Aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan insiden dengan Liam. Terpaksa. Aku membutuhkan kerjasamanya untuk meneruskan sandiwara ini. Aku yakin, Liam pun tahu aku tak bisa berbuat apa pun. Bila tidak, tak mungkin dia melakukan hal gegabah seperti kemarin.
"Sinta, temani mama ngicipin makanan di katering Tante Dewi, ya!" ajak mama pagi itu saat kami sarapan. Sejak beberapa hari yang lalu, mama memang sibuk mengurus pernikahanku yang akan dilangsungkan tiga hari lagi. Menurutku, beliau tidak seharusnya repot-repot begitu. Bukankah sudah ada Event Organizer yang akan mengurus semuanya?
Lagi pula, aku sudah meminta kepada papa dan mama bahwa ini acara kecil yang akan dihadiri paling banyak seratus tamu. Aku juga mensyaratkan tidak boleh ada satu pun wartawan yang hadir. Kehadiran Erika saat lamaran mendadak beberapa hari lalu, sudah ingin membuatku menyeret dan menguncinya di toilet, bersama si centil Riska.
Apa mereka menuruti permintaanku? Tentu saja awalnya menolak dengan keras. Bagaimana mungkin anak satu-satunya dari orang terpandang seperti mereka akan melangsungkan pernikahan secara tertutup dan sederhana? Namun, ketika aku mengancam akan kabur dari pernikahan kalau papa dan mama tidak memenuhi persyaratan yang aku ajukan, mereka dengan mudahnya menurut.
"Nggak bisa, Ma. Sinta ada klien siang nanti," tolakku sambil mengoleskan pindakas dan selai blueberry ke beberapa lembar roti putih ... lebih tepatnya enam lembar.
"Sinta, makannya jangan terlalu ...," tutur mama ragu-ragu, "anu ... maksud mama, takut gaun pengantinnya nanti nggak cukup. Repot ntar. Soalnya, 'kan, gaunnya dibuat pakai ukuran badan kamu yang biasanya," tambah mama menjelaskan sedemikian rupa agar aku tak tersinggung karena dilarang makan banyak.
"Emangnya gaunnya sudah dipesan?" tanyaku. Padahal aku berencana membeli yang sudah jadi saja. Peduli amat sama desain yang pas atau tidak. Siapa suruh nikahan, kok, buru-buru?
"Rama enggak kasih tahu kamu? Dia bilang ke mama kalau bakal buatin gaun pengantin buat kamu," ungkap mama yang kontan saja membuat hati serasa tersayat, membuatku tak bernafsu lagi untuk makan. Jadi, itukah sebabnya Rama tidak ke markas berhari-hari?
Aku segera berdiri dan pergi tanpa berpamitan ke mama. Tak kuhiraukan omelan mama yang marah karena aku tidak sarapan. Takut aku sakit katanya? Huuhh ... baru beberapa menit lalu beliau memprotes karena aku hendak makan terlalu banyak. Begitulah wanita, sulit sekali dimengerti.
***
Setelah membereskan urusan pekan ini di markas, aku memberi semua to do list tiga hari ke depan ke Kiki dan Kak Ninda, staf baru yang diperbantukan sementara oleh Tante Larasati, karena di markas kurang tenaga. Kak Ninda adalah wanita yang cerdas dan tahu apa yang dia harus lakukan. Aku yakin, di masa depan dia akan mempunyai karir cemerlang di bidang fashion. Kehadiran Kak Ninda di tengah absennya Rama terasa seperti oase di padang pasir.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Kiki dan Kak Ninda sudah bersiap untuk pulang. Aku masih harus memastikan semua pekerjaan di markas sudah beres sebelum acara pernikahanku.
"Mbak Sinta nggak pulang dulu? Nanti Bu Marissa marah-marah lagi ke saya kalau Mbak Sinta enggak segera pulang," protes Kiki dengan suara prihatin. Akhir-akhir ini Kiki memang lebih lembut dan perhatian daripada biasanya. Dia tahu, ada sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi di antara kedua bosnya yang masih muda dan labil. "Mbak, 'kan, belum makan malam."
"Iya, Ki. Aku udah mau pulang, kok," ujarku menenangkan Kiki, "kamu duluan aja."
Kiki cukup menyebalkan kali ini. Dia menolak untuk pulang duluan dan memaksaku keluar markas bersama dengan dia dan Kak Ninda. Setelahnya, aku menawarkan untuk mentraktir mereka makan malam, kebetulan hari ini aku bawa mobil. Mereka mungkin merasa ini seperti pesta lajang yang maju beberapa hari, tapi bagiku ini hanyalah pengalih perhatian agar aku tidak tergoda untuk menemui Rama dan mencecarnya tentang gaun pengantin yang jelas-jelas dia paksakan untuk membuat.
Tentu saja usaha ini sukses untuk mencegahku menemui Rama. Namun, kesuksesan ini hanya berlangsung sementara sampai aku berpisah dengan mereka.
Sekeras apapun berusaha, tetap saja aku tak bisa melupakan tentang Rama dan gaun pengantin yang dia buat. Karena itulah, logikaku tidak memainkan perannya dengan baik, hingga saat ini perasaanku sudah berhasil membawa mobilku sampai di depan pos satpam yang dijaga oleh Mas Tono, di depan rumah Rama. Keringatnya bercucuran sambil terbata-bata mengucapkan salam kepadaku dan membukakan pintu gerbang.
"Ada orang di rumah nggak, Mas?" tanyaku biasa saja. Pura-pura tidak tahu kalau Mas Tono sudah memberitahu Tante Ratih perihal gelang emas dan semua yang terjadi malam itu. Bagaimana mungkin aku tega memarahinya. Gara-gara kejujuran Mas Tono, kemarahanku kepada Tante Ratih menguap tanpa sisa. Rumah ini beruntung sekali dijaga oleh satpam yang sangat jujur dan anti suap.
"Ada Mas Rama saja, Mbak! Tuan dan Nyonya besar belum pulang dari Singapura," jawabnya, "masih belanja mau beli kado dan perlengkapan musim dingin katanya. Mungkin besok baru pulang. Lha wong berangkat juga baru tadi sore ...," jelasnya dengan logat Jawa kentalnya, bernada akrab seperti biasa. Tak ada lagi ketakutan yang tersisa. Mungkin karena tahu kalau aku tidak marah kepadanya.
Aku pun memarkir mobil dan segera memasuki rumah karena tidak dikunci. Seperti biasa, aku segera ke atas, ke kamar Rama, dan jangan salahkan aku lagi karena aku masuk kamar tanpa permisi. Apa boleh buat, aku sangat terbiasa dengan kelakuan semacam maling di rumah ini.
Kamar luas yang biasanya rapi, terlihat sangat berantakan. Tak kudapati si pemilik kamar, hanya sebuah manekin tanpa kepala yang menampakkan sebuah gaun pengantin berwarna gading. Manekin yang dipesan khusus sesuai ukuran badanku, yang selalu dipakainya untuk membuat semua gaun.
Aku mendekat. Tadinya hanya untuk menyentuh gaun berbahan silk dan brocade yang terlihat elegan. Namun, entah bagaimana caranya, saat ini gaun itu bahkan sudah melekat di badanku. Plunging v-neck, menampakkan segaris kulit dari bagian tengah d**a atas sampai hampir menyentuh pusar. Potongan gaun yang ketat sampai ke paha terasa sangat pas di tubuhku. Bagian bawah yang mengembang dari betis hingga menutupi kaki serta ekor yang agak panjang membuat gaun ini terlihat tetap mewah walau dibuat dengan terburu-buru.
Aku menatap penampilan di cermin. Gaun ini melekat begitu sempurna di tubuhku bagaikan kulit kedua, begitu memancarkan pesona kecantikanku. Begitu nyaman dipakai seolah gaun ini hidup dan tahu dimana harus melebar dan menyempit tanpa menyakiti kulitku sedikit pun. Selayaknya pelukan seorang kekasih, gaun ini memuja sekaligus melindungi tubuh pemakainya. Hal ini membuatku sadar bahwa tidak akan ada desainer lain yang memahami detailnya selain Rama. Bahkan diriku sendiri juga tidak akan sanggup membuat gaun senyaman ini untuk kupakai sendiri.
Tak terasa air mataku menetes karena sadar telah menyia-nyiakan kehadiran desainer eksklusifku selama ini. Yah, sebentar lagi aku akan kehilangan dia. Apa aku akan benar-benar sanggup hidup tanpa Rama?
Ceklek!
Suara pintu kamar yang dibuka, membuyarkan lamunanku. Kulihat Rama masuk membawa secangkir kopi di tangan kanannya. Walau jelas di wajahnya yang terlihat kaget dengan kehadiranku, tetapi tak satu pun kata meluncur dari bibirnya. Hanya matanya yang beradu beberapa saat dengan mataku.
Keterkejutan yang tampak di matanya, perlahan berganti dengan tatapan penuh kekaguman. Sebagaimana Rama yang biasanya. Rama yang terkesima dengan penampilanku yang sempurna dalam balutan gaun yang dirancangnya.
Seharusnya, saat ini yang terpancar di wajahku adalah senyum kepuasan. Memamerkan betapa cantik dan memukaunya penampilanku. Tapi, apa hendak dikata? Saat ini yang ada padaku hanyalah air mata dan kesedihan karena ini adalah gaun terakhir yang Rama buat untukku.
***
Note:
Hi, Pembaca!
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini.
Jangan lupa tap love, komentar, dan tunggu terus kelanjutannya, ya!
Semoga kalian suka dan baca terus kelanjutannya. Terima kasih!
Inget, tap love biar nggak hilang.
Love you all!