Part 6
Risna benar-benar berubah perangainya. Dia bahkan berani menamparku dan juga menampar Alya. Ah wanita itu, wanita yang paling kusuka dengan kelemah-lembutannya, kini ia justru berani melawan.
Aku tak habis pikir kenapa Alya sampai nekat menyusulku kemari, padahal ia tak tahu jalannya. Dan Awan ... kenapa harus bertemu dengan pria itu! Bisa repot berurusan dengannya!
Seketika kepalaku terasa begitu pening. Risna benar-benar tak mau berdamai. Setelah perdebatanku dengan Risna tak mencapai titik sepakat, hingga akhirnya panggilan dari Mas Dewangga yang membuat kami harus pulang bersama.
Ya, bila lelaki itu ikut campur, berarti ada masalah penting yang akan dibicarakan.
Mas Dewangga, ia adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Aku paling segan padanya karena dia lah yang menopang hidup kami setelah bapak tiada. Lebih tepatnya sejak usiaku masih remaja, 15 tahun. Umurku dengan Mas Dewangga terpaut 5 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pengganti bapak. Karena ia begitu tanggung jawab dan mengayomi kami.
Mas Dewangga banting tulang menghidupi keluarga, memberi uang untuk ibu, bahkan sampai membiayai sekolah hingga aku kuliah. Meskipun ia harus menggadaikan masa depannya sendiri.
Ya, dulu setelah kepergian bapak, adalah masa-masa sulit bagi kami. Yang paling kukagumi darinya, ia tak kenal lelah bekerja memeras keringat dari pagi hingga tengah malam. Apa saja ia kerjakan demi mendapatkan uang. Work aholic, julukan yang tepat untuknya. Jadi pekerja pabrik, menjadi tukang ojek hingga tukang jualan di pinggir jalan sudah ia lakoni, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun. Hingga senyuman dari Mas Dewangga mengembang setelah aku memakai baju toga dan diwisuda.
Aku meraih gelar S1, dan langsung mencari pekerjaan yang layak di perkantoran, setidaknya kerjaku tak terlalu berat seperti Mas Dewangga. Selama satu tahun aku bekerja dan akhirnya mengenal seorang gadis yang membuatku jatuh cinta. Tak banyak waktu untuk berpikir, aku langsung melamar dan menikahinya 6 bulan setelah perkenalan. Wanita itu adalah Risna, yang sudah menjadi istriku selama sepuluh tahun lebih.
Entah karena apa, Mas Dewangga justru merantau ke luar pulau setelah aku menikah. Dan sampai sekarang, saat umurnya hampir 40 tahun, Mas Dewangga masih belum berumah tangga. Ia masih betah melajang. Entah apa yang menyebabkannya ia betah sendiri. Ia tak pernah terbuka mengenai hubungan asmaranya.
Dan beberapa bulan setelah Mas Dewangga pergi merantau ke luar pulau, ibu mengalami sakit hingga stroke. Awalnya ibu shock saat mendengar Mas Dewangga mengalami kecelakaan kerja. Dan beberapa tahun Mas Dewangga tak bisa pulang. Kami hanya bertukar kabar melalui panggilan telepon.
Mas Dewangga betah merantau di luar pulau, ia jarang pulang. Hanya beberapa kali saja bisa dihitung dengan jari, itupun hanya sehari dua hari saja, menjenguk keadaan ibu lalu berangkat lagi ke perantauan. Tapi kini tiba-tiba ia pulang tanpa memberi kabar lebih dulu. Ada apa gerangan?
***
"Ah, sudahlah! Ayo masuk ke mobil! Dan ingat ya, Risna sayang, jangan katakan apapun pada ibu maupun Mas Dewangga mengenai masalah kita ini." Aku berbicara dengan nada ketus, agar Risna sedikit takut padaku.
Mobil hendak meninggalkan halaman rumah. Mendadak Alya berlari dan menghalangi jalan mobilku.
"Mas, tunggu, Mas, jangan pergi!" teriaknya seraya merentangkan tangan berdiri di depan mobil. Aku langsung membuka pintu mobil. Dan menghampirinya.
"Ada apa, Alya? Kenapa kamu menghalangi mobilku? Aku kan tadi sudah izin padamu mau pulang kampung dulu. Ada urusan penting."
Alya menggeleng cepat. "Jangan pulang, Mas. Kalau kamu pulang, aku dan Hendra harus ikut bersamamu!" tukasnya.
"Ya ampun Alya. Kamu ini kayak anak kecil saja. Aku cuma pulang sebentar. Kau tetap di sini ya, kumohon."
"Tidak mau, Mas. Aku ikut pulang bersamamu."
"Kenapa kamu keras kepala sih? Aku ada urusan mendadak di rumah."
"Aku cuma takut," rengek Alya.
"Takut apa?"
"Kamu jangan tinggalin aku, Mas. Aku takut kamu pergi bersama dia dan tak kembali lagi kesini. Aku takut masa lalu terulang lagi, aku ditinggal saat sedang hamil."
Aku menghela nafas dalam-dalam dan langsung memeluknya dengan hangat. Menciumi pipi dan keningnya dengan lembut. Apakah seperti ini perasaan orang yang sedang hamil? Terlalu sensitif dan selalu ingin dimanja?
"Kamu tenang aja, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku sangat sayang padamu dna anak kita. Kamu jangan khawatir ya," bujukku lagi.
"Tapi, Mas, sedetikpun aku tidak mau ditinggal sama kamu. Biar aku ikut ya, Mas. Pertemukan aku dengan ibumu dan kakakmu juga, kita kan sudah sah, biar mereka tahu tentang hubungan kita," sahut Alya dengan mata berkaca-kaca.
"Astaga Alya, untuk saat ini, itu tidak mungkin! Bisa-bisa kesehatan ibu makin drop. Kita bisa bicarakan ini pelan-pelan, kau tenang saja ya. Aku akan membuat keadaan baik-baik saja. Sudah, sekarang kau masuklah, biar aku pergi jadi cepat pulang lagi kesini ya?"
Aku masuk kembali ke dalam mobil, setelah Alya mau diajak kompromi. Sejenak, melirik ke arah Risna yang sedari tadi diam saja tak mau bicara. Ah aku lupa, kalau saat memeluk Alya tadi Risna melihatku. Dia pasti cemburu kan?
Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Sungguh sekarang ini begitu canggung padahal duduk bersama istri sendiri. Risna yang ada di sampingku kini terasa begitu asing.
Satu jam perjalanan, tetiba ponselku berdering. Panggilan dari Alya.
Kuperlambat laju mobil dan mengangkat panggilannya.
"Ada apa, Alya?" tanyaku.
"Mas, pulang sekarang, Mas. Badan Hendra panas," sahut suara di ujung telepon.
Kuhentikan mobilku. "Sakit? Bukannya tadi tidak apa-apa? Kamu jangan mengada-ada, Alya!" Nada suaraku agak meninggi membuat Risna menoleh.
"Aku tidak mengada-ada, Mas! Badan Hendra demam, kumohon pulang sekarang, Mas."
"Bawa Hendra ke bidan terdekat ya, Al. Aku gak bisa pulang, ini udah di tengah jalan."
"Aku tidak mau! Buat apa sih punya suami kalau gak peduli. Pulang dulu sekarang, Mas, setelah mengantar Hendra periksa, kamu boleh pergi lagi!"
Aku terdiam cukup lama. Ah, terkadang merasa aneh dengan permintaan Alya. Dia terlalu memaksakan kehendak.
"Turunkan aku di sini, biar nanti aku naik bus atau kereta," ujar Risna mengagetkanku.
"Apa-apaan kamu, Ris! Kamu kan gak tau daerah sini. Kalau nyasar gimana?"
"Kau gak usah khawatir, Mas. Aku punya mulut, bisa bertanya-tanya."
"Tidak, ini kota besar bukan di kampung. Aku takut ada orang yang jahat padamu."
Rupanya Risna tak mengindahkanku, dia keluar dari mobil. "Istri mudamu lebih membutuhkan kehadiranmu. Biar aku pulang sendiri. Ada google map yang bisa kumintai tolong."
Braakk! Pintu mobil ditutup dengan kencang, setelah ia mengambil kopernya. Risna berjalan menjauhiku di sepanjang trotoar.
Aku hendak mengejarnya, tapi ponselku berdering kembali.
"Mas, kalau kamu gak pulang sekarang dan antar kami, lihat saja aku akan menyusulmu ke rumah ibumu dan mengatakan semuanya pada mereka tentang kita!"
Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja. Sementara sosok Risna sudah semakin jauh. Aaarrhhh ...!