Devan memotong perkataan Lisa dengan nada sinis. Sikapnya berubah sekejap. Tadinya Lisa melihat bagaimana sulitnya Devan memaksakan diri demi menyelamatkan Arka.
"Kenapa nggak ada yang bagus dalam hidup lo? Kalau tadi gue nggak ke sana, mungkin sekarang lo udah mati! Kenapa lo harus nyusahin orang lain?! Selain buat onar, apa lagi yang bisa lo lakuin?"
Meski begitu, Arka tak terpancing emosi. Meski terlibat kebencian tanpa akar masalah yang jelas, Itu Devan-nya. Kali ini dia tak tertipu.
"Bisa ke sini sebentar?" pinta Arka sambil mengulurkan lengan.
Devan mendecak, memutar bola mata malas. "Apa lagi?"
"Nurut sekali aja kenapa, sih?"
Devan bergerak hingga tepat berada di sisi kasur. Hanya berjarak kurang dari satu meter saja, masih terasa ada jurang yang nyata sebagai pemisah hati mereka. Arka terus menatap mata Devan. Dia tahu bahwa saudaranya ini mencoba untuk membuat dirinya kesal. Mengatakan hal yang berkebalikan dengan hatinya adalah keahlian sang sulung.
"Pinjem tangan lo!" seru Arka.
"Oh, God! Drama apa lagi ini?"
"Jangan protes!"
Devan mengulurkan tangannya. Itu karena Devan terlalu jauh untuk bisa dijangkau Arka. Arka menariknya, memeluk dan berniat mengucapkan terima kasih. Devan tertegun sesaat.
"Makasih untuk semuanya. Gue pikir gue akan mati dan nggak bisa ngeliat lo lagi," lirih Arka.
Devan tenggelam dalam kebisuan. Dua wanita itu tersenyum penuh haru. Moment ini hanya terlalu manis jika Devan harus menanggapi dengan kebencian.
"Lo nggak akan mati sebelum gue, Arkana."
Devan melepaskan pelukannya dan duduk di sofa. Arka terus menatapnya dengan benar teduh, merasa bersalah.
‘Siang tadi, gue berusaha bunuh lo, tapi sekarang justru lo selamatin gue. Tolong jangan benci adik siapan kayak gue, Dev. Suatu saat kita akan sama-sama lagi.’
Hanya bercengkrama sebentar, lantas Lisa pun meminta Eunha dan Arka untuk melanjutkan istirahatnya.
"Eunha, mulai besok, kamu tinggal di rumahku aja, ya. Rumah kamu masih dalam penyelidikan karena Devan melaporkan kejadian yang kalian alami. Rumahku kosong, kok. Orangtuaku di Taipei, kakakku jarang di rumah."
"Tapi-"
Ide bagus. Arka segera menyela penolakan Eunha. "Iya, Eunha. Gue takut mereka balik dan nyakitin lo, Eunha."
Tak ada pilihan selain menuruti. Demi Arka dan juga keselamatannya.
"Terima kasih, Lisa."
Mimpi buruk akhirnya berlalu. Tak henti Arka menatap sang kakak yang terlihat melipat tangan di d**a. Berlagak tak acuh. Arka hanya menipiskan senyum, bergumam syukur karena Devan masih mempercayai ikatan hati mereka.
‘Suatu saat, gue akan tebus utang nyawa ini, Kak!’
*
Pagi mulai menyapa. Setelah setengah jam yang lalu meninggalkan rumah sakit, mobil itu tepat terparkir di pelataran rumah megah perumahan Orchid. Si kembar berjalan mengikuti Lisa yang ingin menunjukkan kamar untuk Eunha. Di kamar bernuansa cream itu, mereka terhenti. Eunha harus tinggal sementara di tempat ini. Rumahnya dalam pemeriksaan polisi sejak insiden terakhir kali.
"Semoga kamu betah dan nyaman, ya, Eunha!"
"Ya. Thanks, Lis."
Eunha menepi sebentar, mengajak Arka sedikit menjauh dari mereka. "Sebaiknya lo cepat pulang, ya! Lo juga harus istirahat total."
"Iya!"
Lisa terlihat tak nyaman dengan kedekatan mantan kekasih itu. Arka lebih mendekat untuk mengecup kening Eunha. Bertanya-tanya dalam hati apakah sang mantan kekasih ini masih saling menyimpan rasa.
"Lo baik-baik di sini. Kalau ada apa-apa, telepon gue," pesan Arka.
"Iya, Ka."
Devan segera mengajak pulang kembarannya ini karena tak ingin mamanya semakin cemas dengan keadaannya. Mobil itu melaju gesit meninggalkan pelataran rumah Lisa, hingga beberapa menit berikutnya, terhenti di pelataran rumah kediaman Wijaya.
Keduanya turun dari mobil. Arka ingin mengucapkan sesuatu pada Devan meski sejak tadi, bias wajahnya terlihat dingin. Si sulung merasa cemburu ketika menyadari bahwa Lisa justru menaruh hati pada adiknya ini.
"Dev, gue-"
"Ngantuk!"
Devan tak peduli, melenggang pergi meninggalkan Arka. Mungkin memang takkan ada momen bahagia jika hanya berdua saja. Rasa benci dan gengsi menyelimuti hati keduanya. Devan berjalan ke kamarnya. Saat tiba di sana, dia mendapat pertanyaan bernada khawatir dari sang ibu.
"Sayang, kenapa baru pulang sekarang?Mama cemas sekali sama kamu."
Devan tak menjawab sembari membuka t-shirt nya. Sudah terasa gerah dan ingin menyegarkan diri.
"I'm oke, Ma! Mama nggak lihat aku masih tegak berdiri kayak tiang bendera gini? Itu tandanya aku masih hidup."
Mama Wendi mendecak gemas, lalu memukul lengan lurus putra sulungnya itu.
"Devan! Mama nggak suka kamu becanda begitu."
Tersenyum kecil, Devan pun berbalik untuk memegang dua lengan wanita cantik berusia 46 tahun ini.
"Mama jangan cemas. Aku baik-baik aja. Belum waktunya aku mati, Mama Sayang."
"Sekali lagi kamu ngomong gitu, mama akan marah sama kamu!" gusarnya.
Pria muda itu tersenyum, lantas mengajak mamanya duduk di tepi kasur.
"Aku serius baik-baik aja, Ma. Harusnya yang Mama khawatirkan itu Arka, bukan aku."
Mama Wendi terkejut mendengar ucapan Devan. Bibirnya terkatup rapat. Terakhir kali dia teringat sudah marah dan menampar si bungsu itu karena perkelahiannya dengan si sulung.
"Semalam aku jaga Arka di rumah sakit. Ada orang jahat yang berniat membunuh Arka, Ma."
Meski bungkam, tak bisa disembunyikan wajah cemas beliau. Devan menceritakan kejadian yang menimpa Arka, mulai dari pengeroyokan hingga terkurung dalam gudang sebagai upaya pelenyapan.
"Mama jangan marah sama Arka. Semalam itu salahku, Ma. Aku yang rusakin biola dia. Mama jangan benci dia, ya. Dia nggak punya siapa-siapa lagi selain Mama."
Binar teduh Mama Wendi terbias, lantas dia tersenyum sembari memegang pipi Devan.
"Dia juga masih punya kamu, kakak yang sayang sama dia."
Putranya itu hanya tersenyum miris, tak menyahut.
"Tolong akhiri peran jahat itu, lepaskan topengmu, Sayang. Tetaplah bersikap seperti ini di depannya. Jujurlah padanya kalau sebenarnya kamu peduli sama dia. Bukan cuma Mama, dia juga akan bahagia kalau kamu ada di pihaknya."
Meski ada kesedihan di matanya, tetapi bibirnya tersenyum. Si sulung ini sangat handal menyimpan sisi lemah dirinya dalam balutan sikap dingin dan keegoisannya.
"Akan semakin sulit buatku untuk pergi kalau bertambah satu orang lagi yang akan sedih dan menangisi kepergianku nanti, Ma. Biarkan seperti ini, biarkan aku nggak ninggalin kenangan manis apa pun buat dia. Mungkin akan mudah buat dia untuk lupain aku kalau yang ada di hatinya cuma kebencian dia terhadapku."
Tutur kata si sulung terasa menyayat hati sang ibu. Sejauh ini mereka berusaha mengobati Devan terkait penyakit jantungnya. Masih belum ada kabar baik untuk penyembuhannya. Devan putus asa. Hanya bisa bertahan, tak berambisi apa pun dalam hidupnya.
"Aku udah melangkah sejauh ini, Ma. Sekalipun aku sayang sama dia, aku juga menyimpan perasaan marah ke dia. Ini terlalu rumit, Ma. Mengertilah."
Setelahnya, Devan masuk ke toilet. Mama Wendi pergi menuju rumah Pak Min untuk menjenguk putra bungsunya itu. Terlihat Arka sangat gusar sambil menggaruk tengkuknya.
"Sial! Duit lagi. Mau cari ke mana lagi, nih?"
Mama Wendi seakan tertohok. Diasingkannya tubuhnya menyerusuk, bersembunyi. Hatinya terasa pilu. ‘Suamiku pengusaha sukses, punya harta dan kuasa. Bagaimana bisa putraku harus terus mempertaruhkan nyawanya hanya untuk sesuap nasi? Tenang, Sayang, Mama nggak akan sembunyi lagi.’
Tak lagi menghampiri, Mama Wendi pun pergi dengan keberanian yang dikumpulkannya. Memutuskan sesuatu untuk si bungsu yang dia telantarkan selama ini.
Sementara itu, panggilan dari ponsel Arka menghiasi layar. Reza, leader dari Genk balapnya.
"Halo, Bro!” sambut Arka.
"Ada job lagi, nih! Anak genk Eagle dari Bandung, trus Marvelous dari Tangerang. Taruhannya gede, Bro!"
"Oh ya? Berapa duit?"
"Mereka pasang sampai tiga puluh juta kalau lo berani jawab tantangan mereka."
"Oke, gue ambil."
"Lo yakin, Bro? Feeling gue agak nggak enak. Eagle dan Marvelous itu genk motor besar dan nggak terkalahkan. Lagipula gue denger dari anak-anak, katanya lo diserang sama Scorpion, ya?"
"Ya."
"Lo udah nggak apa-apa, kan? Sekarang, Leon lagi dalam pencarian polisi."
"Gue nggak apa-apa. Thanks banget, Za!"
Panggilan diakhiri. Arka tersenyum, lantas berbaring melanjutkan istirahatnya.
Keesokan harinya, sepulang dari kampus, Arka kembali dengan aktifitas biasa. Mempersiapkan Ducati birunya untuk nge-trek malam ini. Kuliah dan bertaruh nyawa di arena balap, seperti itulah jadwal rutin setiap hari.
Sebuah sms banking tertera di layar ponsel-nya. Nominal uang fantastis masuk ke rekeningnya.
"Astaga! Ini siapa yang transfer?"
Tak lama, pesan masuk tertera lagi.
[Udah masuk uangnya, Sayang? Tolong jaga Devan, ya! Mama pergi ke Bandung, nemuin Tante Fira.]
Arka tersenyum, menempelkan ponsel di dadanya. Bukan karena uangnya, tapi bersyukur karena sang ibunda masih peduli pada hidupnya.
"Makasih, Ma. Syukurlah Mama nggak marah lagi sama aku."
Bel pintu terdengar. Arka berjalan ke luar dan mendapati seorang kurir barang memberikan sebuah kotak besar padanya.
"Dari siapa, Mas?" tanya Arka, penasaran.
"Pengirimnya minta dirahasiakan."
"Makasih, Mas."
Setelahnya, Arka menepi di ruang tengah. Tak sabaran ingin membuka hadiah misterius itu.
"Apaan, sih, ini?"
Biola cantik berwarna hitam metalik berada di dalamnya. Mata sipit Arka sampai membeliak karena takjub.
"Damn! Merk kelas atas. Dari siapa, nih?"
Sebuah notes berada di dalam kotak.
[Semuanya akan baik-baik aja.]
“Devan!”
Betapa Arka sangat bahagia bahwa Devan masih sangat peduli padanya. Tautan hati yang dia miliki pada kembarannya itulah yang menyelamatkan nyawanya. Arka berlari keluar. Dia terkejut karena Devan seperti ketahuan sebagai penguntit di pelataran taman.
"Kenapa lo di sini?" tanya Arka.
Devan tergagap, sedikit membuang pandangannya pada bunga-bunga yang ditanam Pak Min di depan rumahnya.
"Nggak ada apa-apa. Cuma nge-cek aja. Cuma penasaran, gimana lo bisa hidup selama ini di tempat yang sempit ini!"
Hening sesaat, Arka menganjur napas saat hendak menyinggung hadiah yang baru saja diterimanya.
"Soal biola itu-"
"Untuk gantiin biola lo yang gue rusakin. Terima aja, deh. Gue juga nggak tau mau dibuang ke mana semua duit gue itu."
"Mending duit lo itu lo gunain untuk biaya hidup lo selanjutnya," sahut Arka, mengulur waktu untuk bicara lebih lama dengan kakaknya ini.
“Santai, lah! Ini kayak seorang dermawan ngasih sedekah untuk pengemis."
Bukan Devan namanya kalau tak berhasil memancing amarah Arka. Si bungsu itu tak begitu mengambil hati. Dia paham betul isi hati Devan.
"Gue pergi, ya!"
Si sulung pergi dengan wajah dinginnya. Arka pun kembali masuk ke rumah.
Tak lama, hujan pun turun. Saat memandang rintik hujan yang terpercik di kaca jendela, lamunan menenggelamkan Arka. Dia teringat akan kejadian beberapa tahun silam.
*
Tujuh tahun yang lalu.
Arka menahan tangis. Dia mendapat perlakuan kasar dari Papa Frans karena membawa pulang Devan bermain dalam keadaan sakit. Si kembar ini tentu merasa jengah saat harus menghabiskan banyak waktu hanya di rumah saja.
"Apa salahku, Pa? Aku cuma ngajak Kak Devan keluar sebentar. Kakak sakit bukan karena aku," isak Arka, membela diri.
"Kamu tau jelas keadaannya, kan? Kamu sengaja mau nyelakain dia?"
"Pa! Aku yang pengen main keluar, Pa." Devan berusaha membela Arka, tetapi nihil. Sang ayah tak terbantahkan.
"Diam kamu, Devan!" pungkas pria bernama Frans itu. Lalu tatapannya beralih ke si kembar bungsu. "Dan kamu, Arka, jangan pernah dekati Devan! Dia itu beda sama kamu! Jangan pernah mengajak dia pergi sesukamu!"
"Dia itu kakakku, Pa. Apa salahnya aku dekat sama dia? Kenapa Papa terus aja nyalahin aku untuk semua yang terjadi sama Kakak?"
Bukannya luluh akan pemberontakan si kecil Arka, bias wajah Frans Wijaya tampak gusar. Menatap amarah pada si bungsu, lalu menghardiknya tajam.
"Kenapa Tuhan tidak adil? Lalu kamu, apa yang akan kamu lakukan dengan keadaan seperti ini? Kakakmu itu sakit, nggak tau kapan sembuhnya. Jika dia harus menderita seumur hidupnya karena rasa sakit itu, maka kamu juga harus merasakan sakit yang sama."
Pernyataan yang menyakitkan. Hati si kecil Arka hancur menerima kebencian bertubi sang ayah padanya.
‘Aku akan sembuhin Devan supaya Papa tau kalau bukan cuma Papa dan Mama, tapi aku juga sedih untuk penderitaan Devan.’
Hujan berhenti di tengah matahari yang menepi ke ufuk barat.