“Hu um, saya Angga. Kamu siapa, gadis nakal, ya?” Suara bariton yang terkesan sangat dingin itu masuk dengan perih ke telinga Kaluna.
Kalau bisa memilih sebetulnya Kaluna ingin pingsan saja sekarang, supaya dia bisa cepat-cepat keluar dari situasi berbahaya ini.
“Umm O—Om aku bisa jelasin. Oke? Akan aku jelasin semuanya. Please Om ja—jangan bilang-bilang Papa! Oke … Om?” Suara Kaluna begitu terbata sebab pikirannya begitu runyam sekarang.
Jika tahu kalau pria yang diciumnya ini adalah bos besar di perusahaan tempat papanya bekerja, dia pasti akan lebih memilih pria tonggos saja tadi. Sial betul nasibnya hari ini, pikir Kaluna. Rumor yang Kaluna dengar, Anggara Mahameru Yudhistira ini adalah pria dingin dan sangat disegani oleh para karyawannya.
“Ya sudah, jelasin saja sekarang!” Masih dengan suara dinginnya yang mampu membuat bulu kuduk Kaluna bergidik seketika, Anggara menyenderkan punggungnya pada kursi dengan begitu santai. Lalu kedua tangannya dilipat di depan d**a, dia menatap Kaluna tanpa segaris senyum-pun pada wajah super tampannya.
Sanking takutnya, Kaluna sampai tidak sadar kalau dia masih duduk di pangkuan Anggara. Bahkan dia juga tidak melihat kode dari ketiga temannya di belakang sana. Mereka sedang sibuk mengangkat tangan bahkan menggoyang-goyangkan badan supaya Kaluna mengerti. Mereka ingin Kaluna segera turun dari pangkuan korban taruhannya lalu segera kabur dari sana.
“Umm begini Om, se—sebetulnya a—aku cuma lagi taruhan aja sama teman-teman aku. Jadi … duh gimana, ya? Oke! Aku mengaku salah, aku minta maaf!” Kaluna menunduk sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
Dan pada saat itulah dia melihat kedua paha Anggara berada di bawahnya. Barulah dia tersadar bahwa masih duduk di pangkuan pria galak itu.
“Aduh, maaf ya, Om! Nggak sengaja. Eh, sengaja sih. Tapi nggak sengaja kelamaan begini!” Kaluna segera turun dari pangkuan Anggara. Dia berdiri dengan kikuk di sana. Kedua rekan Anggara justru dengan puasnya mentertawakan sikap ceroboh Kaluna.
“Ck ck kelakuan anak jaman sekarang, ya. Sungguh meresahkan,” desis Anggara dengan masih memicingkan matanya, sehingga semakin terlihat kejam.
Saat itulah Kaluna melihat ketiga temannya di belakang sana. Dia langsung mengangguk mengerti. “Aduh, Om, sekali lagi maaf, ya! Aku harus pamit, aku ditunggu teman-teman! Bye!”
Kaluna sudah akan kabur seribu bayangan dari sana, ketika tiba-tiba Anggara mencengkeram tangan kiri gadis itu.
Kening Kaluna mengernyit, dia menatap keheranan pada Anggara yang masih duduk dengan posisi santai. Tatapan mata gadis itu seolah bertanya, kenapa tangannya dicekal begitu?
Perlahan Anggara mendongak, melirik lewat ekor matanya pada Kaluna. “Siapa bilang kamu boleh pergi, hemm? Urusan kita belum selesai.”
“A—apa maksud Om Angga?”
Anggara bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang setinggi 187 cm, berdiri menjulang di hadapan Kaluna yang hanya setinggi 160 cm.
“Kal, kamu berani berbuat, maka harus berani bertanggung jawab!” Lalu Anggara mengambil dompet dari saku celananya, kemudian mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu dan meletakkannya di atas meja.
“Tolong bayar kopinya, saya mau urus dulu anak nakal ini,” titah Anggara pada rekannya yang bertopi baseball.
“Siap, Bos!”
Kemudian tanpa permisi pada Kaluna, Anggara langsung menarik tangan gadis itu dan meninggalkan mereka semua yang masih menatap terpaku pada keduanya.
“Bel—Bella! Itu si Kal mau dibawa kemana?!” pekik Fanya Karamoy histeris.
“Nah kan, kan! Tanggung jawab kau Bella!” Intan berkacak pinggang dan melotot pada Bella.
Sedangkan yang dituding justru terlihat tenang-tenang saja. “Santai. Santai. Yuk kita lanjut ngopi lagi.” Kemudian dia kembali duduk di kursinya semula.
Intan dan Fanya saling bertatapan sesaat, tapi kemudian mereka mengikuti Bella, duduk di kursi mereka masing-masing. Lalu menatap tajam pada Bella, meminta penjelasan.
Arabella berdeham pelan, masih sempat pula dia menyesap caffe latte nya seteguk. “Tenang teman-temanku tersayang, cowok yang tadi sama Kaluna itu om gue kok. Om Anggara Mahameru Yudhistira,” jawab Bella dengan gestur jumawa.
“Hooo!” Keduanya langsung memasang wajah lega. bahkan Fanya sampai mengusap dadanya.
“Ah, kalau tahu cowok tadi itu Om Angga, mending gue yang maju. Sudahlah tajir melintir, gantengnya makkkkk nggak ada obat, perpaduan Lee Dong Wook sama Cha Eun Woo!” Intan mengusap wajahnya frustasi.
Sementara itu Anggara masih menarik tangan Kaluna sampai ke samping mobilnya.
“Om mau apa sih? Kok narik-narik tangan aku! Nggak sopan!” protes Kaluna. Meskipun dia kesal dengan perlakuan pria tinggi di hadapannya ini, tapi tetap saja masih ada rasa takut dalam hatinya. Dia takut jika perbuatannya tadi akan diadukan pada papanya. Bisa mati, pikirnya.
Angga memiringkan wajahnya lalu sedikit membungkuk supaya bisa mendekati wajah si mungil. “Coba kamu pikir hai anak kemarin sore, lebih nggak sopan mana dengan perlakuan kamu tadi pada saya? Hah?! Mencium orang di muka umum, itu bukan nggak sopan lagi namanya, tapi sudah masuk pada pelecehan.”
“A—apa! Pelecehan?! Kok?!”
“Kok apanya? Kamu sudah melecehkan saya dan telah melanggar hukum. Dengar baik-baik, pelaku asusila atau pelaku m***m ditempat umum dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, atau jika dikonversi menjadi empat juta lima ratus ribu rupiah.”
“Hah?!” Kaluna mundur selangkah. Kedua bola matanya terbelalak.
“Dan jika saya menuntut, kamu juga bisa kena pasal berlapis. Secara khusus pelaku asusila atau pelaku m***m ditempat umum, dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 36 junto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang p********i. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.”
“Apa?! Li—lima miliar, Om?!” Seketika wajah Kaluna pucat pasi. Dia semakin mundur hingga tubuh belakangnya bersandar pada pintu mobil milik Anggara.
Anggara mengulurkan kedua tangannya lalu bertumpu pada sisi kanan dan kiri Kaluna, mengurung gadis itu di sana. “Kamu tahu kan, saya bisa membayar pengacara termahal sekalipun. Jadi bagaimana, ada pembelaan?” Anggara menaikkan kedua alisnya.
“Ehh begini Om …ba—bagaimana kalau kita bicarakan baik-baik? Ma—maksud aku secara kekeluargaan.”
“Ohh secara keluarga, ya. Hemm … boleh juga. Kebetulan saya orangnya tidak kaku.”
“Cih! Apanya yang nggak kaku? Sikapnya saja sudah kayak kanebo kering begitu.” Kaluna membatin dengan sangat kesal.
“Kalau begitu, besok saya akan mendatangi keluarga kamu, ya. Saya akan bicara pada papa kamu dan—"
“Eh, Om! Jangan, Om! Umm … maksud aku, kita bicarakan berdua saja. Iya, berdua saja. Papa nggak perlu tahu.” Kaluna semakin tergeragap. Sungguh dia tidak ingin masalah ini sampai terdengar oleh keluarganya.
Anggara tersenyum miring mendengar itu. “Baiklah kalau begitu maumu. Sekarang, masuk ke dalam mobil saya. Kita bicara berdua.”
Lalu Anggara menggeser badan Kaluna sedikit dan membuka pintu mobil yang tepat di belakang gadis itu.
Meskipun ragu, tapi karena merasa tidak ada pilihan lain, akhirnya Kaluna masuk juga ke dalam sedan mewah itu. Matanya langsung dibuat takjub dengan desain interior mobil milik Anggara tersebut.
Anggara yang juga telah masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi, mengamati ekspresi wajah gadis cantik nan polos itu. Dia jadi senyum-senyum sendiri sambil terus menatap Kaluna. Entah sudah berapa kali dia tersenyum sejak berciuman dengan Kaluna, padahal biasanya orang-orang paling sulit melihat senyum Anggara.
“Kenapa? Kamu suka? Mau jalan-jalan kemana naik mobil ini? Yuk!”
“Eh, nggak! Aku di dalam mobilnya Om cuma mau bicarain masalah kita aja kok, bukannya mau jalan-jalan.”
“Masalah kamu tepatnya.”
Kaluna memutar bola matanya dengan malas. “Iya, iya masalah aku. Ehm! Jadi, begini Om, biar aku jelaskan, ya.”
“Silakan.” Anggara menatap dengan santai pada Kaluna, lebih tepatnya tatapan yang meremehkan.
“Jadi, tadi tuh aku cuma lagi main-main aja kok sama teman-temanku. Tiba-tiba, si Bella tuh, Om! Keponakan Om itu loh, yang ngajakin kita taruhan!” Kaluna memasang wajah memberengut.
“Terus?”
“Terus nih Om, karena hadiah taruhannya menarik. Jadi aku berani maju, ternyata tantangannya adalah mencium pria tidak dikenal di café. Wahhh Om, andaikan aku tahu kalau itu Om Angga, pasti aku nggak akan terima tantangan itu! Habisnya sih, Om duduknya ngebelakangin kita berempat. Sudah gitu, aku sapa nggak nengok-nengok. Jadi, bukan salah aku dong, Om!”
“Terus, salah saya?” Nada suara Anggara pelan saja, tapi sontak bisa langsung membuat Kaluna salah tingkah kembali.
“Eh, bu—bukan juga sih, Om.”
“Jadi, siapa yang salah di sini?”
Mendengar pertanyaan Anggara itu, membuat Kaluna berpikir keras beberapa saat. “Umm … kayaknya salah keponakan Om deh, si Bella. Kenapa bikin tantangan aneh-aneh.”
Anggara mendengkus pelan sambil geleng-geleng kepala. “Nggak usah cari kambing hitam. Fokus pada pasal yang saya sebutkan tadi. Bahwa kamu telah melakukan pelecehan pada saya di tempat umum. Dan apa kamu tahu? Karena perbuatanmu tadi, muka saya bisa dipermalukan di media sosial. Lalu jika rekan-rekan bisnis saya melihat berita memalukan itu, mereka bisa membatalkan atau tidak memperpanjang kontrak bisnis dengan saya.”
“Dan itu artinya adalah, saya akan rugi besar. perusahaan saya akan bangkrut. Para karyawan diPHK tanpa pesangon, termasuk papa kamu.” Anggara menunjuk tepat ke hidung mancung Kaluna.
“Hah!” Tiba-tiba kepala Kaluna kembali terasa pusing berputar. Wajahnya mendadak pucat pasi. “Ja—jadi … aku harus bagaimana, Om?”
Anggara menghela napas sambil menyadarkan punggungnya pada jok kursi kulit. Kedua tangannya dilipat di belakang kepala, lalu dia menoleh pada Kaluna. “Kamu harus menikah dengan saya.”