BAB 12. 1 Gadis 2 Preman

1049 Words
Di dalam angkot hanya ada 3 orang penumpang di belakang, sedangkan di depan hanya ada sopir saja. Kaluna duduk agak ke pinggir, meskipun wajah dan baju depannya agak terciprat air hujan, tapi dia tetap tidak mau bergeser lebih ke tengah. Sebab di tengah agak ke pojok, duduk dua orang pemuda berusia sekitar dua puluhan yang sedari tadi curi-curi pandang pada Kaluna. “Manis banget,” bisik pemuda yang satu. Namun samar-samar Kaluna masih bisa mendengar suara itu meskipun bercampur dengan deru hujan. Pemuda yang satu lagi menanggapi dengan terkekeh sambil mengangguk-angguk. “Bukan lagi, ini mah lebih dari manis, Boy. Tapi pulen,” timpalnya membuat Kaluna semakin merasa tidak nyaman. Inginnya Kaluna turun saja lalu berganti angkot, tapi hujan semakin deras. Dia hanya bisa sibuk merapal doa di dalam hati. Semoga kedua orang pria di pojokan sana tidak berniat jahat padanya. Mungkin hanya sedang iseng saja, namanya juga cowok, Kaluna tetap mencoba berpikir lebih positif. Untuk menenangkan dirinya sendiri. “Neng, mau kemana?” Akhirnya salah seorang dari pemuda itu menegur Kaluna. Kaluna menoleh dan dia langsung bergidik ngeri. Sebab pria itu mengedipkan sebelah matanya lalu tersenyum penuh maksud. Tidak berniat untuk menjawab, Kaluna melihat ke arah depan. Gang rumahnya sudah tidak jauh lagi. Pikirnya lebih baik turun dari angkot sekarang saja daripada semakin diganggu oleh kedua orang pria tidak dikenalnya itu. “Neng, sombong amat sih. Ditanya kok nggak jawab. Oh ya Neng, ngopi yuk, enak nih lagi hujan-hujan gini,” goda pemuda yang tadi. Sedangkan temannya justru mentertawakan Kaluna sambil sesekali memainkan bibirnya, jelas juga sedang menggoda Kaluna. “Stop depan ya, Pak.” Kaluna langsung ambil keputusan. Lagipula gang rumahnya hanya tinggal beberapa meter saja di depan, biarlah hujan-hujanan ketimbang digoda terus oleh dua berandalan itu. “Di depan, Mbak? Tapi nggak ada tempat buat neduh kayaknya.” Sopir angkot tampak ragu, dia masih menjalankan mobilnya tapi pelan-pelan. “Nggak apa-apa, Pak. Saya sudah dijemput oleh bapak saya di depan situ,” jawab Kaluna agak kencang, sengaja supaya terdengar oleh dua orang itu yang masih terus memperhatikannya. “Oke deh, Mbak.” Pak sopir akhirnya menghentikan angkotnya di sebelah kiri jalan. Kaluna langsung turun dan membayar ongkosnya. Begitu turun sambil kembali menutup kepalanya dengan jaket, Kaluna memperhatikan sekitar. Ternyata tempat dia turun ini begitu sepi dan gelap. Sebab bukanlah jalur pertokoan atau semacamnya. Hanyalah trotoar lurus dengan batas pinggir pepohonan rindang yang menuju ke gang rumahnya. Jika hari sedang tidak hujan, pastilah trotoar itu akan ramai dengan para pejalan kaki, apalagi di siang hari. Namun malam ini tidak mungkin situasinya seperti itu, sepanjang mata memandang hanya terlihat pepohonan rindang saja di sepanjang pinggir jalan ini. “Huffttt! Baiklah, tenang Kal, tenang. Yang penting kan sekarang sudah turun dari angkot itu,” gumam Kaluna sendirian. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba angkot yang baru berjalan sebentar itu, kembali berhenti tepat di sampingnya. Seketika jantung Kaluna bagaikan berhenti berdetak. Tanpa pikir panjang, segera dia mempercepat langkahnya. Perasaannya tidak enak sama sekali. Begitu angkot yang tadi melewatinya, Kaluna menoleh ke belakang. Benar saja, dua orang pemuda iseng tadi ternyata ikut turun tidak jauh di belakangnya. “Hai manis! Tungguin dong! Yuk kita ngopi dulu biar hangat!” teriak salah seorang diantaranya. “Argh! Orang gila!” Kaluna segera semakin mempercepat langkahnya. Dilihatnya sekitar, benar-benar sepi, tidak ada satu orang lainpun yang sedang berjalan di trotoar itu. Sedangkan mobil-mobil yang melaju dengan cepat bagaikan tidak melihat dirinya sama sekali. “Manis! Tunggu, dong!” Kaluna menoleh ke belakang, betapa terkejutnya dia ketika melihat kedua pria itu tengah berlari ke arahnya. “Argghhh!” Kaluna sontak melempar jaket yang sedari tadi bertengger di atas kepalanya. Lalu diapun berlari sekuat tenaga. Gang menuju rumahnya sudah kelihatan di depan mata, biasanya di pintu gang tersebut ada beberapa tukang ojek yang sedang mangkal. Kaluna berharap dia akan bertemu dengan para tukang ojek itu di sana. Dia terus berlari dan berlari. Suara langkah di belakangnya terdengar semakin jelas, itu berarti pengejarnya sudah semakin dekat. Kaluna tidak berani menoleh lagi ke belakangnya. Dia terus berlari dengan kencang. Hingga akhirnya berbelok pada sebuah gang yang tidak terlalu besar, yang lebar jalannya hanya muat untuk satu mobil dan satu motor jika sedang berpapasan. “Ohh, tidak!” Kaluna nyaris menangis ketika melihat pangkalan ojek yang biasanya ramai kini terlihat sangat sepi. Tidak ada satu orangpun di sana. Karena Kaluna menoleh ke arah pangkalan ojek yang sepi, fokusnya terbagi. Dia tidak melihat ada kubangan di depannya. Hingga kaki kanan Kaluna masuk ke kubangan yang tertutup oleh air hujan itu. Seketika itu juga Kaluna jatuh terjerembab. “Aduh!” Bukannya menolong atau minimal bersimpati melihat Kaluna tersungkur ke jalan berlubang yang penuh air kotor itu. Kedua pemuda berandalan justru tersenyum penuh kemenangan. Namun yang paling menakutkan bagi Kaluna adalah sorot mata mereka seperti menginginkan sesuatu yang lain dari Kaluna. Apalagi saat salah satu diantaranya sengaja menjilat bibirnya sendiri dengan perlahan, lalu seperti gerakan seperti sedang mencium seseorang. Menjijikan sekali di mata Kaluna. “Jangan macam-macam kalian!” gertak Kaluna dengan nyaris putus asa. Bukannya takut atau gentar, keduanya justru semakin melangkah mendekati Kaluna yang kesulitan untuk berdiri. Kaki kanannya terasa nyeri sekali. “Pergi! Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak!” ancam Kaluna lagi. Salah satu diantaranya tertawa mengejek. “Teriak saja, Manis. Suaramu akan kalah dengan suara hujan.” Ah, benar juga. Hujan yang semakin deras dengan sesekali terdengar suara petir. Membuat Kaluna semakin frustasi. Dia ketakutan setengah mati. Sedangkan kedua pemuda yang sudah tertutup mata hatinya, semakin beringas ketika melihat ke arah tubuh Kaluna yang telah basah kuyup. Bahkan pakaiannya melekat dan terlihat menerawang. “Tidak! Jangan mendekat!” Tapi terlambat, seseorang telah memegang tangan Kaluna. Dan yang seorang lagi mencengkeram kuat pinggang ramping Kaluna. Gadis itu sudah akan berteriak ketika mulutnya kini dibekap. Kaluna memberontak tapi tenaganya kalah jauh dengan kedua pemuda yang sudah gelap mata itu. Mereka berdua lalu mengangkat tubuh Kaluna yang ringan, lebih ke pinggir lagi, sehingga terhalang oleh pohon yang rindang. “Kamu seksi sekali, Manis. Kita main pelan-pelan saja, ya. Di bawah guyuran hujan pasti rasanya akan lebih nikmat,” ucap seseorang di telinga Kaluna. Gadis itu bergidik dan semakin ketakutan. Apalagi dia tidak mampu bergerak sebab tubuhnya telah terkunci dan mulutnya juga masih dibekap. “Hei!” Suara bariton yang kencang terdengar memecah kegelapan malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD