Sudah tiga hari ini aku tidak pergi ke butik. Rasa marahku pun sebenarnya sudah mulai mereda. Kulihat notifikasi di ponsel. Rama sudah tidak menghubungiku lagi. Sejujurnya, aku sedikit kecewa karena hanya sampai sejauh itu perjuangannya.
"Huh, baru tiga hari sudah menyerah...," kataku sebal, manyun-manyun sendiri seolah Rama bisa melihatku melakukannya. Kalau dipikir-pikir, aku memang terlalu munafik. Diuber-uber sebal, enggak diuber-uber nyariin.
Tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat nomor telepon "markas R&S" di layar. Senyumku mengembang. Nah, 'kan, dia mulai cari aku lagi sekarang!
"Pakai nomor markas lagi. Memangnya aku enggak tahu kalau itu kamu?" kataku pada diri sendiri sambil tersenyum-senyum sinis. Kusiapkan emosiku agar tak terlihat terlalu senang karena merindukan Rama. Aku angkat telepon dengan muka bete, sekalipun yang di seberang enggak akan melihat.
"Ngapain telepon pakai telpon markas? Ini kan urusan pribadi!" bentakku. "Asal kamu tahu ya, aku ngangkat telepon bukan berarti aku maafin kamu!"
"...."
Tak ada jawaban dari seberang. Hening seperti kuburan.
"Hei, ngomong dong!" bentakku lagi tak sabar karena Rama tak segera menyahut.
"Mbak Sinta, ma–maafkan saya. Saya salah apa ya, Mbak?" Suara wanita yang sangat kukenal menjawab dengan terbata-bata. "Kuota internet saya habis, Mbak. Enggak bisa telepon pakai WA. Jadi saya pakai telepon kantor. Maaf ya, Mbak!"
Mukaku memanas karena malu. Ternyata Kiki, pegawaiku, yang menelepon. Bukan Rama! Oh, Ya, Tuhan! Mau ditaruh mana muka ini?
Setelah membisu beberapa saat, Aku pun berdehem untuk menghilangkan rasa malu. Kuambil napas dalam-dalam, dan kuembuskan perlahan lewat mulut.
Setelah berhasil mengumpulkan kembali ketenangan, aku bertanya kepada asistenku, "Ada apa, Ki?"
"Bahan yang dipesan Mas Rama datang lebih cepat dari jadwal, Mbak. Harusnya dua hari lagi. Tapi hari ini Mas Rama enggak datang ke markas. Saya telepon juga enggak diangkat. Saya nggak bisa ngecek kualitas barang yang datang, Mbak!" jelas Kiki panjang lebar. "Takutnya ada yang salah gitu. Mbak Sinta bisa datang ke sini sekarang apa enggak? Kasihan kurirnya sudah nunggu dari tadi."
Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh lewat tujuh menit. "Oke, deh. Dua puluh menit lagi ya, Ki!" kataku pada Kiki. Kemudian aku segera menutup telepon dan memesan ojek online agar tak terjebak macet.
Sambil menunggu ojek online datang, aku segera merapikan diri dan mengganti kaus oblongku dengan kemeja baby pink dan celana jeans. Saat kulihat sudah ada panggilan dari nomor tak dikenal, yang pastinya nomor si abang ojek, segera kuikat ekor kuda rambutku dan kuaplikasikan lipstick senada dengan warna pakaianku.
Tanpa menunggu lebih lama, Aku pun segera berlari turun sambil mengangkat telepon untuk meminta Abang Ojek menunggu sebentar. "Tiga menit lagi, Bang! Otewe turun."
***
Setelah membereskan urusan dengan bahan yang dipesan Rama, aku berencana untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai selama absen. Namun, ternyata pekerjaan sudah beres semua. Hmmm ... syukurlah. Aku bisa bersantai.
Aku pun menyeruput nikmatnya kopi buatan Kiki, sambil duduk malas di sofa ruang rehat. Kubuka sosial media untuk memeriksa berita viral yang seringkali tak bermanfaat untuk kehidupan maupun ketebalan dompet.
"Mbak Sinta kenapa kok kemarin-kemarin bolos? Mas Rama kan jadinya lembur terus," kata Kiki tiba-tiba protes, memecah keheningan di ruangan. "Kasihan Mas Rama, Mbak." Kiki terus bicara sambil mengerucutkan bibirnya yang sudah cukup manyun walaupun tidak dimajukan.
Aku memandangi Kiki dengan sebal, lalu menjawab dengan cuek, "Biarin, Ki. Sekali-sekali lembur, 'kan, enggak apa-apa." Aku melirik Kiki sekilas. Mengecek apakah dia masih memasang muka cemberut atau tidak. "Laki-laki, 'kan, kuat. Buat apa punya body kekar kalau kerja lembur sekali saja enggak kuat?"
Kiki menghentikan pekerjaannya merapikan meja. Dia menoleh dengan memasang wajah lebih marah lagi dari sebelumnya, "Masalahnya, Mbak Sinta yang cantik jelita seperti bidadari turun dari ojek online ...," jelas Kiki memberi penekanan di setiap katanya, "tangan kiri Mas Rama kemarin itu diperban. Katanya habis digigit binatang buas! Mungkin anjing galak kali, Mbak!"
"Uhuk-hukh .... Hukh .... Hukh ...," aku tersedak oleh kopi yang sedang kuseruput. Sebagian kopinya tumpah di kemeja dan celanaku. Panas! Namun, perasaanku yang murni bagai bayi tak berdosa merasa lebih panas karena disamakan dengan anjing galak. Berani-beraninya!
Aku merasa telingaku mengeluarkan asap. Bahkan mungkin muncul tanduk di kepalaku. Namun, aku tidak memarahi Kiki karena itu akan membuatnya tahu bila ternyata akulah binatang buas yang bertanggung jawab atas luka di lengan Rama.
"Mbak ... Mbak Sinta enggak apa-apa?" tanya Kiki panik sambil membantu membersihkan kopi di celanaku.
Tisu putih yang ada di tangan Kiki kini tampak kecoklatan karena noda air kopi yang terserap. Aku pun mengambil beberapa lembar tisu dari kotak tisu yang isinya sudah hampir habis untuk membersihkan noda yang di baju. Wahai pecinta lingkungan, jangan hujat perbuatan kami yang tak ramah lingkungan! Masih banyak orang yang berbuat lebih buruk dari ini!
"Ki, kamu udah coba telepon rumah Rama?" tanyaku sambil terus mengelap bekas kopi di baju.
"Tadi pas Mbak Sinta jalan ke sini, Bu Ratih telepon. Katanya Mas Rama lagi sakit. Jadinya enggak bisa datang ke markas hari ini," jawab Kiki sambil membersihkan meja kembali.
"Sakit apa, Ki?" tanyaku mulai khawatir dan merasa bersalah. Jangan-jangan karena lembur?
"Lupa nanya, Mbak." Kiki tampak berpikir sambil mengerutkan kening dan memicingkan mata berkali-kali. Memaksa otaknya yang pas-pasan untuk mengingat sesuatu. "Jangan-jangan rabies, Mbak!"
"Hah?"
Aku pun membanting kotak tisu, keluar dari ruangan dengan marah, meninggalkan Kiki yang kebingungan seolah aku marah tanpa alasan. Bisa-bisanya Kiki mengatakan hal itu tanpa perasaan. Yah, walaupun dia tidak tahu hal yang sebenarnya, tapi aku benar-benar marah! Aku bukan hewan buas! Ugh!
***
Beberapa menit setelah keluar dari ruang rehat, tanpa sadar, aku sudah berada di dalam taksi menuju rumah Rama. Pikiranku diliputi banyak kekhawatiran. Walaupun aku tahu pasti bahwa penyakit Rama bukanlah rabies seperti yang diperkirakan Kiki, tapi bisa saja luka bekas gigitanku terkena infeksi.
"Sudah sampai, Kak!" kata sopir taksi membuyarkan lamunanku. Aku pun segera membayar dengan lembaran rupiah berwarna merah. Tanpa mempedulikan kembaliannya, aku segera keluar dari mobil tanpa mengucapkan terimakasih. Sudahlah, nanti aku akan memberikan bintang lima dan tip tambahan di aplikasi.
Aku berjalan melewati pos satpam dengan terburu-buru. Satpam di rumah Rama tentunya hanya menyalamiku sambil tersenyum karena sudah sangat kenal. Aku membalas senyuman mereka sekadar untuk kesopanan. Setengah berlari, aku menyusuri taman bunga cantik yang dirawat sendiri oleh Tante Ratih. Harum mawar, anggrek, dan bunga lain yang tak kuketahui namanya menyeruak ke hidung. Lembut dan menggoda. Bila saja aku tak sedang terburu-buru, sudah pasti aku mampir sejenak untuk mengagumi keelokan mereka.
Sesampai di depan pintu, aku mengetuk dengan tak sabar dan segera masuk saat tahu pintu tersebut tidak terkunci. Ingat, ini hanya berlaku untukku! Hanya aku yang boleh menyelonong masuk ke rumah ini karena sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Kuucapkan salam dengan suara keras, namun tak ada yang menyahut. Akhirnya, seperti biasa, aku memutuskan untuk langsung ke atas, ke kamar Rama. Kuketuk pintu kamarnya dengan lembut. Namun, lagi-lagi tak ada jawaban sehingga aku langsung menyerbu masuk ke kamarnya yang tak terkunci. Ingat lagi! Keistimewaan ini hanya untukku, yang sudah dianggap anak sendiri oleh Tante Ratih.
Di dalam kamar yang sangat rapi, bahkan lebih rapi dari kamarku, kudapati Rama yang tengah tidur pulas. Terlihat napasnya teratur, tampak dari gerakan naik-turun di dadanya.
Kudekati Rama dan kuraba keningnya. Panas! Telapak tanganku terasa terbakar, mungkin sekitar 38-39 derajat Celcius. Aku menelan ludah, tertegun melihat keadaannya yang lemah.
Kulihat tangan kirinya yang masih terdapat luka bekas gigitan beberapa hari yang lalu. Aku perhatikan baik-baik luka yang terbuka itu. Melihat bekasnya yang sangat jelas, sepertinya aku memang terlalu berlebihan saat melakukannya. Tiba-tiba saja aku memaklumi perkataan Kiki. Bila tak tahu siapa pelakunya, bisa jadi aku juga punya pendapat yang sama dengannya.
Tiba-tiba, sebuah kekhawatiran menyerangku. Bagaimana bila luka itu membekas seumur hidup? Ah, semoga saja tidak. Aku menggeleng pelan untuk meredakan rasa bersalah.
Hening. Hanya terdengar suara dengkuran lembut yang justru membuatku mengantuk dan ingin ikut tidur di sebelahnya. Melawan kantuk, aku melihat keadaan di sekitar, untuk melihat sesuatu yang kira-kira bisa aku lakukan untuk mengurangi demam Rama.
Kemudian, aku mengambil fever patch lama yang telah mengering di dahinya untuk diganti dengan yang baru. Kulepaskan pelan-pelan agar Rama tak terbangun. Namun, celakanya, ada rambutnya yang tertarik karena menempel di gel kering. Terkejut karena sedikit sakit, Rama pun terbangun. Matanya perlahan terbuka, skleranya yang seharusnya berwarna putih, tampak memerah. Dia menatapku lemah, kemudian tersenyum kecil ....
"Saking kangennya, sampai mimpi ketemu kamu, Sin," dia pun memejamkan mata lagi sambil terkikik pelan, mungkin menertawakan dirinya sendiri.
Aku pun melanjutkan melepas fever patch-nya dan mengambil fever patch baru di atas nakas kayu jati di samping tempat tidurnya. Kubuka bungkus kertas foil dan plastik pelindungnya. Tepat saat aku mendekat dan hendak menempelkannya ke kening Rama, tangannya tiba-tiba dengan cepat menarik wajahku ke arahnya dan ... oh ....
Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dihindari. Kurasakan bibirku yang kini melekat erat di bibirnya yang bersuhu tinggi. Kurasakan temperatur muka mulai naik karena napas panas dan berat mengembus ke wajah. Geli dan gatal yang ditimbulkan oleh sapuan cambang tipisnya, membuatku ingin menjauh, tapi tak bisa.
Rama melakukannya dengan penuh semangat, dalam keadaan masih tidur. Beberapa saat kemudian, aku merasakan rasa seperti besi di bibir. Bisa dipastikan saat ini bibirku berdarah. Dia menggigitku. Tak berhenti sampai di situ saja, kini Rama melakukan hal yang lebih jauh, yang membuatku kaku, tak bisa bergerak.
Seharusnya aku menolak. Seharusnya aku mendorongnya agar menjauh. Tapi entah mengapa badanku mengkhianati dengan berdiam diri tak melawan. Begitu juga bibirku yang mengizinkan Rama menginvasi seolah-olah milikku adalah miliknya juga.
Entah berapa lama hal ini berlangsung. Yang aku tahu, diriku tak lagi terdiam. Tanganku sudah mengalung, melingkari leher Rama agar tak terjengkang karena dorongannya. Seolah mengerti ketakutanku, tangan Rama pun menopang punggungku. Kami berdua terlarut dalam pagutan yang panas.
Ini kesalahan ....
Sungguh salah ....
Benar-benar salah ....