Ingin Sembuh

943 Words
Cahaya matahari merangkak naik kepermukaan. Perpaduan warna langit putih dan biru muda menambah kesan sejuk pagi ini. Lain hal lagi dengan perasaanku yang sedang kacau. Mata sembab, karena tangis semalam dan subuh tadi masih tersisa. Aku melangkah ke lemari mencari jilbab. Ku lirik Mas Zafran masih sibuk memainkan ponselnya. Mendadak aku seperti orang linglung berdiri didepan lemari menatap kosong tumpukan jilbab yang tersusun rapi. Bukan karena bingung mau memilih yang mana yang harus dipakai, tapi bingung harus bersikap bagaimana pada Mas Zafran. "Rey, eh ... Dek, melamun?" Tegur Mas Zafran yang entah sejak kapan berdiri di sampingku yang sedang menatap lemari. Aku gelagapan sendiri "Eh, enggak. Pusing ...." Jawabku asal. "Dari tadi dipanggil Bunda, keluar yuk!" ajak Mas Zafran sambil memilihkan jilbab yang harus aku kenakan. Jilbab instan berwarna abu-abu menjadi pilihannya. "Mas ..." lirihku memangilnya. "Iya, mas tau. Jangan sampai Bunda tau masalah kita kan?" ucapnya. "Iya... Mas, duluan. Nanti aku nyusul." Aku sengaja menyuruhnya keluar kamar duluan. Aku ingin sedikit menyegarkan wajahku agar tak terlalu terlihat pucat. Selang dua puluh menit kemudian, kuputuskan keluar kamar setelah selesai. Bunda masih sibuk menyiapkan sarapan, Mas Zafran terlihat membantu Bunda sambil berbincang. Harusnya aku yang menyiapkannya bukan? Tapi aku yakin, bunda mengerti keadaan ku saat ini. Mas Zafran menghentikan pembicaraannya saat melihat kedatanganku. Begitupun Bunda, melayangkan tatapan teduh kepadaku. "Bunda, maaf Rey kesiangan." Ucapku merasa bersalah. Harusnya aku yang menyiapkan sarapan untuk Bunda dan Mas Zafran. "Duduklah, nak. Sebentar lagi selesai." ucap Bunda sambil menata beberapa piring yang disiapkan untuk kami sarapan. "Bunda, Zafran ijin mau bawa Rey kerumah Mama boleh ya," Mas Zafran meminta ijin pada Bunda. "Boleh. Ayo sarapan dulu." Ajak Bunda. Tak banyak pembicaraan yang terdengar saat kami sarapan. Aku lebih memilih untuk diam, saat Bunda sesekali bertanya tentang rasa masakan ini. "Tumis sayuran ini, Zafran loh yang buat. Gimana rasanya, Rey?" tanya Bunda. Aku hanya melirik ke arah Mas Zafran. Aku tahu, dari ceritanya kemarin, dia ahli dalam hal masak memasak. Berbanding jauh denganku. Aku memang sering membantu Bunda didapur, tapi jika harus memasak masakan sendiri, aku angkat tangan. Rasanya jika tidak hambar, pasti keasinan. Payah memang. ?????? Mas Zafran bersedekap, bersandar dipunggung ranjang tempat tidur. Pria itu memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam. Meski matanya terpejam, alis tebalnya beradu, tanda dia sedang memikirkan sesuatu. Aku mematung diujungnya, menyisakan jarak yang cukup jauh dengan kedua bantal dan guling ditengahnya. Aku sedang berfikir keras, berusaha menebak isi pikiran Mas Zafran. Masih pengantin baru sudah marahan begini. Mas Zafran membuka mata, meluruskan kaki yang semula bersilah. Menatapku dengan kening berkerut. "Tadi Mas ijin Bunda, mau ajak kamu kerumah Mama. Kita butuh bicara, Dek." Ucapnya lembut. Melihatku masih terdiam, dia beranjak dari ranjangnya. "Lekas ganti pakaian. Mas tunggu diluar." Lanjutnya. Menatap nanar punggungnya, aku masih sangat-sangat mencintai. Aku berharap dia bisa sembuh. Menjadi milikku seutuhnya. Pasti dia juga menginginkan hal itu. Ku ambil ponsel diatas meja rias, coba menghubungi Naira, mudah-mudahan dia punya jalan keluarnya. Kubuka room chat bersamanya. [Ra, besok aku kerumah ya. Ada yang pengen aku omongin.] [Wah, pengantin baru kenapa ni.] [Besok aja ceritanya] Bergegas aku keluar kamar, Mas Zafran sudah terlalu lama menungguku. "Kita naik motor aja ya, ayo naik!" Titahnya yang sedari tadi sudah siap diatas motorku. Entah kemana tujuan kita, yang jelas ini buka arah kerumah Mama-nya, seperti tujuan awal ijin pada Bunda. "Dek, didepan ada polisi tidur. Pegangan dulu sebentar. Nanti kamu jatuh. Aku gak suka lihat kamu terluka." Titahnya. Suka bercanda laki-laki ini. Tak ingin melihat ku terluka katanya? Kenyataannya bagaimana? "Bangunin aja polisi tidurnya, Mas." Balasku ketus. Dari tadi duduk di motor, aku memang enggan berpegangan pada bahu atau memeluknya. Posisi dudukku yang miring membuatku bisa berpegangan pada jok belakang motor. Motor tiba-tiba berhenti. Mas Zafran mematikan mesinnya, lalu turun tanpa membuatku ikut turun. Dia berusaha menahan motor ini agar tetap seimbang. Astaga, ini sungguh konyol. "Oke... Oke... Aku pegangan." Putusku mendapatkan tatapan mata menusuk darinya. "Mas Zafran naik lagi cepetan, aku malu diliatin orang." Mas Zafran kembali naik keatas motor, menyalakan mesinnya, kemudian melaju sedang, setelah aku perpegangan pada bahunya. Kulirik dia dari kaca spion depan sedang begitu fokus pada jalanan. Tiba-tiba dia balik melirikku dari kaca spion. "Kamu cantik kalo lagi cemberut. Bawaannya pengen godain aja. Mubazir kalo dianggurin," ledeknya. "Emang aku makanan! Heuh," aku mendengus pelan. "Makanan itu kebutuhan, Dek. Kalo kamu itu kesayangan." Blush! Aku tertegun, mungkin pipiku sudah merah merona sekarang. Dia ngegombal disaat aku sedang kecewa padanya saat ini. Mas Zafran memarkirkan motornya dipinggir jalan. Ternyata di trotar ada penjual es buah, dia memintaku untuk turun lebih dulu. "Bang, es campurnya dua ya. Disini aja." pinta Mas Zafran pada abangnya. "Begini loh, dek. Mas gak mau ngomong dirumah takut Bunda dengar." Lanjut Mas Zafran bicara padaku. "Iya, aku paham." "Mas pengen sembuh, Dek. Mohon bantu, Mas! Setelah ini mas janji gak akan bikin Adek kecewa lagi. Jika harus berobat atau terapi, akan mas lakuin, yang penting mas bisa sembuh." Ucapnya meyakinkanku. "Iya, Mas. Asal mas mau benar bersungguh-sungguh, akan ku temani sampai sembuh." "Mas, janji akan lepas dari Rendi. Mas mau jadi milik Adek sepenuhnya. Maafin mas ya!" ujarnya sambil mengusap kepalaku. Abang tukang es campur melirik. "Kita baru kemarin nikah bang, maafkan atas keuwuan kita ya," canda Mas Zafran. Seketika tawa si Abang keluar. Tak berselang lama, ponsel Mas Zafran berdering. Terlihat nama Rendi disana. "Iya, Ren!" Mas Zafran menjawab panggilan itu sambil melirikku. " ... " "Harus banget sore ini?" "...." "Yaudah, tunggu." Mas Zafran menutup panggilannya. "Sore ikut mas ketemu Rendi ya," pintanya padaku. Baru saja tadi dia bilang mau sembuh, buat apa jika masih menemui laki-laki itu. Setauku, pasangan sesama jenis itu akan lebih posesif dengan pasangannya dari pada seorang istri pada suaminya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD