mengangguk, “Iya main, waktu senggang biasa hiburan saya main media social,” Anja terkekeh. “Isinya apa dalam media social kamu?” Tanya Willi lagi. “Liburan aja sih, enggak gimana-gimana. Terakhir postingan saya bulan lalu, saya ambil melalui selfie di kamar kost. Sekarang belum ada pembaharuan foto lagi.” “Itu di i********:?” Anja mengangguk, “Iya, bener. Saya suka aja sih lihat i********:. Bisa dibilang, saya bukan pengguna aktif i********:. Saya hanya menggunakannya ketika saya merasa bosan.” “I know, menggunakan media social menimbulkan kecanduan, yah addicted. Wasting time, saya mencoba membayangkan 10 menit saya gunakan saat menyelami kehidupan orang lain, bisa digunakan waktu yang berharga, misalnya mandi, luluran, membersihikan kamar.” “Overall, kalau saya tidak salah menggunakan i********: as long as, hingga batas mana yang tidak boleh dipijak. Remember one thing, kita masih punya kehidupan yang harus dijalani, yang harus dibenahi, dan harus diperjuangkan.” “I like your last words.” “Thank you.” Beberapa menit kemudian akhirnya mobil berhenti di depan gedung kost Anja. Willi mematikan mesin mobilnya, ia menghidupkan lampu dasbor sehingga penesarangan terlihat. Ia menatap Anja, wanita itu melepas sabuk pengaman. Jujur ini merupakan pertama kalinya ia masuk ke dalam kost seorang wanita. Anja keluar dari mobil, begitu juga dengan Willi. Willi mengikuti langkah Anja, ia memperhatikan area lobby, ia memandang security dan receptionis tersenyum kepadanya. Mereka lalu masuk ke dalam lift, lift membawa mereka menuju lantai atas. Ia akui bahwa fasilitas kost milik Anja sangat baik. Beberapa detik kemudian pintu terbuka. Willi memperhatikan area koridor yang sepi. Ia menatap Anja membuka pintu kamar dengan kartu akses. Seketika pintu terbuka, wanita itu mempersilahkannya masuk ke dalam. Willi mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan kamar yang tampak rapi dan bersih. Di sana ada bed berukuran queen size. Ada balkon yang menghadap ke jalan raya, dan sofa di dekat jendala. Secara keseluruhan kamar kost ini sudah sangat nyaman menurutnya. Terlebih di dalam kost ini tersedia kulkas dan TV. “Kamar kost kamu bagus,” ucap Willi. Anja mengambil remote ia menyalakan AC, ia tersenyum kepada pria tampan itu, “Sesuai dengan harganya,” ucap Anja terkekeh. “Tapi lebih bagus apartemen saya,” ucap Willi menahan tawa. Anja seketika tertawa, “Iya lah, jangan di samain dengan apartemen kamu.” Willi ikut tertawa, baginya kamar ini hanya seluas kamar tamu di apartemennyaa, ia mendekati Anja, dan menarik pinggang itu merapat ke tubuhnya. Kini tubuh mereka tidak ada jarak. Anja mendongakan wajahnya menatap Willi, ia melingkar kan tangannya di leher Willi. Mereka saling menatap satu sama lain. Willi mengelus bibir Anja dengan jemarinya, ia suka dengan aroma tubuh Anja yang manis dan segar itu. “Kamu pakai parfume apa hem?” Tanya Willi penasaran. “Dolce & Gabbana Light Blue. Kenapa?” “Aromanya enak, kombinasi buah dan bunga, karakternya fresh, saya suka.” Anja tertawa, “Sejak kapan kamu memperhatikan parfume wanita.” “Sejak dekat dengan kamu,” ucap Willi lalu tertawa. “Saya suka harum tubuh kamu,” bisik Willi. Mereka saling menatap satu sama lain. Suasana kamar terasa dingin dan sangta tenang. Tiba-tiba waktu seakan berhenti. Mereka sama-sama terdiam. Willi perlahan mengelus sudut bibir Anja. Willi menangkup wajah itu ia mendekatkan wajahnya. Kini bibir mereka menyatu, papa bibirnya dibiarkan terbuka untuk menerima ciuman. Ciuman mereka kali ini sangat lembut, bahkan lebih lembut dari apa yang ia pikirkan. Ia akui bahwa ciuaman Willi lah yang paling lembut dari pada ciuman laki-laki yang pernah ia rasakan. Oh God, kepalanya saat ini penuh dengan Willi. Ia membalas lumatan-lumatan Willi tidak kalah lembutnya. Mereka memejamkan mata menikmati hisapan-hisapan bibir. Mereka saling memangut tanpa henti. Willi mengangkat tubuh Anja, dan otomatis tungkai kaki Anja berada di pinggang Willi dan dressnya tersingkap ke atas. Lumatan mereka ritmenya semakin cepat. Willi manghisap bibir bawah dan atas secara bergantian. Kini ciuman mereka terkesan seperti besok akan kiamat, dan bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa perlu khwatir akibatnya. Ciuman mereka basah dan menyeluruh. Ia bisa merasakan bagaimana Willi menciumnya dengan mengebu-ngebu dan kedua tangannya akitf menyentuh seluruh tubuhnya secara menyeluruh. Ia memejamkan mata ketika tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, ia membiarkan Willi melakukannya. Bibir mereka saling berpangutan satu sama lain, memainkan lidah. Rasanya sangat luar biasa. Willi melepaskan kecupannya, ia mengalihkan ke leher Anja. Anja mendongakan kepalanya agar Willi bisa mengecupnya lebih dalam. Willi menghisap pelan dan memainkan lidahnya di sana. Desahan-desahan halus lolos dari bibir Anja. Sedangkan kedua tangan Willi aktif memijat d**a. Mereka sama-sama hilang control, Anja membuka matanya, ia merasakan bibir Willi berada di tulang selangkanya. Pria itu mengecupnya lebih dalam, ia meraba ujung kaos Willi dan lalu dengan cepat menarik pakaian pria itu, hingga lolos dari tubuhnya. Tangannya meraba ke d**a bidang Willi. Kini mereka saling berpangutan lagi tanpa henti dan semakin rakus. Dalam hitungan detik Willi melepaskan dress dari tubuhn Anja. Bibir mereka saling menghisap satu sama lain, kali ini lebih ganas. Willi melepaskan pangutannya, bibirnya turun ke bawah, ia melepaskan pengait bra yang dikenakan Anja. Ia lalu menghisap d**a Anja. Anja merasakan rasanya perih bercampur nikmat. Willi menginvansi dadanya, menghisap tanpa henti seperti bayi yang kelaparan, decapan bibirnya membuat miliknya semakin basah. Padahal mereka kemarin sudah bercinta, dan sekarang melakukannya lagi. Entalah rasanya sangat nikmat, tidak bisa berhenti. Bibir Willi semakin turun ke bawah, ia mengecup perut rata Anja, dan ia menarik g-string yang dikenakan Anja. Lidahnya kini menyusuri dinding miss v, ia memainkan lidahnya berzig-zag dengan lembut dan perlahan. Ia menghisap dan menusuk-nusuk dengan lidah. Jari-jari Anja menekuk dengan tegang, tangannya memegangnya sangat erat, dan rintihan keluar dari mulutnya tanpa henti, semakin keras dan tidak teratur. Tubuhnya lalu menegang kaku dan lalu terhempas-hempas, wajahnya berekpresi menahan kenikmatan akibat berbagai jenis hormon menyeburkan eforia ke dalam tubuh. Willi menatap Anja mengontrol nafasnya, “Better?” Anja mengangguk, “Yes.” Anja mendorong tubuh Willi, kini posisi tubuhnya di atas. Kali ini ia memegang kendali, ia memandang Willi dari bawah, pria itu tersenyum, seakan sudah siap menikmati permainannya. “You really like this,” ucap Anja. “It's amazing, baby,” ucap Willi. Anja lalu mulai menyatukan tubuhnya ke tubuh Willi. Ia akan membawa Willi terbang ke nirwana berkali-kali. Mereka adalah dua orang asing yang saling merindukan penghujung malam. Mereka melepas penat dan bergerak paralel dan serentak. *** Keesokan paginya Juliet menghentikan mobil di depan rumah berpagar tinggi. Ia menatap security membukakan pintu pagar rumah. Ia melihat bangunan rumah bertingkat, rumah itu terlihat sangat maskulin. Halamannya luas, ia menatap ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Pintu utama juga terbuka, ia melihat sepatu kulit di sana. Juliet mematikan mesin mobilnya, ia melepas sabuk pengaman, setelah itu ia mengambil paperbag berisi pakaian miliknya untuk Luna. Ia penasaran Luna seperti apa. Ia keluar dari mobil, lalu langkahnya terhenti menatap Oscar di depan daun pintu. Oscar tersenyum atas hadirnya Juliet, akhirnya Juliet tahu di mana rumahnya berada. Mereka saling menatap satu sama lain, dan memberikan senyum terbaik. Wanita itu mengenakan rok pensil berwarna hitam dan kemeja berwarna kuning dengan motif floral. “Morning, Juliet,” sapa Oscar mendekati Juliet. “Morning juga,” Juliet membuka high heelsnya. “Mau pergi kerja?” Tanya Oscar menatap penampilan Juliet. Juliet mengangguk, “Iya, tadi malam saya tidur di rumah mama.” “Pantas saja.” “Sambil milihin baju saya di lemari lama, soalnya banyak yang nggak kepakai juga.” Oscar menundukan wajahnya dan mengecup puncak kepala Juliet. Juliet merasakan ketenangan saat dikecup Oscar, “Di dalam ada Steven, dia juga baru datang lihat kondisi Luna.” “Masih demam?” Oscar mengangguk, “Iya.” Juliet mengikuti langkah Oscar masuk ke dalam. Ia mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan rumah Oscar yang di d******i warna putih dan hitam. Ia menatap seorang wanita berada di kitchen Ia menaiki tangga ke lantai atas. Ia memandang sebuah kamar yang terbuka. Juliet memandang seorang pria berkemeja biru sedang duduk menghadap seorang wanita. Ia tahu bahwa itu adalah Steven. Dan ia mengalihkan pandangannya ke seorang wanita di sana. Wajahnya terlihat pucat, dan rambutanya lembab. Dalam keadaan seperti itu saja dia terlihat cantik, wajahnya terlihat tidak asing menurutnya. Luna dan Steven sadar lalu menoleh memandang ke arah pintu, ia melihat seorang wanita berada di samping Oscar. Ia tahu yang di samping Oscar itu adalah Juliet. Mereka pernah bertemu kemarin di bar. Luna menelan ludah, ia merasakan kepalanya pusing luar biasa dan tubuhnya masih tidak nyaman. “Luna, ini Juliet.” Luna tersenyum kepada wanita berparas cantik itu, ia tidak tahu apa hubungan wanita itu dengan Oscar. “Hai Juliet.” Sapa Luna. Juliet mendekati Luna, ia meletakan paperbagnya di atas meja, “Ini untuk kamu.” “Thank you.” “Bagaimana keadaanya Stev?” Tanya Juliet. Steven menatap wajah cantik Luna, dia benar-benar telihat sangat sedih, tapi tetap tidaak ingin menampakan kesedihan kepada meraka. Dia terlihat sangat tegar, Steven memperhatikan kondisi Luna, sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada gadis ini, kenapa dia bisa seperti ini. Di mana otak cerdasnya dulu. Namun ia mengurungkan niat untuk bertanya, Ia memegang dahi Luna, ia merasakan suhu tubuhnya masih hangat, “Panasnya belum turun. Lebih baik kita bawa ke rumah sakit,” ucap Steven, karena tidak ada pilihanlain. “Yaudah sekarang siap-siap saja, bawa luna ke rumah sakit,” ucap Oscar ia menyetujui usul Steven. “Juliet, kamu bantu Luna ya siap-siap. Aku sama Steven tunggu di bawah.” “Iya.” Steven dan Oscar keluar dari kamar, mereka lalu menuruni tangga. Di sini mereka sama-sama membantu Luna. Tidak ada orang lagi yang dimintai pertolongan selain mereka. Juliet menatap Luna, ia mengelus punggung itu perlahan, setelah sepeninggalan Oscar dan Steven. Hanya mereka berdua di kamar. “Yang panting saat ini, jangan mikirin apa-apa lagi. Lupakan semua, sekarang pikirkan bagaimana kondisi kamu membaik.” Luna mengangguk dan ia berikan senyum terbaiknya, ”Makasih ya Juliet, sudah bantu saya.” “Iya, sama-sama.” “Kamu bisa banti saya lepasin daster ini, saya mau mandi air hangat, rasanya badan saya sangat lengket dan nggak nyaman.” Juliet mengangguk, “Iya.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD