pertemuan pertama

1092 Words
Setelah membersihkan diri. Aku pun makan malam. Ketika hendak beristirahat kudengar pintu di ketuk. Dengan sigap bik Mut membukakan pintu. “Oma.” Suara seorang anak kecil. Berteriak dan berlari kearah ibu Rose. “ya sayang.” Jawab ibu Rose sembari turun dari tangga dan berlari menghampiri anak tersebut. Bocah kecil itu menghambur ke pelukan ibu Rose. “apa kabar cucu Oma?” tanya bu Rose seraya menciumi pipi cucunya. “Dave oke Oma.” “Kok Dave lama nggak main kerumah oma sih?” Ucapnya sambil berpura-pura merajuk. “Dady sibuk katanya oma. Dave bosan kalo harus ikut dady kerja”. Ucap bocah bernama Dave itu menatap tajam ayahnya. “kenapa kamu nggak taruh Dave disini saja. Kasihan dia jadi bosan. Lagian kalo Dave disini bisa jadi penghibur rasa sepi mama, Raja." Terlihat bu rose mengomeli seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan gagah itu. “Aku nggak mau repotin mama. Nanti mama nggak punya cukup waktu buat istirahat. Mama tahu sendiri bagaimana tingkah aktif Dave. Lagipula aku sedang mencari babysitter untuk Dave.” “Nah, kebetulan. Calon babysitter sudah datang. Dia keponakan dari Mut.” Bu Rose melihat ke arahku. Aku menjadi kikuk dengan pandangan tiba-tiba seperti itu. Dengan sedikit salah tingkah aku merutuki kelancanganku kenapa sedari tadi tidak masuk kedalam kamar. “Ah iya.” Jawabku menganggukkan kepala. Dave melihat kearahku. Bu Rose mengenalkan kami. Awalnya bocah itu menatapku seolah tidak suka. Tapi kemudian dia berjalan mendekat. Akhirnya aku menyapanya. “Hallo Dave. Apa kabar?” “seperti yang kamu lihat.” jawabnya. Ya Allah bocah kecil ini masih kecil tapi sudah terasa aura dinginnya. “Oke. Dave mau permen?” kukeluarkan permen dari saku gamisku. Dia menerima dengan semringah. Terlihat aura bahagia hanya dengan menerima permen dariku. “aku mencari yang berpengalaman Ma. Bukan seorang gadis kampung yang terlihat bodoh." Seketika seperti tertampar ketika mendengar kata-katanya yang begitu tajam. “Hei. Tapi lihatnya Dave terlihat menyukainya.” Tegas ibu Rose membelaku. “Dia bisa juga akan menyukai pilihanku” “Ya terserah. Tapi jangan kamu memaksakan kehendakmu. Biarkan dia di asuh oleh orang yang disukainya." “Hai jagoan mau main dengan kakak?” kucoba menebalkan muka walaupun hati perih mendengar ucapan ayahnya. Jika bukan karena ibu aku tidak akan menerima tawaran Bik Mut. “oke.” Jawab bocah itu singkat sambil menikmati lolipopnya. Aku mengajaknya duduk di ruang tengah rumah itu. Kugandeng tangan kecilnya dan melangkah bersama. “lihat kan? Biasanya Dave tidak semudah itu mau diajak main orang yang baru dia temui.” ibu Rose masih terdengar terus membelaku. “yah, aku kemari untuk bertemu papa.” Ucapnya mengganti topik. “papamu diruang kerjanya diatas.” Jawab bu Rose sambil berjalan ke arah kami. Beliaupun ikut duduk dan bermain bersama kami. Ku lihat pria itu pergi ke ruangan atas. Memang tampan. Tapi ucapannya menyakitkan. Tapi, sedari tadi tidak kulihat sepertinya ibu anak ini. “Maafkan ucapan Raja ya Mel. Sebenarnya dulu dia tidak seperti itu. Tapi karena kepergian istrinya setelah melahirkan Dave. Raja menjadi sosok yang dingin.” Terang ibu Rose “tidak masalah Bu.” Jawabku singkat. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Aku takut apa yang kutanyakan bisa mengorek luka dalam keluarga itu. “Semoga saja kamu bisa bekerja menjadi pengasuh Dave. Ibu tidak yakin dia bisa menyukai babysitter pilihan dady-nya. Davin anaknya pemilih. Dia tidak mudah akrab dengan siapa saja. Tapi ibu heran kenapa dia mau menyapamu. Walau sedikit cuek.” jelas ibu Rose tersenyum. “Semua saya serahkan sama Allah bu. Kalau masih rezeki saya. In shaa Allah saya bisa mendapatkan pekerjaan ini.” “Ternyata kamu bisa berpikir dewasa juga ya Mel.” Goda Bu Rose tersenyum. “Ibu bisa saja”. Jawabku tersipu. Setengah jam aku bermain dengan Dave. Saat kemudian ayahnya dan seorang pria paruh baya turun dari lantai atas. “Hei lagi asik main rupanya. Opa turun nggak direspon”. Katanya. Sepertinya beliau adalah tuan rumah ini. Sedari tadi aku tiba disini aku belum bertemu dengannya. Dave melirik sebentar kemudian kembali asik dengan permainannya. “Opa beneran di cuekin nih”. “hai Opa”. Ucapnya singkat. “Yah beginilah kalau sudah genetik”. Ucap bu Rose tertawa. Semakin memperlihatkan kecantikannya. “Hei boy, ayo pulang?” suara berat itu memanggil putranya. Dave pun meletakkan mainannya dan berdiri. “hei, kiss me.” kata bu Rose memanggil cucunya. Dave menghampiri omanya. Kemudian hendak berlalu. “Opa?” anak itupun berlari kearah opanya. “Bye oma” . Pamitnya kemudian. “Bye”. Jawab bu Rose melambaikan tangannya mengantar cucunya sampai diteras rumah. Setelah mobil itu melesat pergi Sepasang suami istri itupun masuk kedalam rumah. Pak Hardijaya berjalan menatap sekilas kemudian berlalu. ‘sepertinya para pria dalam keluarga ini irit bicara.’ pikirku. Setelah mereka masuk aku menutup pintu rumah. Kemudian masuk kedalam kamar bik Mut untuk beristirahat. Di dalam kamar aku belum langsung tidur. Teringat aku belum menghubungi ibu setelah tiba di sini. Kuambil gawai dari dalam tas. Kemudian mencari kontak dengan nama ibu. Panggilan bergetar menunggu jawaban dari seberang. “Assalamualaikum." Sapaan dari ibu. “wa alaikum salam." Jawabku. “Melati sudah sampai bu. Maaf baru mengabari." “Alhamdulillah. Nak. Kamu sudah makan?” “sudah bu. Ibu sendiri?” “sudah juga barusan dengan adikmu." “ibu masak apa? Melati rindu masakan ibu." “baru berapa jam nggak makan masakan ibu masa sudah rindu." Setelah mengobrol basa basi dengan ibu aku berpamitan mengakhiri panggilan itu. Ku letakkan hp di nakas. Sesaat kemudian bik Mut masuk ke kamar hendak tidur. “belum tidur Mel?” “sudah siap-siap bik.” “kemana?” tanyanya bingung. “ya tidur bik. Masa pulang.” “ya katanya tadi siap-siap”. Bik Mut berbaring di sebelahku. Kamar ini berukuran tiga kali tiga. Dengan ukuran tempat tidur ukuran Seratus empat puluh. Tapi cukup untuk tidur kami berdua. “Mel, kalau kamu diterima jadi pengasuh Tuan Dave kamu harus sabar juga menghadapi sikap dinginnya tuan Raja. Tuan Raja itu irit bicara. Tapi kalau nggak suka nada bicaranya menyakitkan.” “Aku sudah tau bik. Semoga saja betah. Kalau nggak diterima jadi pengasuh. Mungkin aku bakal tinggal di kos bareng Juwita. Dan coba cari kerja di luar.” “memangnya juwita mau kerja di kota juga?” “Juwita kuliah bik.” “oh. Hemm. Padahal dulu tuan Raja tidak seperti itu. Semenjak kepergian istrinya dia jadi tertutup”. Aku hanya diam tidak menanggapi. Tidak ingin tahu lebih jauh apa yang terjadi. Bagiku itu bukan urusanku. Tidak lama kemudian kami terlelap. Sama-sama mengarungi alam mimpi masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD