Part 9
Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.
***
Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan.
Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di d**a ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali.
Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri.
Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.
Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.
Tidak, Risna, kau tidak boleh menangis sekarang. Ingat, kau harus bangkit. Meski rumah tanggamu hancur, bukan berarti hidupmu juga hancur. Masa depanmu masih panjang. Masih ada lembaran baru yang bisa dilalui. Masih ada lembaran baru yang bisa diwarnai dengan indah.
Kau justru harus bersyukur karena Allah membukakan kedok siapa sebenarnya suamimu. Allah sangat sayang padamu, hingga membuka tabir yang selama ini ditutupi dengan rapat.
Bangkit Risna, ayo bangkit! Sedih boleh, tapi jangan sampai terpuruk. Menangis boleh, tapi jangan sampai berlarut-larut. Ingatlah, ada pelangi setelah hujan, begitu pun dengan hidupmu, akan ada bahagia setelah kepedihan ini. Dan bukankah kau sudah tahu? Masalah ini diberikan karena Allah pasti tahu hambaNya bisa melewati ujian ini. Yakinlah, akan ada pertolongan dari Allah, Sang Maha Penyayang.
Suara hati kecilku memberi semangat pada diri sendiri. Baiklah, mulai sekarang aku harus cari bahagiaku sendiri. Risna yang sekarang bukan lagi Risna yang dulu.
Kuhirup udara dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Bismillah, semangat Risna.
Kuhentikan taksi yang kebetulan lewat. Akan kupikirkan nanti setelah aku mendapatkan tempat untuk menginap, hari ini terasa begitu lelah, aku butuh istirahat.
Ponsel terus menerus berdering, panggilan dari Mas Ramdan dan juga pesan-pesan whattsapp yang dikirim olehnya. Sedikitpun aku tak berniat untuk membukanya. Biarkan saja, toh dia tak peduli.
"Mau kemana, Mbak?" tanya sopir taksi.
"Pak, tolong ke penginapan terdekat ya, Pak."
"Baik, Mbak."
Kusandarkan tubuhku di jok belakang, sembari mengatur nafas yang begitu berat. Tak lupa hati terus beristighfar agar perasaan ini jauh lebih baik.
"Pak maaf, disini penginapan yang paling murah per malamnya dimana ya, Pak?" tanyaku.
"Oh, ada Mbak, di depan sana ada penginapan Melati. Tapi lebih baik nginep di Hotel Matahari aja, sudah jelas terjamin keamanannya. Mbaknya bukan orang sini ya?"
"Iya, bukan Pak, saya dari kampung. Ini sudah agak kemalaman mau cari tempat menginap dulu buat istirahat."
"Saya antar ke hotel Matahari saja ya, Mbak. Tarifnya memang agak jauh lebih mahal, tapi lebih baik menginap disitu saja, karena kalau di penginapan Melati emhh anu Mbak, buat tempatnya para kupu-kupu malam dan hidung belang berkumpul."
Glek, mendengar ucapan sopir taksi itu, nyaliku agak menciut. Aku bahkan tak tahu menahu seluk beluk kota ini, kalau salah melangkah sedikit saja, bisa berabe.
"Iya, Pak, ke hotel Matahari saja," jawabku. Tak apalah bayar sedikit lebih mahal, yang penting aku aman.
"Mbaknya kesini mau cari kerja ya?" Pak sopir kembali bertanya.
"Iya, Pak," jawabku seadanya.
"Semoga cepat dapat kerjaan ya, Mbak. Kalau lihat mbaknya saya teringat istri dan anak perempuan saya di kampung halaman. Anak perempuan saya berkebutuhan khusus, harusnya umurnya sudah dewasa tapi sikap masih kayak anak kecil. Tapi untunglah masih diberi kesehatan. Saya kerja di sini biar bisa ngasih makan dan biaya berobat anak saya," ujarnya bercerita.
"Aamiin. Bapak juga semangat kerjanya ya, Pak. Terima kasih sudah berbagi cerita."
"Haha, iya, Mbak, maaf ya, kadang saya suka keceplosan."
Hanya selang lima belas menit, taksi yang kutumpangi memasuki area halaman gedung bertingkat.
"Ini hotel matahari, Mbak. Mbak bisa tanya-tanya langsung sama resepsionisnya."
"Iya, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya. Berapa tarifnya, Pak?"
Akupun membayar taksi itu. Setelahnya mobil itupun keluar dari pelataran hotel. Aku menatap takjub pemandangan di hadapanku ini. Sebuah bangunan bertingkat yang berdiri kokoh dan megah, terlihat begitu indah dan terang karena dipenuhi cahaya lampu.
Rupanya malam di Jakarta seindah ini, ramai juga dengan kendaraan bermotor. Tak seperti di desa, yang bahkan selepas isya pun sudah sepi juga gelap, dan hanya terdengar suara binatang malam.
Aku masuk ke dalam hotel, lalu menuju ke resepsionis, memesan satu kamar setelah bertanya-tanya mengenai tarifnya.
Kunci kamar no 108B sudah ada di tanganku. Untunglah, aku membawa uang lebih di dompet serta kartu ATMku. Selama ini, bila ada sisa uang dari gaji Mas Ramdan selalu kutabung. Meski sedikit, lama-lama akan menjadi bukit. Ada kurang lebih sekitar 30 juta uang tabunganku. Dan ini tanpa sepengetahuan Mas Ramdan. Tadinya aku ingin memberinya kejutan, memperlihatkan nominal uang tabunganku untuk modal buka warung di depan rumah ibu. Tapi semuanya harus sirna seketika.
Aku berjalan mengikuti seorang pegawai hotel yang mengantarku ke kamar.
"Ini kamarnya ya, Bu. Selamat malam, selamat beristirahat."
Aku mengangguk dan berterima kasih padanya. Langsung kukunci pintu kamar hotel dan bergegas ambil wudhu. Cepat-cepat kutunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah.
Aku mengambil baju ganti dan juga handuk, sepertinya mandi akan membuat badanku ini terasa segar.
Guyuran air shower mampu membasahi seluruh tubuhku. Aku mandi agak lama, agar bisa mengusir rasa penat yang merajai diri ini.
Selesai mandi dan ganti baju, aku rebahan di atas ranjang yang berspreikan warna putih bersih. Rasanya begitu damai. Aku tak pernah menikmati tidur di tempat yang senyaman dan seempuk ini. Biasanya aku tidur di kasur biasa. Setiap malam pun tidak terlalu nyenyak karena haruss kontrol kondisi ibu.
***
Setelah semalaman aku berpikir dan merenung. Kuputuskan untuk pergi jauh meninggalkan Mas Ramdan dan keluarganya.
Mengenai ibu mertua, sepertinya aku tidak perlu memikirkannya lagi, toh masih ada anak-anaknya yang bisa merawat. Ada Mas Dewangga juga yang lebih tanggung jawab.
Tapi sebelum itu, ingin kutuntaskan dulu urusanku dengan Mas Ramdan dan jalangnya itu atas 10 tahun waktuku yang sia-sia.
Beruntung, aku masih menyimpan kartu nama Awan. Sepertinya kali ini aku membutuhkan bantuannya lagi.
Aku berjalan di koridor hotel, ingin keluar sekedar mencari makanan atau udara segar. Sebenarnya sudah dapat jatah makan di hotel ini, tapi lidahku terasa kurang cocok.
Tiba-tiba, Bruuukk ...! Seseorang menabrakku dari belakang.
"Ah, maaf. Saya sedang buru-buru." Lelaki itu sedikit membungkuk lalu kembali berlari menjauh. Mataku terkunci pada sebuah benda yang terjatuh dari saku celananya.
"Mas, tunggu! Itu ada yang jatuh!" teriakku. Tapi lelaki itu sudah berlari secepat kilat hingga hilang dari pandangan.
Kupungut dompet yang berwarna cokelat kayu itu dan bergegas mencarinya, tapi sayang aku tak menemukan jejaknya.
Aku membuka dompet itu, terlihat beberapa kartu ATM, kartu identidas dan kartu-kartu yang lain. Serta sebuah kartu namanya yang berwarna hitam.
Reyhan Hadiwilaga, CEO PT. WILAGA GEMILANG.
Keningku mengernyit, bukankah PT ini adalah kantor tempat Mas Ramdan bekerja?
Tanpa pikir panjang, aku berbalik ke kamar, kuambil tas kecilku dan segera memesan ojek online menuju ke kantor PT Wilaga Gemilang. Selain hendak mengembalikan dompet itu, aku juga ingin bertemu dengan Awan.
[Mas Awan, saya butuh bantuanmu. Saya akan ke kantor Mas Awan sekarang.]
[Baiklah, saya tunggu di pos security ya, Mbak, mumpung belum jam masuk kantor] balas Awan.
Hanya tekad yang mampu membuatku bertahan sejauh ini. Meski tak tahu apapun mengenai kota ini, tapi bismillah, ada Allah yang melindungi.
Akhirnya sampai juga di PT. Wilaga Gemilang. Setelah kuhubungi Mas Awan, kuserahkan dompet itu pada security.
"Pak, saya maaf saya titip dompet ini ya. Saya menemukan dompet ini di hotel matahari, disini tertera milik Reyhan Adiwilaga," ujarku seraya menyerahkan benda itu.
Pak security memeriksanya. "Benar, ini dompetnya Pak Reyhan. Anda tunggu disini, tidak boleh kemana-mana dulu, takutnya ada yang hilang dan anda yang harus bertanggung jawab "
"Tapi saya tidak ambil apapun dari dompet itu, Pak."
"Ini prosedur, Mbak. Maaf, mari silakan ikut saya ke lobi ya."
Aku mengangguk dan mengikuti langkah salah satu security. Dadaku berdebar dengan kencang, kenapa sih masih baru di kota ini malah kesandung masalah begini, padahal aku cuma ingin mengembalikan dompet saja.
Aku duduk di sudut sofa yang tersedia di sebuah ruangan, sedangkan Pak security berdiri di dekat pintu masuk. Tak lama seorang pria berpakaian rapi berjalan mendekat.
"Pak, wanita ini katanya menemukan dompet bapak di hotel Matahari. Silakan dicek dulu, Pak, apa ada yang kurang atau lengkap."
"Benar ini yang kucari," sahutnya seraya memeriksa dompet itu. "Isinya lengkap, tidak ada yang berkurang. Kau menemukannya dimana?"
"Di hotel matahari, Pak. Tadi saya mengejar bapak tapi bapak tidak mendengarnya dan menghilang dari pandangan saya."
"Jadi, kau datang kemari sengaja karena ingin mengembalikan dompet ini?"
"Iya, Pak, sekaligus ingin bertemu dengan teman saya," jawabku pekan
"Siapa nama temanmu?"
"Awan, Pak."
Seorang laki-laki tergopoh masuk menghampiriku. "Pak, maaf Pak, dia teman saya yang datang dari kampung, maaf kalau tindakannya kurang berkenan ya, Pak, tolong jangan hukum teman saya ini," ucap Awan memberi hormat lalu langsung menarikku keluar. Aku agak bingung dengan sikapnya. Memang ada apa? Aku tak melakukan kesalahan apapun kenapa dia kelihatan cemas?
"Maaf Mbak Risna, saya menarikmu keluar, tadi itu bos saya, tapi 'agak' galak. Oh iya, ada perlu apa datang ke kantor?" tanyanya.
"Mas, saya menerima tawaranmu, katanya kamu akan membantu saya?"