"Apa sesulit itu untuk menjadi temanku?"
Leo menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Satu tangannya menjadi bantalan. Ia menepuk tempat di sebelahnya dengan tangannya yang kosong, mengisyaratkanku untuk berbaring bersamanya.
"Kau serius mau berteman?" Aku menatapnya penuh kebingungan, sembari menarik diriku dari sisi ranjang ke arahnya. Aku berbaring tepat di sebelah Leo.
Leo manarik pinggangku, menggeser tubuhku ke arahnya hingga tidak ada jarak di antara kami. Kepalaku berada tepat di atas dadanya.
"Kenapa jika kita berteman? Aku tidak mengigit." Katanya menatapku serius. Lengannya melingkar di tubuhku. Lalu senyumnya mengembang, penuh arti, "Kecuali jika kau ingin kugigit."
Leo memelukku semakin erat—lebih tepatnya membungkus tubuhku dengan kedua tangannya hingga aku terkurung oleh tubuhnya yang besar. Ia mendekatkan wajahku, mulutnya terbuka seolah-olah hendak mengigitku.
Aku tertawa dan memberontak dalam waktu bersamaan. Pelukan Leo semakin erat dan kedua giginya mendarat di telingaku, mengigit pelan bagian paling sensitif di tubuhku. Aku memberontak semakin liar dan tawaku pecah memenuhi ruangan—atau mungkin mansion, aku tidak yakin. Perutku sakit akibat tertawa terlalu keras dan mataku basah oleh air mata.
"Leo!" Ujarku setengah berteriak, ketika akhirnya berhasil melepaskan diri. Aku bangkit setengah tidur, menumpu diriku dengan kedua sikuku. "Kita tidak bisa berteman jika kau menggangguku seperti ini!"
"Kenapa?" Leo menarik tubuhku bersandar ke dashboard. Wajah tampannya merengut, "Apa aku tidak memenuhi standar seorang teman bagi Delilah Davis atau kau hanya ingin berteman dengan Jayden?"
Aku mengigit bibir, menahan senyumku. Leo merengut dengan wajahnya yang keras dan selalu serius adalah tindakan kriminal, karena jantungku berdebar dengan kuat karenanya.
"Aku tidak sembarangan berteman, kau tahu." Ucapku, menggodanya. Aku menyandarkan diriku tepat di sebelah Leo, menoleh ke arahnya dengan senyum mengembang, "Pertama aku harus tahu motifmu."
Alisnya bertaut, "Aku tidak perlu motif untuk berteman dengan siapa pun."
"Tentu saja kau punya motif! Kita semua menginginkan sesuatu dari pertemanan. Dan aku ingin tahu tujuanmu ingin berteman denganku."
"Karena aku ingin mengenalmu." Leo melipat tangannya di belakang kepala, menatap langit-langit, "Menjadi orang asing denganmu adalah hal yang mustahil, Delilah. Kau lebih berarti dari itu." Dia menoleh ke arahku, menatapku dengan teduh "Kau akan menjadi ibu dari anakku. Meski pun pernikahan ini tidak akan memiliki akhir yang bahagia, kau tetap ibu dari anakku dan aku tidak ingin berpisah tanpa mengenalmu."
Pernikahan ini tidak memiliki akhir yang bahagia.
Leo menegaskan hal yang sudah kuketahui dari awal, tapi tenggorokkanku rasanya seperti tercekik.
"Aku setuju," Aku berdehem, berusaha menemukan suaraku. "Ayo berteman." Kataku kemudian. Leo tersenyum seketika, namun sebelum dia memotong, aku menambahkan. "Rules number 1—"
"Whaaa..." Alisnya mengerut, tidak ramah. "Rules? Jayden tidak punya peraturan untuk berteman denganmu!"
Aku terkekeh dan bangkit dari kasur, "Rules numer 1, sebagai seorang teman kau harus meminjamkanku bajumu." Aku meraba gaun beludru merah marunku yang robek di bagian d**a, "Kau merusakan gaunku, Tuan!"
Leo tertawa pelan, "Gaun itu menganggu. Kau lebih cantik tanpa gaun sialan itu, percaya padaku." Ia tersenyum nakal, namun menunjukkan walk-in closet di sudut ruangan dengan dagunya.
Pipiku bersemu merah karena godaannya. Aku berjalan ke arah walk-in closet dengan cepat untuk menyembunyikan diriku.
Leo tampaknya sangat menyukai sesuatu berwarna hitam karena bilik ini didominasi dengan warna tersebut. Walk-in closet Leo lebih luas dari milikku. Berada di dalam sini seperti berada di sebuah departement store. Semuanya tertata dengan sangat rapi, sangat berkelas.
Aku mengambil salah satu kemeja putih dari gantungan. Setelah melepaskan gaun marun itu, aku menggenakan kemeja putihnya. Wangi khas Leo merasuki jiwaku. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak berlama-lama menghirup aroma dari kemaja itu, seperti gadis remaja.
Saat aku berjalan keluar, mata hitam Leo terkunci padaku. Ia memandangi tubuhku dengan liar dan tatapannya menggelap. Kemeja putih itu terlalu besar di tubuhku dan jatuh hingga pertengahan paha.
"Come here..." Bisiknya, suaranya berat dan serak. Ia bangkit duduk di pinggir ranjang.
Aku perlahan mendekat, berhenti di depannya. Sebelum tangan Leo menyentuhku, aku menahannya.
"Rules number 2," Aku menggengam tangannya, "Teman tidak saling bermesraan, Leo."
"I don't care." Leo dengan mudah melepaskan tangannya dariku. Ia melingkarkannya di pinggulku, menarik tubuhku hingga jatuh di atas pangkuannya. Kedua tangannya menahan bokongku, meremasnya pelan. "Kau sangat panas menggunakan bajuku, love..."
Wajahnya berada tepat di depanku. Napasnya yang berat menghembus wajahku. Ia menjilat bibirnya, menatapku penuh nafsu seperti predator menatap mangsanya.
Pernikahan ini tidak memiliki akhir yang bahagia.
Membangun pertemanan dengan Leo adalah hal yang paling kuinginkan. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu ini tidak akan berhasil. Bagaimana aku bisa berteman dengan pria yang selalu membuat tubuhku panas hanya dengan sentuhan kecilnya? Tubuhku kecanduan dengan segala hal yang Leo lakukan padaku.
Aku menahan bahunya, menarik wajahku darinya. "Teman tidak bermesraan, Leo." Tegasku.
Ia merengut, "Siapa bilang? Aku selalu b******u dengan teman perempuanku. It's not a big deal."
Demi Tuhan aku tahu itu—bahkan satu negeri ini tau Leonardo Gavinsky adalah playboy yang sering berganti-ganti pasangan. Tapi dadaku terbakar mendengarnya langsung dari mulut Leo.
"Well... jika itu maumu, aku akan b******u dengan Jayden." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku, tanpa kukendali.
"What the f**k?" Wajahnya semakin kusut, kali ini karena emosi. Leo melepaskan tangannya dari tubuhku, nadanya meninggi satu oktaf, "Are you f*****g kidding me? Kau ingin b******u dengan Peterson?"
Mulut sialan.
Aku bangkit dari pangkuannya, berdiri tepat di hadapannya, "Kau bilang, bukan hal yang besar untuk seorang teman saling b******u. Jayden adalah temanku, Leo."
Leo terdiam. Ia menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.
"Alright." Dia menaikkan kakinya kembali ke ranjang dan berbaring setengah bersandar ke dashboard. "Kita akan mengikuti peraturan pertemanan bodohmu itu, asal peraturannya juga berlaku kepada Peterson."
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Jadi... apa yang boleh?" Ketusnya, tidak ramah.
Alih-alih menakutkan, Leo justru terlihat sangat menggemaskan di mataku. Aku memanjat ke ranjang dan berbaring di sebelahnya.
Aku menarik satu tangannya, menjadikannya bantal tidurku. Aku memeluk tubuhnya dari samping. Dia menatapku dengan raut penuh kebingungan, tapi tidak menolakku.
"Teman diperbolehkan untuk cuddle."
Leo tidak bergeming, tatapannya menajam. "Apa kau dan Jayden saling cuddle saat tidur?"
Aku tertawa pelan, "No, peraturan ini hanya berlaku untuk teman yang special."
Bibir Leo mengembang. Baru saat itu ia tatapannya berubah menjadi lebih lembut. Ia meraba pahaku yang berada di atas perutnya.
"Jadi aku teman yang special?"
Aku tidak menjawab, aku hanya memeluknya dan memejamkan mataku di dalam pelukannya.