05
Dua minggu telah berlalu, aku dan Arman semakin kuyu dan lesu. Selain beban pekerjaan yang berat, kami pun dihadapkan pada kenyataan bahwa usaha kami untuk mencari informasi tentang kasus penyelundupan, sepertinya akan semakin lama terkuak.
Aku sudah mencoba menggali informasi kepada beberapa karyawan senior, tetapi sepertinya mereka takut untuk terlalu banyak berkoar-koar. Sebab orang-orang yang dulu sempat menghebohkan kasus tersebut akhirnya dipecat tanpa pesangon.
Akan tetapi, sepertinya hari ini kami bisa kembali memupuk harapan untuk menyelesaikan tugas, karena kunjungan Iis dan Rahma yang tidak disangka-sangka mampir ke mess.
"Akang, Iis dengar kalau Akang lagi cari-cari info tentang kasus penyelundupan," ujar gadis berambut panjang itu, sesaat setelah mendudukkan diri di lantai, bersebelahan dengan Rahma.
"Ehm, iya. Kok Iis tahu?" tanyaku. Desir aneh tiap berdekatan dengan gadis itu kembali terasa dan membuatku agak gugup.
"Nih, Rahma katanya diceritain sama teman-teman bagian QC." Iis menunjuk sahabatnya yang sejak tadi hanya menunduk. "Akang, Iis boleh tau nggak alasan Akang sama Aa' Arman jadi nanya-nanya gitu? Penasaran," lanjutnya sambil menatap wajahku dan Arman bergantian.
Aku beradu pandang dengan Arman, menimbang-nimbang apakah hendak menceritakan sedikit tentang kami. Mungkin Iis bisa membantu karena dia sudah dua tahun bekerja di pabrik dan mungkin punya informasi yang kami butuhkan.
"Aku pengen cerita sedikit, tapi tolong dirahasiakan dari semua orang, ya," pintaku.
"Termasuk dari Ayah?" sela Iis.
Aku tertegun sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Ayah nanti aku yang kasih tau, tunggu saat yang tepat. Sekarang diam dulu, Is. Jangan disela!"
Gadis itu mengangguk mengiakan, sementara Rahma masih belum menengadah sedikit pun. Aku sedikit curiga dengan tingkah Arman yang sejak tadi melirik Rahma.
"Oke, jadi gini. Aku dan Arman adalah ... anak dari asisten direktur di kantor pusat. Kami diminta bantuan ayah masing-masing untuk menyelidiki kasus itu," jelasku dengan sedikit menutupi fakta yang sebenarnya.
"Kenapa harus kami yang turun? Karena kalau karyawan kantor pusat mungkin identitas bisa bocor," pungkas Arman.
"Ahh! Sekarang Iis paham. Pantesan Akang sama Aa' suka wara wiri tiap departemen," imbuh Iis seraya tersenyum. "Tapi, Kang, A', kalau boleh jujur nih, menurut Iis, mending jangan terlalu menonjol," lanjutnya.
"Gitu ya, Is? Terus kami harus gimana?" timpal Arman.
"Ehm ... gini aja. Akang sama Aa' stop dulu nanya-nanya ke karyawan lain. Takutnya pelaku curiga dan bisa-bisa kalian berdua dipecat," sahut Iis. "Nanti Iis coba gali informasi dari data stok barang selama dua tahun terakhir," sambungnya.
"Aku juga mau bantu. Mungkin bisa iseng nanya-nanya ke yang senior," sela Rahma sembari menengadah sebentar, kemudian kembali menunduk. Seakan-akan lantai dengan keramik terbelah itu jauh lebih menarik daripada kami.
"Oke deh, sebelumnya makasih, ya," ucapku tulus.
"Sami-sami, Kang. Lain kali jangan rahasia-rahasiaan. Omongin aja terus terang," sahut Iis yang mendapatkan anggukan persetujuan dari Rahma.
"Tapi apa nggak bahaya nih kalau kalian ikut campur?" Aku khawatir mereka kena imbasnya.
"Tenang, Kang. Iis bisa ngatasin," sahut gadis itu.
"Akang nggak tahu?" tanya Rahma sambil mendongak.
"Tahu apa?" tanyaku dan Arman nyaris bersamaan.
"Iis ini jagoan silat. Ayahnya kan jawara," jelas gadis berlesung pipi tersebut yang membuatku makin kagum pada Iis yang sekarang tengah cengengesan.
***
Pagi itu setibanya kami di pabrik, suasana di bagian gudang sudah aneh. Beberapa rekan kerja saling sikut menyikut sambil memandangi aku dan Arman. Tentu saja hal itu membuat kami bingung.
Menjelang siang kami dipanggil Teh Marni ke ruangannya yang berada di lantai dua. Dengan hati berdebar, aku menaiki undakan tangga. Berharap tidak dipecat karena akan sulit untuk mendapatkan informasi bila tidak bekerja di sini.
"Duduk!" titah perempuan berusia tiga puluhan itu sembari memandangi aku dan Arman dengan tajam.
Aku menempati kursi di sebelah kanan, Arman duduk di kursi sebelah kiri. Sesaat kami saling melirik. Sama-sama bingung dan deg-degan. Sumpah demi Tuhan, baru kali ini aku merasa kerdil dan tidak berdaya.
Sikap intimidasi Teh Marni membuatku sadar, mungkin inilah yang dirasakan oleh orang-orang lain yang menjadi karyawan biasa. Takut, cemas, khawatir bila berhadapan dengan pimpinan.
"Saya mendengar desas desus tentang kalian," ucap Teh Marni memulai percakapan. "Sebenarnya, kalian ini siapa sih? Karena saya mendapat perintah langsung dari pak Fahri untuk menjaga dan membantu kalian," lanjutnya.
Arman menyiku lenganku, mungkin dia ingin aku yang membongkar identitas kami. Aku berpikir keras mencari kata-kata yang tidak terlalu membuka tabir kejelasan status. Akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan hal yang sama dengan yang kemarin diinfokan pada Iis dan Rahma.
"Ehm, maaf, Teh. Tapi ini off the record aja, ya. Kami anak asisten direktur di kantor pusat," ungkapku.
"Pak Wisnu?" tanya Teh Marni.
"Itu ayahku, Teh," timpal Arman. "Kalau Fairel anaknya pak Farhan," sambungnya.
Aku mengangguk mengiakan ucapan Arman. Dalam hati berjanji untuk memberitahukan hal ini pada mas Fahri dan kak Eza, agar mereka bisa satu suara dan tidak salah bicara.
"Oh, gitu. Terus, kalian ke sini ngapain?" Perempuan bergincu merah menyala itu kembali bertanya.
"Kami diperintahkan ayah masing-masing untuk menyelidiki kasus penyelundupan yang terjadi belakangan ini, Teh," sahutku.
"Hmm ...." Perempuan itu memandangi kami dengan lekat. Aku sesaat ngeri bila dia ingin menerkam. "Harusnya kalian jujur sejak awal. Saya nggak bakal bentak-bentak," imbuhnya seraya menyunggingkan senyuman lebar yang membuatku merinding.
"Tapi kalau Teteh baik-baik sama kami, apa yang lain nggak akan curiga?" sela Arman.
Dalam hati aku memujinya, yang makin lama makin cerdas. Kalau dulu sih, ya ... begitulah.
"Betul itu, Teh. Kalau Teteh nggak galak, yang lain bakal bertanya-tanya," timpalku.
"Ehm, oke deh. Jadi teteh tetap galak aja, ya." Perempuan itu memutar tubuh dan
mengambil map hijau dari atas rak yang berada di belakang kursinya. "Ini, mungkin bisa bermanfaat," ujarnya sambil memberikan benda itu pada Arman.
"Apa ini, Teh?" Arman mengecek isi map sembari menyipitkan mata.
"Data-data barang di gudang selama enam bulan terakhir. Teteh cuma bisa bantu itu sama nyembunyiin status kalian. Nggak bisa bertindak lebih jauh, karena ... karir teteh taruhannya."
"Iya, Teh. Makasih banyak bantuannya," pungkasku.
"Satu lagi, stop nanya-nanya. Takutnya para pelaku bakal ngintai dan akan cari-cari kesalahan kalian. Kalau udah gitu, teteh bakal sulit ngebantuin."
"Siap, Teh." Aku dan Arman menjawab nyaris bersamaan.
"Oke, sekarang kalian boleh kembali ke tempat kerja. Ingat, kerja yang rajin. Jangan malas-malasan dan banyak ngeluh." Marni berdiri dan menyalami kami. "Satu lagi, teteh tunggu salah satu dari kalian malam minggu nanti."
Mati!