"Bangun sayang." Dengan penuh kelembutan Indira membangunkan Elina, mengusap puncak kepala Elina dengan penuh kasih sayang.
Elina mengerang, terusik karena sentuhan yang Indira lakukan. Perlahan tapi pasti kelopak mata Elina terbuka. Elina mengerjap, mencoba menghalau cahaya lampu yang begitu terang.
"Ini jam berapa Bu?" Elina merubah posisi tidurnya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang, lalu melirik kesamping dan tidak ada Abhimannyu di sampingnya.
"Kemana perginya Abhimanyu?" Elina membatin.
"Sudah masuk shubuh sayang. Abhimanyu sudah bangun dan pergi ke masjid sama Bapak." Indira seolah tahu apa yang kini ada dalam benak Elina.
"Abhimanyu ibu bangunin atau bangun sendiri?"
"Bangun sendiri, pas ibu masuk kamar kamu, dia lagi main lego." Indira cukup terkejut saat melihat Abhimanyu yang sedang asyik merakit lego seorang diri, merasa lega karena Abhimanyu tidak keluar dari kamar, lebih parahnya tidak pergi keluar dari rumah di saat para penghuni rumah masih terlelap.
"Mungkin karena kemarin sore tidurnya kelamaan, makanya tadi bangunnya kepagian." Indira mengangguk, setuju dengan apa yang Elina katakan.
"Ibu sudah sholat?"
"Sudah, ibu baru aja selesai sholat, sekarang kamu sholat ya, ibu mau balik ke dapur, mau masak."
"Iya bu." Setelah itu, Indira pun keluar dari kamar Elina dan Elin pun segera melakukan kewajibannya. Selesai melakukan kewajibannya, Elina membantu Indira memasak di dapur, meskipun Indira sudah melarangnya.
Setelah selesai masak dan menikmati sarapan bersama, Elina pergi mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Tadinya Elina berniat untuk ijin tak masuk, tapi niat itu ia urungkan saat mengingat kalau hari ini ada rapat penting yang harus ia dan Arjuna hadiri.
20 menit adalah waktu yang Elina butuhkan untuk bersiap-siap. Dengan langkah tergesa-gesa, Elina menuruni anak tangga, mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah, mencari di mana Abhimanyu berada.
"Kak Abhi!" Teriak Elina menggelegar.
"Abhimanyu di belakang, sama bapak!" Indira yang berada di dapur balas berteriak, memberi tahu Elina di mana kini Abhimanyu berada. Elina melangkah menuju halaman belakang, tertawa saat melihat Indra dan Abhimanyu sedang membersihkan rumput liar yang tumbuh, Abhimanyu menjerit takut saat melihat indra memegang cacing tanah yang ukurannya cukup besar.
Elina menghampiri keduanya, keduanya pun dengan kompak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Abhimanyu berlari menghampiri Elina, berniat memeluk Elina tapi Elina tahan karena kedua tangan Abhimanyu sudah penuh dengan tanah merah yang sangat becek.
"Maaf ya Kak, Kakak jangan peluk Bunda dulu, tangan Kakak kotor," ujar Elina sambil tersenyum. Abhimanyu mengangguk, terkekeh geli saat Elina mengecupi setai jengkal wajahnya. "Bunda pergi dulu ya Kak, Kakak baik-baik ya di rumah."
"Bunda pelgi kelja?"
"Iya, Bunda pergi kerja dulu ya, Kak Abhi di rumah sama aki dan nini."
"Abhi enggak boleh ikut pelgi ke kantol Bunda?" Elina sontak mengangguk. "Iya, Kakak enggak bisa ikut Bunda pergi ke kantor, kan kemarin kita sudah main bersama, sekarang Kak Abhi mainnya sama aki dan nini. Bunda pergi kerja, cari uang untuk Kak Abhimanyu," jelas Elina secara rinci.
Lagi-lagi Abhimanyu mengangguk dan setelah pamit pada indra dan abhimanyu, Elina segera pergi untuk bekerja, tak lupa pamit pada Indira yang sedang sibuk membuat cemilan sehat untuk Abhimanyu dan mereka semua tentunya.
Saat Elina sampai di kantor, ternyata Arjuna sudah datang dan Elina bersyukur karena hal itu. Setidaknya Elina tidak harus menyambut kedatangan Arjuna seperti hari-hari sebelumnya.
Elina meletakan tasnya di kolong meja, mulai mengerjakan tugas-tugasnya yang sangat menumpuk. Elina tidak akan membacakan jadwal Arjuna karena kemarin ia sudah memwbri tahu apa saja jadwal Arjuna hari ini.
3 jam berlalu dan selama itu pula Elina fokus mengerjakan tugas-tugasnya, tapi konsentrasinya terganggu begitu mendengar suara interkom. Elina menoleh, lalu menekan tombol interkom dan saat itulah suara tegas Arjuna terdengar.
"Elina tolong siapkan berkas-berkas untuk kita meeting, sebentar lagi kita berangkat."
"Baik Pak." Setelah itu, secara sepihak Elina mematikan sambungan interkom dan mulai menyiapkan berkas-berkas yang Arjuna minta.
Tak berselang lama terdengar suara pintu ruangan Arjuna yang terbuka, tapi Elina sama sekali tidak berniat untuk menoleh atau menyapa Arjuna dengan sebuah senyuman manis.
Arjuna mendekati meja kerja Elina. "Sudah siap?"
"Sudah Pak." Elina masih senatiasa menunduk, enggan untuk melihat wajah Arjuna.
"Ya sudah, ayo kita pergi." Elina mengangguk lalu mengikuti langkah Arjuna yang sudah terlebih dahulu berjalan di depannya.
Ting...
Begitu pintu lift terbuka, Arjuna dan Elina segara memasuki lift. Jika biasanya Elina akan berdiri di samping Arjuna, maka kali ini Elina memilih untuk berdiri di belakang Arjuna dengan kepala tertunduk, memilih untuk menatap sepatu yang ia kenakan dari pada menatap punggung Arjuna.
Arjuna menyugar kasar rambutnya, lalu berbalik menghadap Elina setelah menekan tombol lift agar lift tak lagi bergerak.
Elina mendongak dan saat itulah matanya beradu pandang dengan manik Arjuna. Elina berniat kembali menunduk, tapi Arjuna sudah terlebih dahulu menahannya dengan cara menahan dagu Elina, membuat mata keduanya kembali beradu.
"Kamu sakit? Wajah kamu pucat banget," lirih Arjuna dengan sorot mata sendu.
"Saya tidak apa-apa Pak." Dengan penuh kesopanan Elina menjawab pertanyaan Arjuna sambil melepas tangan Arjuna yang sejak tadi memegang dagunya.
"Kalau kamu sakit, sebaiknya kamu istirahat aja, enggak usah ikut meeting."
"Pak Arjuna, saya baik-baik saja." Elina tersenyum dan saat itulah Arjuna tahu kalau Elina akan tetap memaksa ikut meeting bersamanya.
Arjuna mengangguk, lalu meminta agar Elina berdiri di sampingnya. Elina sama sekali tidak menolak karena Arjuna pasti akan tetap memaksanya untuk berdiri di samping pria itu dan Elina juga sedang malas berdebat dengan Arjuna, jadi lebih baik kalau ia menurut.
Arjuna kembali menekan tombol lift, hanya dalam hitungan detik, lift yang Arjuna dan Elina naiki sudah sampai di lantai di mana mereka akan mengadakan meeting.
Arjuna terlebih dahulu memasuki ruang meeting di susul Elina yang berjalan di belakangnya. Arjuna duduk di kursinya begitu pun dengan Elina yang duduk tepat di dekat Arjuna.
"Elina."
Bulu kuduk Elina meremang dengan jantung yang berdetak dengan sangat cepat begitu suara maskulin yang dulu selalu mengisi hari-harinya itu terdengar memanggil namanya. Elina lantas mendongak, matanya membola dengan sempurna saat melihat siapa orang yang baru saja menyebut namanya.
Ternyata telingnya memang tidak salah dengar, orang yang baru saja memanggilnya adalah Damar, mantan suaminya dulu.
Arjuna sontak melihat siapa pria yang baru saja memanggil Elina tapi sedetik kemudian melirik Elina dan ekspresi wajah Elina yang terkejut tak lepas dari pengamatannya.
Arjuna berdeham, menatap pria yang sejak tadi terus menatap Elina dengan begitu intens. "Bisa kita mulai meetingnya sekarang? Lebih cepat lebih baik bukan?"
Semua orang yang berada di ruang meeting pun mengangguk, tak terkecuali Damar dan meeting pun di mulai, membahas kerja sama antara perusahaan milik Arjuna dan Damar.
Selama meeting berlangsung, Elina tidak bisa fokus, merasa risih karena Damar terus memperhatikannya, begitu pun dengan Arjuna yang seolah tak mau kalah dengan Damar.
Setelah hampir 2 jam meeting, akhirnya meeting pun selesai dan kedua belah pihak sepakat untuk melakukan kerja sama. Arjuna memilih untuk keluar terlebih dahulu dari ruang meeting tanpa menunggu Elina yang sedang sibuk membereskan berkas-berkas bekas meeting.
Arjuna kesal, entah kesal pada siapa, mungkin kedal pada dirinya sendiri dan pada Damar yang sejak tadi terus memperhatikan Elina.
Setelah selesai membereskan berkas-berkasnya, Elina lantas keluar dari ruang meeting, meninggalkan beberapa orang yang masih sibuk berdiskusi.
"Elina."
Langkah Elina terhenti. Elina lantas berbalik menghadap asal suara dan seperti yang ia duga, orang yang baru saja memanggilnya adalah Damar, mantan suaminya.
Damar menghampiri Elina, merasa lega saat melihat Elina yang diam di tempat dan tak mencoba untuk menghindarinya.
"Bisa kita bicara?" Damar terdengar ragu-ragu dan tidak percaya diri, bahkan terlihat gugup.
"Bukankah sekarang kita sedang berbicara?" Jika Damar terlihat tidak percaya diri maka hal sebaliknya justru di tunjukan oleh Elina yang terlihat santai.
"Maksud Mas bicara di luar, bukankah ini sudah waktunya makan siang?" Damar pikir Elina akan menolak ajakannya tapi ternyata Elina malah mengangguk, membuat Damar senang bukan main.
"Tapi Elina mau ambil kunci mobil dulu ya."
"Naik mobil Mas aja, lagian Mas bawa supir kok. Mas enggak akan berbuat macam-macam sama kamu kalau itu yang kamu takutkan."
"Ya sudah Ayo." Elina berbalik menuju liff khusus karyawan, menuju loby di mana mobil Damar berada.
Sementara itu Arjuna menunggu Elina di depan lift khusus yang hanya mengarah menuju lantai di mana ruangannya berada. Arjuna menoleh, tapi ia tak kunjung melihat Elina.
Arjuna segera berlari menuju ruang meeting tapi ruang meeting sudah kosong, hanya ada beberapa petugas yang sedang sibuk merapihkan kembali ruang meeting.
"Cari siapa Pak?" Tanya Pak Jaki, salah satu ob senior.
"Pak Jaki lihat Elina tidak?"
"Lihat Pak, tadi pergi keluar."
"Sendiri?"
"Tidak sendiri Pak, tapi bersama pria yang menjadi tamu Bapak hari ini."
Rahang Arjuna seketika mengeras begitu ia tahu dengan siapa Elina pergi. Setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Jaki, Arjuna segera berlari menuju lift, tujuannya sekarang adalah basement di mana mobilnya berada.
Arjuna akan menyusul Elina dan Damar, berharap kalau keduanya pergi untuk makan siang di restoran yang dekat dengan kantornya, dan semoga restoran yang keduanya tuju adalah restoran kesukaan Elina karena dengan begitu ia akan mudah menemukan keduanya.
Tak butuh waktu lama bagi Arjuna untuk sampai di restoran yang biasanya ia dan Elina kunjungi untuk makan siang dan benar dugaannya, Elina membawa Damar menuju restoran tersebut.
Arjuna mengurungkan niatnya untuk turun saat melihat Elina dan Damar duduk di dekat pintu restoran yang menghadap tepat ke tempat parkir, berhadap-hadapan langsung dengan mobilnya.
Arjuna bisa melihat dengan jelas interaksi antara Damar dan Elina karena dinding restoran tersebut terbuat dari kaca. Untung saja kaca mobilnya gelap jadi Elina dan Damar tidak akan melihatnya dan berharap kalau Elina tidak akan menyadari kehadirannya saat melihat mobilnya.
"Mau pesan apa?"
Elina pun memesan makanan apa yang inginkan begitu pun dengan Damar.
Tanpa bisa Elina cegah, matanya menatap jari manis Damar, terhenyak saat melihat Damar masih memakai cincin yang dulu ia sematkan di jari manis pria itu saat mereka bertunangan sebulan sebelum menikah.
Elina segera memalingkan wajahnya ke arah jendela, tak ingin Damar tahu kalau ia baru saja memperhatikan jari manis pria itu.
Dalam hati, tak henti-hentinya Elina bertanya. Untuk apa Damar masih memakai cincin itu di saat hubungan di antara mereka sudah lama berakhir?
Elina jelas tahu kalau cincin yang kini melingkari jari manis Damar adalah cincin yang dulu ia sematkan di jari manis pria itu karena desain cincin tersebut ia sendiri yang membuatnya dan di cincin tersebut terukir namanya dan juga nama Damar.
"B-bagaimana kabar kamu?"
"Seperti yang Mas lihat, aku baik-baik saja."
"Lalu bagaimana kabar Abhimanyu? Apa dia baik-baik saja?"
Elina terkejut bukan main, tak menyangka kalau Damar akan menanyakan bagaimana kabar Abhimanyu setelah sekian lama pria itu tidak menanyakan bagaimana kabar Abhomanyu.
"Aku pikir kamu lupa sama Abhimanyu Mas." Elina menanggapi dengan santai pertanyaan Damar, berbanding terbalik dengan Damar yang tampak semakin gugup.
"Abhimanyu baik-baik saja Mas, hari ini dia libur jadi ada di rumah sama Bapak dan Ibu." Jawaban yang baru saja Elina berikan tak ayal membuat perasaan Damar lega.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik saja." Damar meraih tas kerjanya, mengeluarkan sebuah kartu ATM lengkap dengan buku tabungannya pada Elina, membuat Elina bingung. "Ini untuk Abhimanyu." Belum sempat Elina bertanya, Damar sudah terlebih dahulu bersuara.
Elina menggeleng. "Enggak usah Mas, gaji aku yang sekarang sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan Abhimanyu."
"Kamu mau ya Mas masuk neraka karena Mas tidak memenuhi permintaan hakim saat kita bercerai dulu. Ini nafkah Hadhanah yang seharusnya sejak dulu Mas berikan pada Abhimanyu, maaf karena Mas baru memberikannya sekarang."
Elina diam, membuat Damar kembali di landa kegugupan. "Mas mohon Elina, hanya dengan ini Mas bisa menebus semua kesalahan yang sudah Mas lakukan sama kamu dan Abhimanyu dulu, tolong ambil," mohon Damar memelas.
"Baiklah, Elina akan simpan." Elina segera mengambil kartu ATM beserta buku tabungannya, lalu memasukannya ke dalam tas. Elina terpaksa mengambilnya karena ia tak ingin Damar kembali membahas kejadian di masa lalu, kejadian yang paling ingin ia lupakan.
Tak berselang lama, makanan yang Damar dan Elina pesan akhirnya tiba, keduanya pun mulai menikmati makan siang dalam diam sedangkan Arjuna yang berada dalam mobil hanya bisa menahan lapar tak ingin bergabung dengan Damar dan Elina.
Setelah makan siang selesai, Elina harus segera kembali ke kantor, takut telat dan jika sampai ia telat, maka bisa di pastikan kalau Arjuna akan memarahinya.
"Mau Mas antar?"
Dengan cepat Elina menggeleng. "Enggak usah Mas, aku bisa pulang sendiri," tolaknya secara halus.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya." Elina hanya mengangguk lalu pamit undur diri pada Damar.
Damar masih duduk di tempatnya, memainkan cincin yang melingkari jari manisnya.
"Damar." Damar melirik pada asal suara, terkejut saat tahu siapa orang yang baru saja memanggilnya.
"Bisa kita bicara?" Tanya Arjuna dengan raut wajah serius, kedua tangan Arjuna kini berada di masing-masing saku celananya.
Tanpa ragu Damar mengangguk, lalu mempersilahkan agar Arjuna duduk di hadapannya.
"Apa ada masalah dengan berkas-berkas yang tadi saya berikan?" Arjuna sontak menggeleng membuat Damar bingung. Lalu jika keduanya tidak membahas masalah kantor, masalah apa yang akan barusaha dengan wanita bayaran.
"Apa anda masih mecintai Elina?"
"Saya masih mencintainya dan saya berniat untuk kembali memperjuangkan Elina." Lebih baik Damar jujur, toh tidak akan ada gunanya juga ia berbohong. Sebagai sesama pria, Damar yakin kalau Arjuna menyadari perasannya pada Elina.
Kedua tangan Arjuna yang berada di meja bawah meja mengepa dengan sempurna begitu mendengar ungkapan peeasaan Damar. "Saya harap anda tidak lagi menemui wanita saya, karena saya sangat tidak menyukainya."
"Maafkan saya Pak Arjuna, saya tidak akan menjauhi Elina kalau bukan Elina sendiri yang meminta saya untuk menjauhinya, lagipula anda tidak punya hal untuk melarang saya mendekati Elina."
"Boleh saya memberi anda saran?" Damar diam dan diamnya Damar, Arjuna anggap sebagai 'iya'.
"Sebaiknya anda tidak lagi mendekati Elina dengan tujuan untuk kembali mengambil hati Elina atau mengharapkan cinta dari perempuan yang saya cintai, karena saat anda mengkhianatinya beberapa tahun silam lalu menceraikannya demi wanita selingkuhan anda, saat itu pula rasa cinta Elina pada anda hilang. Saya tidak akan melarang anda untuk berhubungan dengan Elina karena walau bagaimana pun anda adalah Ayah dari Abhimanyu, mau tak mau harus berhubungan demi kepentingan Abhimanyu. Elina wanita yang sangat pintar, jadi saya yakin kalau ia tidak akan memasuki lubang yang sama untuk kedua kalinya setelah ia tahu bagaimana sakitnya di khianati oleh pria yang dulu sangat ia cintai," ujar tegas Arjuna panjang lebar.
Damar masih bungkam. Arjuna melirik jam di pergelangan tangannya, lalu beranjak bangun dari duduknya seraya merapihkan penampilan. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Arjuna seraya sedikit menundukkan kepalannya dan tanpa menunggu jawaban Damar, Arjuna segera pergi dari hadapan Damar, meninggalkan Damar yang kini sedang diam termenung, memikirkan kalimat yang baru saja Arjuna katakan.
Apa yang Arjuna katakan memang benar, Elina tidak mungkin mau kembali padanya setelah apa yang ia lakukan pada wanita itu di masa lalu, tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan?
***