3. Titik Lemahku

866 Words
Part 3 Jangan pernah mengecewakan orang yang menyayangi kamu, karena suatu hari nanti, bisa jadi kamu yang di kecewakan orang lain. *** "Hei, wanita kampung! Apa kau tidak tahu salahmu itu apa? Kau itu tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Ramdan! Lelaki mana yang tahan hidup berumah tangga tanpa kehadiran anak!" Deg! Hatiku terasa pilu. Ia langsung menghujam titik lemahku. Ya, benar. Sudah 10 tahun lebih bersama Mas Ramdan, aku tak kunjung hamil. Aku belum bisa memberikannya keturunan. Kehadiran seorang anak yang teramat kurindukan. Tentu, aku sudah cek perihal kesuburanku, hasilnya tak ada masalah. Bahkan minum jamu pun kulakoni sesuai arahan beberapa tetangga yang sudah berpengalaman. Tapi nihil, apa mau dikata, takdir belum bisa membawaku jadi wanita seutuhnya. "Sudah paham sekarang, wanita kampung?!" "Alyaaa, cukupp!! Masuk ke dalam!" bentak Mas Ramdan. Kulihat wanita itu bersungut kesal seraya menghentakkan kakinya ke dalam. Aku masih mematung memperhatikan mereka berdua. Bukan, aku lebih shock dengan perkataan Alya barusan. Gersang di hati, sudah kurasakan. Apalagi terkadang, aku selalu mendapat sindiran dari tetangga yang terlalu ikut campur. Sebutan bahwa aku mandul begitu melekat pada diri ini, tapi aku tetap bertahan selagi Mas Ramdan tak mempermasalahkan hal itu. "Tidak apa-apa, Risna, Mas menerimamu apa adanya. Mas akan selalu mencintaimu, meskipun kita tak punya anak, mas akan selalu sayang. Belum waktunya saja, pasti kalau nanti dikasih, amanah itu akan dipercayakan pada kita." Terngiang kembali ucapan Mas Ramdan yang begitu bijak bila aku merasa risau. Ya, dulu dia sebaik dan selembut itu. Tapi kini akhirnya aku tahu, ucapan hanya tinggal ucapan, semua janji manismu menguap begitu saja. Palsu. Janji hanya tinggal janji, begitu entengnya kau ingkari. "Risna, mas minta maaf atas ucapan Alya barusan. Dia tidak bermaksud untuk menyudutkanmu." Tetiba Mas Ramdan merogoh saku celananya, membuka dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ris, kamu pulanglah dulu. Kau kesini naik kereta 'kan? Ini ada ongkos dan uang peganganmu. Kasihan ibu kalau ditinggal terlalu lama. Ibu pasti membutuhkanmu, Ris. Tolong rahasiakan masalah ini dari ibu ya. Jangan sampai ibu tahu, mas takut kesehatan ibu makin ngedrop." Cih! Ternyata aku hanya dijadikan perawat ibumu? Licik sekali kamu, Mas! Mas Ramdan menyodorkan uang, mungkin jumlahnya ada dua juta. Aku menatapnya tajam, tapi ekspresi Mas Ramdan sungguh menyebalkan. "Ayo terima ini, Ris. Kalau lebih kan bisa buat nebus obatnya ibu. Maaf ya, mulai bulan depan Mas akan mengurangi jatah bulananmu." Kuambil uang itu dari tangannya, lalu kembali melemparkan uang itu ke wajahnya. Ia shock. Apalagi saat kutendang bagian pentingnya hingga ia berjingkat ke belakang dan meringis kesakitan. Sumpah, aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Emosi ini begitu meluap-luap hingga aku tak bisa menahan diri. "Ambil saja uangmu itu, Mas! Aku tidak butuh!" "Jangan belagu kamu, Ris! Tanpa aku, kamu gak bisa ngapa-ngapain!" sentak Mas Ramdan seraya memunguti lembaran uang yang berjatuhan ke tanah. Kesempatan bagiku untuk melabrak si janda gatel itu. Aku hendak masuk ke dalam rumah, tapi Mas Ramdan langsung menghalangiku. Lelaki pengkhianat itu memeluk tubuhku dari belakang dengan sangat erat. "Mas mohon jangan bersikap seperti ini, Risna. Mas memang salah, tapi mas mohon jangan sakiti dia. Cukup mas saja." Lirih pria itu bersuara. Begitu besarkah perasaan cintanya hingga dia berlaku seperti ini? 10 tahun LDR, nyatanya hatimu berpaling ke wanita lain. Sungguh ini sangat menyakitkan. "Sekarang kamu pulang ya, mas akan antar kamu ke stasiun. Mana barang bawaanmu?" "Aku tidak mau!" Kusikut dadanya hingga pelukan itu terlepas. "Kenapa kau menyuruhku pergi dari sini, Mas? Kenapa bukan Alya yang pergi? Aku lebih dulu jadi istrimu, Mas! Aku menemanimu lebih dari 10 tahun! Kenapa harus dia?!" "Karena aku tak mungkin meninggalkan Alya sekarang, dia sedang hamil anakku." Untuk kesekian kalinya kejutan ini serupa petir di siang bolong. Rasanya aku tak mampu berkata-kata lagi. "Mas, aku yang menemanimu dari nol, tapi sekarang setelah sukses, kamu justru lebih memilihnya dari pada aku? Ini tidak adil buatku, Mas. Kamu jahat sekali! Jahat!" Aku yang setia. Tapi kau membuangku seperti sampah! "Mohon maaf Pak, Bu, ini ada apa ya? Dimohon untuk tidak ribut di lingkungan komplek." Suara seorang lelaki cukup mengejutkan. Aku menoleh, melihat Awan datang bersama seorang pria paruh baya dan satu orang hansip. "Mohon kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, biar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman penghuni rumah yang lain." "Maafkan kami, Pak RT," ujar Mas Ramdan. "Kami akan bicara baik-baik." "Maaf Pak RT, bukan bermaksud mengurangi rasa hormat, tapi masalah saya dan Mas Ramdan tidak lagi bisa dibicarakan baik-baik." Pria yang menjabat sebagai RT itu menggerakkan tangannya agar aku tenang. "Begini, Pak Ramdan dan Bu--" "Saya Risna." "Pak Ramdan, Bu Risna, mari kita bicarakan masalah ini di rumah saya, tadi sepintas saya dengar ceritanya dari Pak Awan. Mari kalian ikut ke rumah saya." Baru beberapa langkah mengikuti mereka, ponsel yang ada di tas kecilku berdering. Lekas kuraih ponsel itu. Tertera nama Mbak Jumiroh, orang yang kusuruh jadi perawat ibu untuk sementara. Jantungku berdegup dengan kencang, apa terjadi sesuatu pada ibu? "Hallo, Mbak Risna, apa sudah sampai dan bertemu dengan Mas Ramdan?" Terdengar suara Mbak Jumiroh di seberang telepon. Aku terdiam, melirik Mas Ramdan sekilas. "Mbak Risna sama Mas Ramdan disuruh pulang sama ibu." "Apa terjadi sesuatu sama ibu, Mbak?" tanyaku panik. Kulihat mata Mas Ramdan membelalak kaget, ia hendak meraih ponselku tapi tangannya segera kutepis. "Itu Mbak, ada Mas Dewangga ..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD