Playboy Curaling

1016 Words
07 Kehadiran keempat pria berpenampilan sangar itu membuatku merasa tidak nyaman. Terutama saat mereka menduduki meja di sebelah kanan kami dan tak henti-hentinya melirik para gadis. Aku yang tidak suka dengan tatapan dan senyuman m***m mereka pun segera mengajak teman-teman segera menghabiskan makanan dan pergi dari tempat itu. Seusai mengantarkan Teh Marni ke rumahnya, aku dan Arman mengantarkan kedua gadis ke kediaman masing-masing. Tentu saja aku memilih untuk mengantarkan Isna, karena memang hendak mengorek keterangan dari gadis itu serta ayahnya tentang sosok Nanang. Aku menghentikan kendaraan tepat di depan toko milik Haji Iwan. Sementara kedua motor yang dikendarai oleh Arman dan Rahma terus melaju menuju kediaman orang tua Rahma, yang berada tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Isna. "Mampir dulu, Kang," tawar Isna, sesaat setelah dia turun dari motor kesayanganku. "Iya, ehm, ayahmu ada nggak?" tanyaku sambil memasang standar dan mengunci setang motor. Kemudian membuka helm dan meletakkan benda bulat itu ke dekat spion. "Kayaknya ada, bentar, kupanggilin dulu. Akang tunggu di situ." Isna menunjuk ke bale-bale yang berada di sebelah kanan bangunan, berhadapan dengan tempat parkir. Aku menuruti saran Isna. Melenggang menuju bale-bale dan mendudukkan diri dengan tenang. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai di malam panjang ini. Tak berselang lama, Isna kembali hadir bersama dengan ayahnya. Haji Iwan menyalamiku sebelum ikut duduk di sebelah kiri, sementara Isna duduk di belakang sang ayah. Tanpa banyak basa-basi, aku langsung mengutarakan maksud kunjungan ke tempat ini. Pak Iwan mendengarkan dengan saksama, dan sekali-sekali manggut-manggut. "Sebetulnya gosip tentang kegiatan ilegal di pabrik Sentosa itu udah lama, Akang Fai. Kira-kira setahunanlah saya dengar selentingan kabar itu. Tapi karena tidak ada cukup bukti, jadi akhirnya gosip itu mereda dengan sendirinya," ungkap Pak Iwan sembari memandangiku dengan lekat. "Iya, Pak. Saya juga masih meraba-raba arah kasus ini, karena ... ehm, orang-orang yang pernah hendak membongkar kasus itu langsung diberhentikan dari jabatan masing-masing," sahutku. "Betul, salah satunya adalah Husni, anak teman saya. Neng, masih ingat kan sama Husni?" Pak Iwan mengalihkan pandangan pada sang putri yang membalas dengan anggukan. "Kalau boleh tau, Husni tinggal jauh dari sini nggak?" tanyaku. "Lumayan, di kampung sebelah," timpal Isna. "Kalau Akang mau, besok kuantar," imbuhnya. "Boleh. Ehh, boleh kan, Pak?" Aku memandangi wajah pria paruh baya tersebut yang menatapku dan Isna secara bergantian, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui permintaanku. "Tapi harus pulang sebelum Asar. Ingat, Neng, kita mau ke rumah pak lurah, acara syukuran wisudanya Heru." Pak Iwan mengingatkan Isna yang sesaat tampak tertegun, tetapi kemudian tersenyum sambil mengangguk. "Heru itu siapa?" Aku benar-benar penasaran, karena tadi Rahma beberapa kali menyebut nama pria tersebut. "Heru itu anaknya pak Lurah," jelas Pak Iwan. "Dan calonnya Isna," lanjutnya yang membuatku seketika membeku. *** Ucapan pak Iwan tadi masih terngiang-ngiang di telinga. Hingga tengah malam pun aku masih belum bisa memejamkan mata dan gelisah tak tentu arah. Detik demi detik menunggu mata mengantuk akhirnya membuatku lelah dan memutuskan untuk bangkit. Duduk sambil menekuk kaki ke atas dan menumpangkan tangan di lutut. Tatapan menerawang memandangi dinding kamar yang catnya sudah mengelupas. Beberapa kali aku menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan cepat. Berharap hal tersebut bisa menenangkan hati yang gundah gulana. Aku sama sekali tidak menyangka bila Isna telah memiliki calon pasangan hidup yang dipilihkan oleh orang tuanya sejak lama. Hubungan persahabatan antara ibunya Isna dengan ibunya Heru sejak mereka masih remaja, rupanya membuat kedua perempuan tersebut kompak menjodohkan putra dan putri mereka. Aku tidak tahu perasaan apa yang dimiliki oleh Isna terhadap pria tersebut. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa Isna juga menyukaiku, sama seperti aku yang menyukai perempuan tersebut sejak saat perempuan kali bertemu. Aku meraup wajah dengan gerakan kasar, lalu meremas-remas rambut yang memanjang. Merasa sangat bodoh karena telah jatuh hati sebelum memastikan bahwa Isna masih sendiri. Tanpa sadar aku melirik ke benda persegi empat di atas meja. Kala melihat jarum jam belum menyentuh angka dua belas, dengan gerakan cepat aku meraih ponsel yang tergeletak di lantai samping kasur, mengusap layar datar benda itu dan menelepon seseorang yang selalu menjadi tempat curahan hatiku sejak lama. "Assalamualaikum, Fai. Ngapain nelepon malam-malam?" tanya pria di seberang telepon tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. "Waalaikumsalam, Kak. Ehm, aku cuma pengen ngobrol," jawabku seraya mengulum senyum, membayangkan saat ini Kak Eza pasti tengah bersungut-sungut karena diganggu. "Ngobrol? Heh, Curaling! Jam segini ngajak ngobrol? Kagak salah?" Tawaku langsung meledak mendengar gerutuannya yang memang sering berkata spontan tanpa disaring. "Malah ketawa! Udah, buruan mau curhat apa. Kakak ngantuk nih!" "Ngantuk atau mau ngerjain teteh?" selorohku di sela-sela tawa. "Dasar vangke!" Tawaku mengencang, demikian pula dengan Kak Eza. Hal inilah yang membuatku selalu nyaman berbincang dengannya. Pembawaannya yang cuma tenang di permukaan tetapi aslinya usil itu sangat klop denganku. "Gini, Kak, tentang kasus itu," ungkapku, sesaat setelah lelah tertawa. Selama berbelas menit kemudian kami berbincang dengan seru. Sekali-sekali terdengar suara Teh Ruby yang mengomeli Kak Eza karena berisik dan mengganggu tidurnya. Aku akan mengompori kakak ipar keduaku itu yang membalas dengan omelan panjang, karena akulah penyebab dirinya terpaksa bangun. Sesaat setelah menutup sambungan telepon, aku masih tersenyum-senyum sambil memegangi ponsel. Rasa rindu berkumpul dengan keluarga sedikit terobati. Dibandingkan dengan Mas Fahri, aku memang lebih dekat dengan Kak Eza. Terutama karena sejak dulu dialah yang menjadi teman main sekaligus teman berantem. Mas Fahri yang lebih tua sepuluh tahun dariku, sudah memiliki kehidupan sendiri saat aku masih kecil. Sedangkan Kak Eza yang usianya lebih tua lima tahun dariku, otomatis menjadi orang yang tumbuh kembang bersama. Akan tetapi, kami bertiga tetap akrab, demikian pula dengan Early. Tiba-tiba saja aku merasakan rindu yang teramat sangat dengan perempuan muda yang cerewet itu, dan berniat untuk mengganggunya. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera menelepon adik satu-satunya itu dan nyaris bersorak ketika dia mengangkat video call dengan mata mengantuk dan rambut acak-acakan, khas orang baru bangun tidur. "Aa', nanaonan sih nelepon jam segini?" semburnya sembari mengerucutkan bibir. "Kangen," jawabku jujur. "Dih!" "Kok dih?" "Curiga ada maunya." "Nggak ada, Cerewet. Aa' emang beneran kangen." "Kok aku jadi merinding, ya?" "Napa?" "Apa Aa' di sana berubah jadi jurig?" "Mana ada jurig ganteng gini!" "Beuh!" "Naon?" "Kumat narsisnya." "Tapi bener kan itu, Ly." "Iya, Aa' ganteng sih. Tapi genit. Playboy cap gajah tengkurap!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD