"Sama si a'ak aja perginya."
Adshilla sudah cemberut. Bibirnya benar-benar mengerucut. Ia paling malas kalau harus berangkat bersama a'aknya yang satu itu. Ia beranjak turun dari kursi lalu menyalami umminya dan berjalan dengan lesu menuju teras.
"Mau bareng siapa berangkatnya?"
Tuh kaaaan. Bahkan a'aknya sudah berkacak pinggang. Kemudian ia langsung berteriak.
"Ummiiiiiiiiiiiiiikkk!"
A'aknya melotot. Ia memang paling ogah diantar a'aknya yang satu ini. Ada dua a'aknya yang lain sayangnya sama-sama tak ada di rumah. Yang satu di Jogja dan yang satu?
"Shilla mau minta anter Aa'aak Aghaaaa ajaaaa!" rengeknya.
Airin geleng-geleng kepala. Akhirnya perempuan itu ikut menyusul ke teras rumah. Ia menghela nafas. Memang paling lelah itu adalah menghadapi anak-anak ketika mereka berada ada fase remaja.
"A'ak Agha kan gak di sini lagi, Teh. Si A'ak Aidan juga masih sibu kuliah di Jogja. Yang ada aja sama A'ak Ali. Sama Adrian, kamu juga gak mau berangkat bareng. Maunya apa sih, Teh?"
Ya maunya sama siapa? Ia dongkol juga. Adshilla mengerucutkan bibirnya lalu menoleh ke arah Abinya yang justru masih santai di meja makan. Masih menghabiskan sarapan. Ia berharap agar Abinya mau mengantarnya ke sekolah pagi ini dari pada ia kembali menjadi korban Ali untuk ke sekian kalinya. "Shilla mau diantar sama Abi aja."
Airin menghela nafas. "Abi kan masih nungguin Adel sama Adeeva. Jam masuk mereka juga beda sama kamu. Nanti kalau kamu telat gimana? Kamu masuk jam setengah tujuh kan?"
Adshilla mendengus sebal. Ya memang sih kendala utamanya yaa karena jam sekolahnya ini. Kenapa harus berbeda? Kenapa? Kenapa?
Ia benar-benar tak punya pilihan. Adshilla menarik nafas dalam. Sebelum perang urat syaraf berlangsung di perjalanan nanti, ia harus menahan emosi sedari sekarang. Dari pada mati karena hipertensi kan?
Akhirnya, ia naik ke dalam mobil yang dikendarai A'aknya yang sableng bin kembaran abang Ardan.
"Nanti lo harus pindah ke belakang."
Bahkan ia baru duduk pun sudah diperingatkan. Airin geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Ia baru masuk ke dalam rumah setelah melihat mobil itu keluar dari gerbangnya.
Nasib. Apa begini nasib menjadi anak perempuan pertama di keluarga ini? Ia kerap merasa kurang diperhatikan kedua orangtuanya. Karena sejak kecil, perhatian kedua orangtuanya terlalu fokus pada kakak pertamanya, Agha. Yaaa mungkin semua orangtua akan begitu pada anak pertama. Tapi kan ia adalah anak perempuan pertama.
Tapi setidaknya, A'ak Agha-nya itu masih pandai mengayomi sebagai seorang kakak. Adshilla kerap mendapat perhatian lebih karena sosoknya yang pendiam. Walau ketika masih kecil dulu, ia tak bisa diam. Bukan mulutnya yang banyak bicara tapi kelakuannya yang banyak berulah. Mungkin juga karena terlalu sering bertengkar dengan saudara kembarnya, Adrian. Lalu?
Yang menjadu fokus orangtuanya adalah Adel dan Adeeva. Ini benar-benar bukan pilih kasih tapi Adshilla hanya menilai dari sudut pandangnya sebagai anak tengah dan anak perempuan pertama di rumah yang yaaah merasa dianaktirikan. Kenapa?
Mungkin karena kedua bocah itu masih kecil jadi kedua orangtuanya lebih fokus pada mereka. Meski yaaa ia tak bisa menampik kalau kedua bocah itu kerap mendapat barang-barang bekas darinya tanpa protes sama sekali kepada kedua orangtua mereka. Bahkan malah girang. Kecuali ya si Adel yang pandai mencibir. Gadis kecil yang satu itu selalu menang kalau adu mulut dengannya tapi akan selalu berakhir dengan menangis.
Lalu selain Agha dan dua gadis kecil itu, fokus orangtuanya adalah kakak keduanya. Siapa? Tentu saja Aidan. Aidan kan berandal. Sering bermasalah di sekolah sejak SD bahkan sampai SMA. Anehnya, semenjak kuliah malah kalem dan rajin ikut kompetisi wirausaha muda. Jadi berubah banyak. Entah mungkin karena susah besar? Sementara ia?
Sebagai anak yang paling pendiam di rumah ini, ia dianggap tidak mempermasalahkan apapun yang terjadi antaranya dan para saudaranya. Padahal ia hanya menyimpan semua kedongkolan dan kemarahannya di dalam hati. Ia dianggap bisa melakukan segala hal sendiri. Ia juga anak yang cerdas dan penurut di sekolah.
"Duduk di belakang sana."
Adshilla berdesis. Ia membuka pintu mobil dengan kasar lalu keluar dari mobil sambil menghentak-hentakan kaki. Biarkan saja orang-orang yang melewati jalan ini menatapnya dengan aneh. Baru juga ia hendak membuka pintu belakang untuk masuk ke dalam mobil agar bisa masuk.....eeeh....
Wuuuuuusssh!
Mobil yang dikendarai A'aknya yang paling s****n sudah melesat jauh. Bahkan meninggalkannya yang ternganga. Masih belum sadar sepenuhnya hingga akhirnya.....
"AAA'AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK KAMPREEETT LOOOOOO, AAAAAAAKK!" teriaknya dengan sekuat tenaga.
Kedua tangannya sampai terkepal. Segala sumpah serapah keluar di dalam hati. Ya namanya juga anak pendiam. Dan ia bersumpah akan melaporkan kejadian ini pada Umminya. Ia tak akan diam lagi karena dizalimi sepagi ini. Lihat saja!
Ia masih menginjak-injak tanah dengan dongkol. Ya Ali memang kurang perduli pada saudara-saudaranya. Bahkan sering juga tak mau mengalah meskipun ia bertengkar dengan Adel atau Adeeva. Ia menahan gondoknya lalu menguatkan diri untuk memberhentikan taksi. Ia bersumpah akan membalas dendam atas apa yang terjadi pagi ini. Meski percaya lah....ia yang pendiam ini biasanya akan melupakan kejadian ini begitu saja banti. Pasti akan selalu begitu. Karena saat ini pun ia hanya emosi. Emosi sesaat.
Ia tak paham sih. Tapi kalau Ali? Sebagai anak tengah, ia merasa kurang diajarii untuk menjadi seorang kakak. Berbeda dengan Agha dan Aidan yang terus ditempa untuk menjadi sosok yang bisa diandalkan dalam keluarga besar ini. Ya bukan kah 7 bersaudara itu adalah keluarga yang sangat besar?
Adshilla menghembus nafas kuat-kuat. Tak boleh marah, ia berusaha memberikan sugesti dirinya. Marah itu tak boleh karena itu adalah sikap yang tidak baik. Pemikirannya sering salah kaprah seperti itu. Kini ia meremas tali tasnya dengan sekuat tenaga. Itu adalah caranya untuk melampiaskan emosi yang tak tersampaikan. Lalu semakin lama berupaya bertahan, ia malah meneteskan air mata. Ya bagaimana tidak menangis? Ia tidak pernah merasa diperlakukan selayaknya adik kamdung kalau berhadapan dengan Ali atau Adrian. Ali? Cowok sableng itu mana mau mengalah. Adrian? Duh apalagi kembarannya. Kembarannya itu adalah orang yang selalu membuatnya kesal setengah mati. Tak pernah ada kata damai di antara mereka karena selaku bertengkar.
Entah kenapa, semenjak sama-sama beranjak remaja, mereka menjadi bermusuhan. Padahal saat kecil dulu, mereka setidaknya akur dan sering bermain bersama. Tapi semenjak remaja dan mengenal cinta, seolah lupa. Apa karena mereka sedang melalui fase-fase pubertas? Cinta pertama?
Ah cinta. Persetan itu cinta. Adshilla tak perduli dengan hal semacam itu. Pokoknya ia akan mengadukan ini pada umminya. Titik.
@@@
Lalu di dalam mobil......
"Masa cewek-cewek kayak kita ini gak boleh pacaran, Abi?"
Akib harusnya tertawa mendengar pertanyaan itu. Tapi kini ia malah tampak serius. Ia sedang mengendarai mobil menuju sekolah menengah pertama. Yeaah, untuk mengantar dua gadis kecilnya ini. Waktu benar-benar terasa cepat berlalu ya? Walau ia merasa baik ia maupun Airin dari segi fisik tak begitu banyak perubahan. Bahkan kalau mengambil raport Agha ketika masih SMA dulu, ia sering dikira kakaknya bukan ayahnya. Mungkin karena saking terlihat mudanya.
"Kan Adel tahu hukumnya pacaran di dalam Islam itu gimana. Dulu yang sering ceramahin kak Dina, bang Ardan, kak Aya, itu siapa ya?"
Adel nyengir. "Ternyata, Abi, begini loh. Waktu kecil kan Adel gak tahu tuh rasanya jadi kayak Kak Dina, Bang Ardan, Kak Aya naaaaah kalau sekarang kan Adel jadi tau tuuh!"
Ia menyangkal. Hahaha. Dulu kan ia hanya menilai dari sudut pandang anak kecil yang yaah tak pernah tahu apa itu cinta. Eh kalau sekarang? Eh semenjak SD deeng! Ia jadi tahu kalau cinta itu indah ya? Hahaha.
Akib menggelengkan kepalanya mendengar berbagai penyangkalan ini. Ya pemikiran anaknya yang satu ini memang agak berbeda. Jadi harus pandai-pandai mengarahkannya.
"Kalau anak-anak yang masih kecil itu mendingan sibuk mikirin sekolahnya. Mendingan belajar dengan rajin. Mendingan pikirin masa depan Adel. Urusan cinta itu urusan nanti kalau Adel udah gede, udah kerja, udah bahagiain orangtua, udah--"
Dan entah apa lagi yang dikatakan Abinya, yang jelas ia tak mendengarnya. Adel nyengir sambil diam-diam menutup kupingnya. Kalau Adeeva?
Ya dari tadi ia mendengar sih. Dan pikirannya juga tak berbeda jauh dengan Adel. Adeeva bahkan sudah jatuh cinta diusia sekecil ini. Tapi ia merasakan perasaan ini baru beberapa minggu terakhir saat tak sengaja melihat cowok berseragam putih abu-abu lewat di depan matanya. Meski ia juga masih belum jelas saat itu. Apakah ini yang disebut benar-benar cinta?
Tak lama, mobil Akib akhirnya berhenti di depan paagar sekolah. Adel dan Adeeva kompak turun. Kemudian Tata juga muncul. Sepupu mereka itu baru saja turun dari mobil yang dikendarai oleh ayahnya, Fadli.
"Adeeeeeeeeeev!"
Ia langsung memanggil Adeeva. Yeah sebagai sepupu terkecil dan seumuran di dalam keluarga besar mereka, ia memang sangat akur dan dekat dengan Adeeva. Geng kecil ini memang terdiri atas Adel, Adeeva dan Tata. Kepala gengnya? Apa masih perlu ditanya?
Mereka menyebutnya geng karena mereka bersekolah di SMP yang sama. Saat ini, Adel sudah duduk di kelas 2 SMP sedangkan dua bocah di sampingnya ini baru saja masuk kelas 1 SMP.
"Bagus gaak? Tadi pagi diikat sama Kak Rain looh!"
Ia pamer. Semenjak ketahuan oleh Rain kalau ia menyukai cowok, Rain malah membantunya mengejar cinta. Yeah sebagai kakak asyik bin sableng, ia tak mau terlalu kaku seperti Fasha. Lalu ia juga mengatakan kalau katanya cinta harus diperjuangkan sedari dini. Kakaknya ini memang sableng telak ya. Anak kecil bukannya disuruh belajar malah disuruh memperjuangkan perasaannya cobaa. Lalu tahu apa alasannya Rain mengatakan hal itu padanya?
"Mumpung masih muda tauk, Taaa. Kalau udah gede kayak kak Rain gini, jadi agak susah lagi berjuang-juang kayak gitu! Apalagi kamu tuh masih SMP kan. Masa-masa SMA nanti bakal lebih indah lagi. Udaaah! Mending kejar ajaaa! Kalau gak jadi pacar yaaaa, minimal ngerasain cinta juga indah looh! Bisa ngerasain punya gebetan jugaa itu nyenengin loh!"
"Tumben Kak Rain bener ngiketnya kali ini," celetuk Adel. Hahaha. Ia sampai mengamati rambut Tata. Biasanya Tata selalu dikerjai Rain kan.
Tata mendengus mendengarnya. Ya ia tahu kalau ia biasanya memang dibodohi Rain. Tapi kalau untuk urusan seperti ini, kakaknya itu sangat mendukung kok. Asem ya? Tapi seru juga punya saudara seperti itu karena rasanya seperti teman. Tidak monoton.
Kemudian ketiganya berpisah setelah melewati ruang guru. Adel berbelok ke kiri sementara Adeeva dan Tata berbelok ke kanan. Mata Adel memincing dari jauh melihat sosok lelaki yang sepagi ini sudah datang dan yaah memang selalu datang pagi. Eh? Sejak kapan datang pagi? Ia mengerjab-erjab.
"Tumben."
Ini agak aneh. Biasanya cowok itu selalu datang siang atau yaah datang terlambat. Tapi anehnyaz meski begitu, sedari dulu cowok itu selalu menyabet juara satu. Adel gak paham dengan alur pikiran cowok yang sudah sejak SD ia taksir dan sering eeh selalu bertengkar dengannya. Dan juga? Heum cowok itu terlalu jelas menolaknya dan yaaah segala hal lain lah. Perasaannya memang sudah dipatahkan hingga ribuan kali. Lantas hanya karena itu apakah Adel akan menyerah? Tentu tidak.
Cinta diam-diam bukan ala Adel cantik. Perasaan itu harus diperjuangkan. Cinta wajih dirasakan meski bukan memaksa juga. Cita-citanya bukan untuk meraih perasaan cowok itu tapi hanya ingin menyampaikan rasa kepadanya bahwa cinta itu tulus tanpa meminta balasan. Ya kan? Namun, apakah cukup?
"Abiiiiiiiii!"
Dan wajah Adel berubah cemberut setiap ada gadis itu dan suaranya bahkan. Gadis yang selalu ada di antaranya dan cowok itu. Gadis yang selalu berhasil meraih hati Abi dan ia hanya bisa melihat dari jauh karena cintanya diambil oleh gadis lain.
Kapan lo akan melihat gue, Abii?
@@@