Yasna menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman. Entah kenapa ia jadi sering memikirkan soal Razan padahal mereka baru saja bertemu. Pertemuan singkat mereka yang mungkin akan membuat banyak perubahan untuk keduanya.
Gadis berambut kecokelatan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Hanya karena ia tidak pernah dekat dengan pria manapun sebelumnya, maksudnya dekat dalam arti dan hubungan yang khusus... ia jadi merasa sangat gugup dan terkesan berlebihan dengan Razan. Meski secara pribadi pria itu seakan telah mengikatnya, tetap saja mereka belum resmi. Rasanya terlalu berlebihan jika ia terus memikirkan wajah Razan, seakan ia sangat berharap dengan hubungan mereka ini.
Yasna pun duduk di ranjang mungilnya yang berada di dalam sebuah kamar kos berukuran lima kali lima meter itu. Memang kamar kos ini cukup luas dan nyaman, lingkungannya pun menyenangkan apalagi ini kos khusus putri. Ditambah sang pemilik kos tinggal di lantai satunya, jadi bisa dipastikan kos ini akan aman. Tamu kos pun jika laki-laki hanya diijinkan masuk sampai ruang tamu saja kecuali jika tamunya wanita baru bisa masuk ke dalam kamar. Ya, meski Yasna belum berhijab tapi ia sangat menjaga dirinya dan memilih tempat tinggal yang aman meski jauh dari kedua orangtuanya.
"Udah deh mending makan indomie rebus pake telor sama sawi deh. Daritadi malah kepikiran Razan terus. Kok jadi aku yang kayak ngebucin sih cuma gara-gara dikasih cincin." Bibir Yasna mencebik dan beranjak dari ranjangnya menuju dapur mungil yang terletak di depan pintu kamar mandi.
Gadis itu membuat kamarnya sebersih dan senyaman mungkin. Dapur pun selalu ia bersihkan karena sejak dulu ia memang seorang gadis yang cinta akan kebersihan. Ibunya selalu mengatakan jika mau melihat sifat seorang gadis maka lihatlah bagaimana dia menata kamarnya atau caranya memasak. Maka ibunya selalu menerapkan dirinya agar selalu rapih dan bersih.
Tak lama aroma mie rebus rasa soto kesukaannya pun tercium, Yasna langsung menikmatinya di kursi yang menghadap ke jendela kamarnya, jendela yang memperlihatkan bangunan-bangunan tinggi di sekitar wilayah kosannya. Karena letak kos-kosan ini memang di pusat kota dan dekat jika mau kemana-mana. Ia pun setiap hari ke rumah sakit tempatnya bekerja dengan berjalan kaki atau naik ojek jika sedang malas.
Yasna mendesah pelan menatap mangkuk soto yang asapnya mengepul itu. "Mie rebus yang menggoda ini aja masih tetep keinget Razan." Ia menggelengkan kepalanya dengan frustasi.
..................
Keesokan harinya Yasna bangun dengan semangat yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Semalam ia sempat menerima telepon dari ibunya yang menanyakan soal kelanjutan hubungannya dengan Razan. Padahal ibunya pasti jauh lebih tahu dari tante Yastri, tapi ya namanya seorang ibu pasti ingin menanyakan pada anaknya langsung. Razan pun sekitar jam sepuluh malam mengirim pesan jika dia sudah sampai di asrama. Itu artinya mereka tidak akan bisa bertemu sampai minggu depan. Tapi Yasna merasa tenang dan dihargai ketika pria itu memberinya kabar tanpa diminta.
Sepertinya Razan sangat tahu menjalin hubungan yang baik dengan seorang wanita, karena kunci dari hubungan yang baik dan awet dilihat dari komunikasi antar pasangan. Eh, pasangan? Mendadak wajah Yasna memerah membayangkannya.
Yasna pun segera bersiap dan berangkat kerja. Jam kerjanya memang seperti di kantor, masuk jam delapan dan pulang jam empat sore. Tapi bedanya di hari sabtu ia akan masuk sampai jam satu siang saja karena ia mengurus beberapa surat pemesanan barang yang dibutuhkan oleh rumah sakit dan biasanya di hari sabtu akan masuk beberapa pesanan urgent.
Kali ini gadis itu mengenakan celana bahan berwarna hitam dan kemeja flanel berwarna biru muda motif kotak-kotak dengan model lengan panjang yang ia lipat sampai ke siku. Tak lupa rambutnya ia biarkan tergerai dan dijepit di bagian belakangnya sedikit agar terkesan rapih. Ia pun mengambil flatshoes berwarna hitam dari rak sepatu di depan kamarnya dan segera berangkat.
"Berangkat kerja, nduk?" tanya ibu Wati, pemilik kos yang biasanya di pagi hari akan sibuk dengan berbagai tanaman hias yang sedang booming itu.
"Iya, bu. Pamit ya. Assalamualaikum," jawab Yasna dengan sopan.
"Iya hati-hati, waalaikumsalam."
Hampir dua tahun tinggal di tempat kos ini, pemilik kos itu selalu bersikap ramah dengan Yasna padahal wajahnya terkesan agak sangar dan cuek. Tapi memang sudah menjadi kebiasaan Yasna untuk menyapa orang lebih dulu, jadi sekarang bu Wati jadi ramah juga padanya. Ya memang, jika memang ingin orang berbuat baik pada kita maka lebih dulu kita harus berbuat baik pada mereka.
Begitu sampai di dalam ruangan yang terdiri dari beberapa staff itu, Yasna merasa seakan banyak mata yang memperhatikannya, sama seperti waktu Razan menunggunya kemarin. Seketika gadis itu menelan ludahnya sendiri, apa mungkin berita soal dirinya sudah menyebar luas? Mengingat dokter Farhan juga adalah dokter yang supel dan terkesan banyak cerita ke semua orang di rumah sakit ini.
Dokter Farhan kan terkenal ramah dan supel, juga sering memberi nasehat ke para staff lainnya, apalagi dia termasuk dokter senior di sini. Tapi jangan salah, gitu-gitu dokter Farhan suka 'bocor'. Jadi kadang emang harus hati-hati kalo cerita ke dokter Farhan, bisa-bisa malah jadi bahan ledekan beliau. Memang dokter Farhan itu jahil.
"Cieee yang dijodohin sama dokter Razan. Mana masih muda, ganteng, calon dokter spesialis anak lagi. Calon suamiable banget ya, Yas." Sebuah suara yang agak cempreng dan sangat Yasna tahu siapa pemiliknya itu terdengar.
Nah kan bener udah nyebar. Yasna menghela nafas panjang sembari meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di kursinya yang mendadak tak terasa nyaman itu.
Anita, gadis bersuara cempreng padahal umurnya tiga tahun lebih tua dari Yasna. Entah memang suaranya begitu atau dibuat-buat cempreng. Padahal kalo dia lagi nerima telepon suaranya halus sekali. "Jadi, gimana? Wih! Udah pake cincin!" sahutnya lagi yang tentu saja menarik perhatian staff lainnya.
"Apa sih, Nit? Jangan gosip mulu deh." Yasna berusaha tidak terpancing dan tidak mau terbawa suasana untuk menceritakan kebahagiaannya yang masih seujung kuku ini. Kalo dipamerin sekarang terus malah nggak jadi kan malu nanti.
"Yeeee. Dokter Farhan sendiri kok yang bilang." Anita mencebik dan bersandar di bilik milik Yasna.
Kan ketahuan siapa pelakunya, ternyata bukan tembok yang bicara. Udah suudzon aja sama tembok nih.
"Lagian udah ada cincin gitu. Fix kita iriiii," ucap Anita dengan wajah yang didramatisir. Ia memang belum menikah meski umurnya sudah menginjak dua puluh enam tahun. Kabarnya sih ia agak pemilih soal pasangan dan punya kriteria khusus. "Kalo aku jadi kamu sih udah aku ajak dokter Razan nikah minggu depan. Nggak pake nunggu lama."
"Udah deh gangguin Yasna aja kamu tuh. Nggak lihat wajah Yasna udah mateng gitu," sahut Ratna, salah satu gadis kalem yang sudah memiliki satu balita itu. Dia yang paling dituakan di sini karena kedewasaannya meski umurnya masih dua puluh lima tahun. "Lagian jodohnya Yasna berarti bagus, Yasna juga cantik dan berpendidikan. Pintar pula, cocok dapetnya dokter Razan."
"Terus aku cocoknya sama siapa dong, Rat?" tanya Anita sambil melipat kedua tangannya di depan d**a dan menatap lurus ke arah wanita berambut pendek yang duduk di dekat jendela itu.
Ratna tampak asik mengunyah sandwich buatannya sendiri karena tidak sempat sarapan di rumah. Ia pun melirik Anita sekilas, "seperti Rendi mungkin," ucapnya sambil menahan tawa.
"Ogah! Perawat m***m gitu. Doyannya komenin ukuran bra orang." Anita tampak berdecak kesal mendengar nama pria menyebalkan itu disebut.
"Loh, kamu doang ya yang dikomenin. Kita-kita kan enggak. Ya kan, Yas?"
Yasna hanya mengangguk kecil.
"Tahu ah! Males ngomongin orang kayak Rendi. Amit-amit." Anita malah kembali ke biliknya yang berada di samping bilik Yasna.
Ratna dan Yasna hanya geleng-geleng kepala melihat partner kerjanya itu. Memang kelihatannya Rendi menyukai Anita, hanya caranya yang unik. Apalagi Anita suka sekali mengenakan blazer ketat di tubuhnya tidak seperti Ratna ataupun Yasna yang sering mengenakan blouse atau kemeja yang lebih longgar jadi tidak memperlihatkan lekuk tubuh mereka.
Yasna pun menatap ponselnya yang beberapa menit lalu bergetar lalu mengambilnya dan melihat pesan yang baru masuk.
Good morning. Happy nice day, Yasna :)
Satu pesan dari Razan mampu membuat kedua sudut bibir Yasna tersenyum sempurna. Jadi begini rasanya diberikan ucapan selamat pagi oleh calon suami, ehhhh?