Tentang Adshilla

1434 Words
Adshilla. Kembaran Adrian yang benar-benar tidak mencolok. Tidak seperti Adrian yang namanya selalu digembor-gemborkan atau Ali yang terkenal karena titel sebagai anak konglomerat, Adshilla? Adshilla jauh dari semua hal itu. Ia justru dikenal sebagai cewek biasa, pendiam, kalem tapi pintar abis. Ya banyak yang menjulukinya diam-diam menghanyutkan bahkan jenius. Karena kalau dari tampilan, ia bukan tipe cewek kutu buku. Hanya cewek manis yang tampak biasa. Sangat pendiam sehingga tak banyak yang berani menegurnya. Terutama ya dari kalangan laki-laki. Sebenarnya banyak yang naksir. Tapi karena saking pendiamnya, tak ada yang berani. Dan lagi, Shilla memang tak tertarik sama lelaki. Kerjaannya dalam keseharian? Ia memang hanya belajar dan membaca n****+. Cowok? Gak ada dalam kamusnya. Apa itu cowok? Definisi cowok? Apa harus ia jabarkan seperti yang ada di dalam buku biologi di mana kromosomnya adalah x dan y? Jadinya xy? Variabel x dan y juga sering muncul dalam persamaan garis lurus matematika. Hadeeh. Jadi rumit kan? Hahaha. Dan lagi, yang membuatnya tak tampak mirip dengan Adrian adalah ketidakmiripan mereka berdua. Yeah, ia memang tinggi untuk ukuran cewek. Hidung bangir, mata bulat, wajah lonjong dan tirus. Kulitnya kecoklatan tapi kalau senyum, manis banget. Tampak sempurna? Ya dengan kecoklatan itu malah membuatnya tampak cantik natural. Ia, Aidan, dan Ali ada tiga orang kecoklatan yang ada di rumah. Kalau dibawa Dina, orang-orang bisa mengira kalau ia adalah adiknya Dina. Karena memang lebih mirip. Begitu pula dengan Ali dan Aidan. Ya kira-kira memang mirip Ardan. Tapi bukan yang mirip-mirip amat. Hanya bentukannya saja. Karena bagaimana pun, Ardan dan Dina ya mirip dengan Wira dibandingkan Aisha. "Lewat tuh lewat.....!" Dan mereka sering berbisik-bisik kalau Shilla lewat. Semakin banyak bicara mereka, Shilla semakin mempercepat langkahnya. Ia kerap salah mengira. Ia mengira kalau cowok-cowok itu mem-bully-nya. Maklum lah. Saat SD dan SMP, banyak cowok yang mengatainya hitam karena kulitnya hitam. Jadi ia tak merasa kalau mereka tertarik namun justru sebaliknya. Ia cepat berprasangka. "Apa-apaan nih?" Satu kelas Shilla menoleh ke arah cowok yang sebetulnya bukan bagian dari kelas mereka. Tapi sejak awal memang sering hilir-mudik ke sini untuk mendekati.... "Dari siapa nih? Sembarangan aja naruh-naruh beginian di meja cewek gue," omelnya. Cowok-cowok yang mengantar barang-barang itu ke atas meja Shilla kompak mundur lalu buru-buru balik. Tapi ditahan oleh lelaki itu. Bahkan ia menarik kerah bajunya. "Su-sumpah bukan gue, Rei. Bukan dari gue," tukasnya susah payah. Ia sampai mengangkat dua jarinya. Ia bersumpah. Karena mereka hanya lah jongos kakak kelas yang menitip hadiah untuk Shilla. "Heiish! Awas lu kalo balik lagi lu!" Ia langsung mengambil semua barang-barang itu. Kemudian hendak membawa pergi tapi dihadang Nunung. "Dari pada lo buang, mending buat kita, Rei. Mayan kan. Kali-kali ada cokelat!" "Ya udah nih ambil. Awas lu kalau bilang soal itu sama Shilla!" Nunung memberi hormat tegak padanya. Lalu ia biarkan Reifan pergi. Cowok itu hendak mencari Shilla di kelasnya tapi kok tak terlihat? Akhirnya ia berjalan menuju kantin dan bergabung dengan teman-temannya di sana. "Aneh banget. Masa gak ada wifi sih di rumah sih? Di jaman begini," komentar seorang lelaki. Yeah, dari duduk mendada berdiri dan menghadang shilla. Cewek itu berdesis dalam hati. Ia jadi merasa menyesal karena ke kantin hari ini. Harusnya ia berbelok ke perpustakaan saja tadi dan menahan lapar di sana. Tapi sialnya, bunyi-bunyi perut ini terus bernyanyi. Bagaimana kalau terdengar saat belajar? Heeh? Mana pagi hari tadi, ia sudah s**l. Ia harusnya tahu apa yang akan terjadi kalau menebeng Ali kan? Heiish! Kalau marah begini, energi yang digunakan tubuh malah lebih banyak terkuras. "Ini lagi." Ia juga ingin mengatakan itu tapi hanya dalam hati. "Aku kan udah bilang, rambutnya jangan dikuncir," tuturnya sembari menarik lagi karet rambut Shilla lalu memasukkannya ke dalam kantong. Sepertinya ia harus membawa semua karetnya tiap datang ke sekolah. Ia jengkel dengan urusan itu. Sementara cowok ini jengkel dengan urusan lain. Urusan apa? Itu loh. Pesannya kan gak dibalas sama sekali. Ia tak pernah sefokus itu loh mengurusi cewek. Saking fokusnya, ia sampai tertidur pulas. Baru kali ini, ada cewek yang ia incar di sekolah hanya karena kejadian tak sengaja menjelang berakhirnya MOS. Yeah, sebuah kejadian yang baginya istimewa. "Jangan diambil," tukasnya. Ia mencoba menahan agar karet itu tak dikantongi tapi tetap saja sudah terlambat. Karet itu kan pinjaman. Ia heran kenapa cowok ini suka sekali kengambil kuncir rambutnya? Guru saja tak ada yang seposesif itu kok. Atau dia mau nguncirin rambutnya? Ah-ah gak-gak. Cool begini kok nguncirin rambut? Kayak cewek aja. Hahaha. "Nanti kamu ambil pas pulang oke?" Ia mendadak mendapat ide itu. "Aku tunggu di gerbang oke?" Ia tak perlu jawaban karena itu bukan lah pertanyaan. Itu adalah perintah yang harus dilaksanakan. Shilla menatapnya dengan frustasi. Ya kesal dan marah sih. Tapi ia tak berani melawan. Bagaimana nanti ia di-bully? Bisa menangis. Shilla menghembuskan nafas. Ia melangkah lagi. Sementara lelaki itu masih mendumel. Yeah terheran-heran karena menurutnya Shilla tetap cantik dalam bentuk apapun rambutnya. Kemudian ia mempercepat langkah menuju ke arah belakang kelas. Salah satu teman sekelasnya sudah melambai-lambai dari kejauhan. Yeah tentu saja bermain bola. Tuh cowok gak ada kerjaan lain apa ya? Kenapa sih dia nguntit terus? Ia hanya bisa mendesah seperti itu di dalam hati. Ya tak berani lah. Sementara beberapa teman lain sudah muncul di kantin bahkan mengambil duduk. Ia masih risau dengan persoalan kuncir rambut itu. Ia ngambilnya bagaimana coba? Tuh cowok kan tak tertebak. Kalau pulang nanti, ia malah di-bully bagaimana? Ia sungguh takut. "Shillaaaa!" Ia mendongak. Itu Nunung. Entah kapan sudah sampai di situ. Rasa-rasanya tadi ia lebih dulu keluar karena harus membantu guru membawa beberapa buku tugas yang harus diperiksa. "Masa anak-anak di kelas kita pada gosipin elo sih, Shiiil." "Hah?" Ia ber-hah ria. Ia menyambar botol minum milik Intan. Teman sebangkunya saat SMP yang bawel. Tapi asyik. Karena Intan paling mengerti dirinya. Lalu ada Joy. Yeah temannya yang tadi pagi. Entah ke mana gadis itu sekarang. Yang jelas tak terlihat. Lalu Rahma yang menjadi teman sebangkunya di sekolah ini, baru saja duduk di sebelahnya. Gadis itu sih bawel juga. Entah kenapa ia berteman dengan yang bawel-bawel. "Gosipin apaan?" tanyanya kalem dan lembut. Ia kan bukan tipe bacotan seperti Adel dan Adeeva. "Itu looh. Kakak-kakak kelas kan emang udah pada heboh waktu kita MOS kemarin. Katanya lo mirip sama kak Ali. Itu loh... yang katanya anak konglomerat itu." Shilla langsung terbatuk-batuk mendengarnya. "Ngapain coba anak konglomerat sekolah di sini?" Shilla melirik Rahma sedikit. Gadis itu sedang menuangkan saos ke dalam kuah baksonya. "Kan banyak sekolah swasta yang bagus-bagus. Kasihan tauk, yang orangtuanya biasa-biasa aja tapi mau anaknya masuk ke sini eeeh diambil jatahnya sama yang lebih mampu." Shilla semakin tertunduk. Ia tak tahu kalau orang lain berpikir begitu. Ya ia belum terlalu mengenal Rahma maupun Nunung. Kalau Intan sih ia tahu. Intan berasal dari keluarga sederhana. Ibunya guru dan ayahnya pegawai swasta. "Itu gak penting deh. Gue lagi bahas kak Ali nih." "Iyaaa yang pecicilan itu kan? Terus sering banget dihukum guru juga katanya. Tapi manis?" "Itu loh seneng kayaknya meski katanya anak konglomerat." Rahma terkekeh. Ia kan hanya tak suka pilihan itu bukan orangnya. "Eh! Eh! Itu juga tuh anak konglomerat katanya!" Intan ikut menoleh ke arah cowok itu. Satu-satunya yang tak melihat ya Adshilla. Ia justru mencibir dalam hati. Hahaha. Ya maklum. Selain Ali, cowok itu adalah musuh bebuyutannya di rumah. "Tapi katanya playboy gitu deh. Iya kan, Tan?" Rahma menoleh pada Intan yang katanya pernah satu sekolah dengan Adrian. Yeah saat SMP. Ia juga sudah kenal Adshilla tentunya. Intan berdeham mengiyakan. Ia sudah tak heran dengan kelakuan Adrian sedari dulu. Kelakuan yang membuat pusing guru. Apa hobi cowok ganteng itu memang bikin susah orang ya? Menurutnya Adrian itu pecicilan, nakal, berandal, suka melawan guru, jahilnya keterlaluan, daan narsis abis dengan wajah gantengnya. Ya-ya, memang ganteng sih. Wajahnya yang berbeda dan warna kulit yang juga berbeda membuat orang-orang tak akan. Adshilla menghela nafas panjang. Gerah kalau mendengar orang-orang membicarakan Adrian. Itu tak akan ada habisnya. Dan persoalan Adrian memang belum akan selesai. Bahkan dibawa-bawa hingga masuk ke dalam kelas. Lalu..... "Ini apaan dah?" Rahma terbahak begitu membacanya. Ada sebuah kertas sebuah kertas yang ditulis dengan tulisan cakar ayam di atas mejanya dan Shilla. Lalu di bawahnya tertulis nama Reifan. Astagaa! Tulisan dokter aja rasanya masih bisa terbaca deh. Aku beliin kartu buat kamu. Udah ada paket datanya juga. Harus dipakek oke? Dan harus balas pesan aku. --Reifan-- Ia menaruh itu tadi sebelum mengangkat barang-barang lain dari atas meja Shilla. Biar bukan yang populer, bukan berarti tak ada yang mendekati kan? Intan cekikikan bersama Rahma membaca pesan itu. "Astagaaaa!" "Ya ampun, Shiiiill! Lo bener-bener dikirimin pesan sama dia ya? Tapi gak lo bales sama sekali?" Shilla menepuk keningnya. Pusing kepala menghadapi cowok aneh yang satu ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD