Chapter 2

1822 Words
Chapter 2 Samar terdengar suara ribut-ribut dari rumah sebelah kirinya. Zahra bangun dari duduknya dan menghampiri jendela. Dia menyibak sedikit tirai yang menutupi kaca. Di luar, tepatnya rumah sebelah kiri sang tetangga julidnya nampak sedang ribut dengan seorang perempuan. Zahra pun menutup kembali tirai jendelanya, unfaedah banget pikirnya. “Dia di sini lagi? Apa hanya dua minggu sekali dia pulang?” Zahra menggelengkan kepalanya membuang pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalanya, dan kembali ke mode tak acuhnya. Kakinya kembali melangkah ke arah kamar tidur, sampai di depan pintu kamar Zahra menajamkan pendengarannya. “Ish tengah malam siapa sih?” gumamnya. Zahra meraih gagang pintu kamarnya tapi ketukan di pintu kembali terdengar semakin kencang. “Setan apa yang mengetuk pintu malam-malam begini?” Zahra meraih pemukul bisbol yang bersender di tempat dia menaruh payung dan membawanya ke depan. Pelan-pelan dia mengintip dari balik tirai jendela depan. “Mau apa dia ke sini?” Kunci terbuka. Zahra membuka pintu rumahnya dengan sangat pelan. “Ada apa? tengah malam begini mengetuk pintu rumah orang?” tanya Zahra tanpa basa-basi dahulu yang ditanya hanya menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Ditanya tuh jawab! Ini malah larak lirik gak jelas? Belum pernah melihat perempuan tengah malam apa?” lanjutnya dengan ketus. “Ck.” Hanya suara berdecap yang ditangkap pendengaran Zahra sebagai jawaban. “Katakan padaku, mau apa tengah malam begini?” Zahra mengangkat pemukul bisbol di tangannya. “Kamu tadi ngapain ngintip-ngintip segala?” Orang di hadapannya balik bertanya. “Ohh itu ... makanya tengah malam begini jangan ribut, mengganggu orang tidur saja! Kalau tidak ada keperluan yang penting sana pulang,” usirnya dengan wajah galak. Sementara orang yang berada di hadapannya hanya diam mematung, dan menatap dirinya dengan tatapan yang Zahra sendiri pun tak tahu. “Dasar orang gila, mengganggu istirahat orang saja. Lain kali kalau mau ribut sama pacar jangan di Kompleks perumahan gini, sana jauh-jauh di lapangan, untung tadi kamu tidak aku siram air bekas cucian!” Zahra berbalik dan masuk ke dalam rumahnya tanpa memedulikan tetangganya yang masih bengong di depan rumah. ‘Ra ... bisa saya jelaskan, dia adik sepupuku ....’ Ucapannya menggantung karena wanita yang dipanggilnya sudah hilang dari pandangan matanya. Dia berpikir sejenak untuk apa tengah malam begini mengetuk pintu rumah tetangganya? Apa dirinya marah karena melihat wanita judes itu tadi mengintip dari balik jendela? Tidak, bukan itu. Dia hanya ingin menjelaskan sesuatu padanya tapi sesuatu itu apa dan untuk apa? Dengan langkah pelan Cristian keluar dari halaman rumah tetangganya dan memasuki halaman rumahnya sendiri. Tiba di dalam rumahnya Cristian segera menyenderkan tubuhnya di daun pintu, dia merasa heran dengan jalan pikirannya sendiri. Bukankah ini sudah di luar kebiasaannya? Seorang Cristian Lazuardy yang arogan dan bermulut pedas, tiba-tiba menjadi seperti ini dan rela membeli rumah mungil tanpa tujuan yang jelas. Dia berpikir sebetulnya apa yang di carinya di sini? Dia masih bingung dengan sikapnya sendiri. Apa benar yang di ucapkan adiknya sewaktu sarapan tadi kalau dia berada di sini karena seorang wanita, tapi siapa? Ada dua orang wanita cantik yang menjadi tetangganya yang satu judes dan galak, walaupun terkadang sangat santun dan dewasa, sedangkan yang satu sangat sopan, kebalikan dari yang satunya lagi. Jadi, gadis mana yang membuat dirinya rela tinggal jauh dari keluarga besar serta segala kemewahannya dan memilih hidup layaknya orang kebanyakan, sederhana. Cristian mendesah dan melangkahkan kakinya menuju ke kamar tidurnya dengan pikiran yang masih gelisah. Di dalam kamar pun dia hanya terlentang menatap langit-langit kamarnya yang temaram, rasa kantuk pun tak jua datang menghampiri. Zahra yang berdiri di balik pintu rumahnya menatap tetangganya yang mematung seperti orang bingung sampai dia berlalu meninggalkan halaman rumahnya. “Orang tidak jelas, tumben dia gak julid ke aku, apa kepalanya ke jedot efek berantem sama pacarnya tadi.” Zahra segera berjalan ke kamarnya. Rasa kantuk mulai bergelayut, dan akhirnya dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Tetangga sinting, semoga dia tidak mengganggu lagi.” Akhirnya Zahra tertidur dengan sangat lelap. Samar di telinga Zahra kembali terdengar suara orang berbicara di luar. Perasaan baru saja memejamkan mata, kok sudah pagi pikirnya. Zahra menggeliat dan segera bangun, dia hendak mengambil air wudu dan menunaikan kewajibannya pada sang Khaliq. Langkahnya tertahan ketika pendengarannya kembali mendengar suara orang berbicara di luar. Apa dia kesiangan? Rasa penasaran membawa dia segera menghampiri jendela kamarnya dan membuka tirainya dengan lebar. Gelap. Di luar masih gelap gulita, antara heran dan penasaran, akhirnya dia menatap jam Mickey yang bertengger di atas nakas. “Pukul dua pagi.” Zahra syok. Berarti memang benar dia baru memejamkan mata sebentar. Zahra menatap ke arah jendela kamarnya yang terbuka tirainya, lalu berlari keluar kamar dan mengambil pemukul bisbol. Melangkahkan kakinya dengan terburu-buru, dia membuka jendela kemudian keluar dan melihat sekeliling, hanya lampu-lampu di rumah tetangganya yang terlihat, lalu suara siapa yang terdengar tadi? Zahra menggeram kesal. “Sialan, siapa tengah malam begini ribut terus?” Zahra terus mengomel sendirian. Tak lama kembali terdengar suara pria yang tengah berbicara, suaranya sangat nyaring terdengar. Zahra yang keluar lewat jendela kamarnya tadi melirik ke arah kiri rumahnya si tetangga julid, sepi. Zahra melirik ke arah sebelah kanan rumahnya, dan terlihat di sana seorang pria tengah duduk santai dengan ponsel yang menempel di telinganya, si Berondong expired tengah malam mainan telepon di luar dengan gemas Zahra melemparkan pemukul bisbol yang sedari tadi di pegangnya. Bruk! Tongkat bisbol di lempar ke arah pagar menimbulkan suara nyaring, pria yang tengah duduk sambil bertelepon ria terlonjak kaget, dan melirik horor ke arah Zahra yang rambutnya terlihat acak-acakan. Zahra mendelik. “Bisa tidak, jangan berisik tengah malam begini, mengganggu orang tidur saja!” Zahra berjalan ke dekat pagar dan memungut tongkat bisbol yang tadi di lemparnya. Tak berapa lama lampu-lampu di rumah si pria menyala dan seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh keluar dari rumah dengan ekspresi wajah kaget. “Dav, suara apa tadi?” tanyanya pada pria yang ternyata Davi. Davi hanya diam tak menjawab pertanyaan ibunya. Tak lama berselang tetangga satunya tampak ikut keluar, melihat hal itu Zahra mendesah lelah. “Ini anak, ditanya malah diem-dieman bae!” “Tuh, tetangga kurang kerjaan melempar tongkat bisbol di pagar!” jawabnya ketus sambil menunjuk Zahra, yang tengah memegang tongkat bisbol. “Kenapa, Neng? Ada apa ini?” “Anak Ibu tuh, tengah malam begini berisik terus, telponan di sebelah kamar saya, mana suaranya kenceng banget, mengganggu orang tidur saja!” Si ibu menatap Davi, kemudian bergantian menatap Zahra. “Kamu ngapain Dav tengah malam begini di luar rumah?” Davi menelan ludahnya susah payah. “Eh ... hanya ... menelepon, Mam.” “Tengah malam begini nelponin siapa?” “Hanya teman.” “Pantas saja kamu di lempar tongkat, tengah malam begini pake acara telponan di sebelah kamar orang segala.” Davi hanya tersenyum kecut. “Ada apa ribut-ribut?” Davi dan ibunya menoleh ke arah pemilik suara, sementara Zahra masih tetap tak acuh. “Nak Cris, tidak ada apa-apa, hanya sedikit salah paham saja, maaf terganggu ya,” ujar Ibunya Davi dengan sopan. Cristian hanya melirik Zahra sekilas, setelah berbasa basi dia segera pamit dan kembali memasuki rumahnya. Zahra ikut mengeloyor tanpa bicara sepatah kata pun, dia lelah luar dalam. “Tuh Mam, wanita itu aneh banget kan, udah bikin ribut, ehh main ngeloyor aja tanpa permisi.” “Kalau kamu tidak ribut tengah malam, dia juga enggak mungkin begitu Dav. Sudahlah, masuk ke rumah!” Davi hanya menurut, dia mengikuti ibunya masuk kembali ke dalam rumah. Malam berganti pagi, tugas sang rembulan usai, dan kini sang mentari mengambil alih menyinari bumi. Suara khas ibu-ibu Kompleks mulai terdengar sahut-sahutan. Ada yang sibuk menawar sayuran, ada juga yang tergesa mengantar anaknya bersepeda keliling Komplek, sebagian sibuk hendak bepergian. Mereka kembali disibukkan dengan rutinitas masing-masing di akhir pekan. Cristian berdiri di dekat mobilnya, hannya mengenakan kaos dan celana biasa saja, dia tidak mau terlihat mencolok dengan pakaian branded seperti biasanya. Matanya melirik ke arah rumah yang sebelah kanan, masih sepi, belum ada tanda-tanda biang onar semalam keluar dari rumah. Tengah anteng menatap rumah tetangganya, tiba-tiba sang empunya rumah membuka pintu dan keluar dengan pakaian santai yang terlihat pas di tubuh semampainya. Cristian tak mampu berpaling dia masih terpaku pada sosok yang kini sedang mendelik ke arah dirinya. Sadar orang yang ditatapnya menatap balik dirinya juga, Cristian gelagapan dan memutuskan kontak mata di antara mereka. “Pagi, Bang. Pagi, Ra.” Seorang wanita cantik lainnya keluar dari rumah dan menyapa keduanya. Zahra hanya tersenyum tipis, berbeda dengan Cristian. “Pagi juga, Vriel.” Cristian membalas sapaan Avriel dengan penuh senyuman. Avriel tersenyum manis pada Cristian, sangat manis. “Kamu cantik banget, Ra,” puji Avriel, matanya menatap Zahra dengan takjub. “Makasih. Kamu juga cantik,” jawab Zahra dengan datar, bak dinding tembok Kelurahan. “Kamu mau ke mana, Ra?” Avriel merasa penasaran melihat Zahra sudah rapi, padahal ini kan weekend pikirnya. “Mau ke pasar.” Singkat dan padat jawaban Zahra. “Oh kamu jalan kaki ke sana ya? Gak minta anter tetangga, Ra? nih mau yang sebelah kiri apa sebelah kanan?” seloroh Avriel sambil menyengir. Zahra hanya mendengus dan segera berlalu tanpa memedulikan Avriel yang menggodanya. “Lo bicara apa sih, Vriel, seenaknya saja bicara begitu.” Davi yang sedari tadi diam akhirnya buka suara, setelah mendengar ocehan Avriel. “Ya dari pada lo, cuma curi-curi pandang, 'kan lebih bagus langsung aja anterin dia tuh,” ucap Avriel, sontak membuat wajah Davi memerah. “Nggak. Ntar gue ikutan aneh kayak dia lagi.” “Huss lo ini, Dav, gak baik begitu, nanti lo cinta sama dia,” seloroh Avriel. “Sorry yee, gak ada dalam kamus. Kalau sama lo, kayak nya boleh tuh.” Davi menatap Avriel yang mencebikkan bibirnya. Sementara Cristian masih tak bergeming dari tempatnya, pikirannya bercabang, membandingkan Zahra dan Avriel yang berbeda sifat, bak langit dan bumi. Avriel yang lemah lembut, sedangkan Zahra judes, galak plus cuek. Cristian keluar dari halaman rumahnya mengendarai mobil tanpa arah dan tujuan, hingga dia melihat taman yang dipenuhi anak-anak serta orang dewasa. Taman yang terlihat biasa saja hannya lahan terbuka dengan beberapa tanaman hias serta pohon kersen dan bangku yang sudah lapuk. Namun warga di kompleks tempat tinggalnya begitu gembira bermain di sana. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa bulan lalu di mana dia pernah duduk di bangku taman itu, bersama seorang wanita yang dia sendiri tidak tahu namanya. Wanita itu yang sudah menarik dirinya ke sana menjauh dari keluarga besarnya. Sekilas terlihat siluet seseorang yang sudah di kenalnya. Cristian memarkirkan mobilnya dan segera keluar dari dalam mobil. Dia terus menatap sosok wanita yang tengah membeli cilok di pedagang keliling. “Apa dia membelinya untuk stok sebulan?” gumam Cristian. Tak lama terlihat gerombolan anak-anak kecil menghampiri wanita itu, dengan penuh senyuman dan kata-kata yang halus lembut, bahkan Cristian baru kali ini mendengarnya keluar dari mulut pedas wanita di seberang sana. Dia terlihat membagikan makanan yang di belinya. Rasa penasaran membawa kaki Cristian melangkah, mendekati tempat wanita itu dan juga anak-anak yang tengah mengelilingi si penjual makanan. “Anak-anak jangan berebut ya. Ingat satu orang, satu bungkus, tidak boleh rebutan!” ucapnya masih dengan senyuman yang tak pudar dari wajah cantiknya. “Iyaa!” Suara riang anak-anak terdengar kompak menjawab, mereka sangat antusias menerima makanan sederhana dalam plastik kecil itu. Tangan Zahra yang memegang bungkusan mengambang di udara ketika sadar bukan anak kecil yang berdiri di hadapannya, akan tetapi orang dewasa. Canggung, itulah yang di rasakan Zahra sekarang. “Maaf, saya pikir anak-anak.” Tangannya yang memegang bungkusan perlahan turun. Tapi dengan sigap Cristian mengambil bungkusannya dan memperhatikannya sebentar. “Itu cilok,” ucap Zahra. “Cilok?” Cristian mengulangi ucapan Zahra. “Jangan bilang kalau kamu tidak pernah memakannya?” Zahra melirik Cristian sekilas. “Semua orang tahu Ra, kalau ini cilok. Tapi kalau memakannya memang belum pernah.” Cristian hanya bisa meneruskan kata-katanya di dalam hati saja. “Saya pikir kamu tidak tahu dan belum pernah memakannya, melihat dari caramu yang seperti ....” Zahra tidak melanjutkan ucapannya. “Seperti apa?” “Tidak ada, kalau suka makanlah.” Zahra berlalu, dia berjalan ke arah bangku kayu yang terlihat agak sedikit usang. Dengan santainya dia mengambil tusukan, dan menusuk bulatan-bulatan kecil yang berada dalam plastik, kemudian memakannya. Cristian menatap cara wanita itu duduk dan memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. Masih sama batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD