Bab 4. Mas Ibra

1075 Words
Aku tersenyum ketika Tata Cake & Bakery akhirnya membalik tag Open menjadi Close. Sudah cukup pekerjaan untuk hari ini. Alhamdulillah, setelah perjuangan selama beberapa tahun aku bisa mendirikan toko kue yang cukup besar seperti ini. Yah, 6,5 tahun berlalu sejak aku pindah ke Jogja. Dan kini, aku masih tinggal di sini. Bedanya, kini aku juga telah memiliki rumah sederhana yang aku tinggali dengan Tara dan Tania, kedua anak kembarku. Sesuai prediksi dokter, mereka berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah masuk kelas TK B. "Bu, ini daftar roti dan cake yang harus produksi besok, ya," ujar Maya. Ia adalah asisten sekaligus kepala tim produksi tokoku. "Ya. Tolong disiapkan, saya udah koordinasi sama gudang kalau semua bahan masih aman sampai akhir pekan ini, jadi kalau ada lonjakan customer masih bisa dicover," kataku sambil memeriksa laporan. "Baik, Bu." Maya tersenyum lebar. "Kita pulang, Bu?" Aku mengangguk. Aku menoleh ke sekelilingku. Untuk bersih-bersih, aku juga sudah memiliki pekerja. Aku hanya tinggal datang ke sini untuk memantau jalannya produksi serta penjualan. Kini, setelah pekerjaan hari ini selesai, saatnya aku pulang untuk di kembar. Namun, ketika aku keluar dari toko dan hendak masuk mobil, aku melihat seseorang sudah berdiri di depan tokoku. "Silvi, kamu udah mau pulang?" "Eh, Mas Ibra." Aku tersenyum pada sosok yang berdiri di depanku. Ia membalas senyumku dan dengan canggung mengikis jarak kami. "Ini baru tutup, alhamdulillah ludes nya cepet hari ini. Mas juga mau pulang?" "Ya, aku mampir." Mas Ibra mengulurkan dua kantong kresek padaku. "Ini, buat kamu sama anak-anak." Aku menyipitkan mata lalu tertawa kecil. "Ini apa, Mas?" "Cuma martabak," jawabnya. Aku membuka kantong kresek. Ada satu kotak martabak telur dan satu martabak manis. Kantong satunya berisi buah apel dan jeruk. Ini bukan pertama kalinya Mas Ibra mampir ke tokoku lalu memberikan makanan. Jadi, hampir setiap hari ia melakukan ini. Dan anak-anak tentu sangat senang karena aku selalu membawa buah tangan untuk mereka. "Nggak usah repot-repot, Mas," ujarku. "Sama sekali nggak, Sil." Ia tersenyum begitu lebar. "Semoga kalian suka." "Ini, sih, kesukaan mereka. Mas tahu aja," kataku. "Ehm, alhamdulillah. Pokoknya dihabisin. Kalau kurang besok sore aku beliin lagi," ucapnya sambil mengusap tengkuk. Aku mengangguk rikuh. Mas Ibra sangat menyukaiku dan pernah berkata bahwa ia ingin membina hubungan yang serius denganku. Namun, aku masih ragu untuk membuka hati pada pria lain. Kami cukup dekat, tetapi tidak memiliki hubungan khusus. Aku selalu menganggap dia sebagai teman dan relasi yang baik. "Ya, udah, Sil. Aku harus pulang. Kamu juga pasti udah ditunggu sama anak-anak," katanya. "Oke, Mas. Hati-hati di jalan. Dan makasih banyak." Mas Ibra mengangguk, tetapi ia tak lantas berjalan ke motornya. "Hari Minggu nanti kamu kamu acara, Sil?" "Ehm ... duo Tata ngajakin jajan mainan, Mas. Udah lama nggak beli," kataku. "Oh, ya udah." "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Nggak. Jadi, aku dapat undangan dari temen. Dia mau nikah. Tadinya aku mau ngajakin kamu, kali aja kamu bisa," kata Mas Ibra. Aku meringis. Aku pernah ikut acara kondangan bersama Mas Ibra. Sontak, semua teman dan kenalannya mengira aku adalah pacarnya. Aku malu—merasa agak tidak pantas. Dia adalah CEO PT Prima Jaya Mentari yang bergerak di bidang pariwisata. "Maaf, Mas. Aku udah terlanjur ada janji sama anak-anak," kataku. "Ya. Nggak apa, Sil. Kalau aku nggak kondangan, aku pasti anter kalian jajan mainannya," tukas Mas Ibra. Aku kembali meringis. Jika ia yang mengantar, ia yang akan membayar mainan si kembar. Itu lebih membuatku tidak enak lagi. "Ya, udah, Sil. Kamu pulang aja dulu. Pasti si kembar udah nungguin kamu," ujarnya. Aku mengangguk. Dan seperti biasa ia melambaikan tangan lalu naik motornya. Aku tersenyum, menatap kepergiannya dengan hati berdebar. Mungkin, aku terlalu pengecut atau mungkin aku terlalu takut untuk dekat dengan lelaki. Padahal, aku tahu Mas Ibra sangat baik. Ia juga dekat dengan anak-anak. Aku membuang napas panjang. Daripada melamun, lebih baik aku pulang. Dengan aku mobil, aku pun tiba di rumah sederhana kami. "Ibuuuk!" Tania berteriak dari muka pintu ketika aku memarkir mobil. Tentu saja aku tersenyum lebar. Rasa lelahku seketika menguap karena melihat anakku. "Wah, Ibuk udah pulang!" Tara juga tak mau kalah menyambutku. Aku lantas keluar dari mobil. "Hei, anak-anak Ibu, kalian udah makan malam?" "Belum, nunggu Ibuk," sahut Tania yang dengan manja mengulurkan tangan. Aku memeluk Tania dan Tara sekaligus. Aku tidak seharian ada di toko, aku hanya akan ke toko di pagi hari dan sore hingga malam. Kecuali ada hal mendesak, aku akan di sana sepulang dari menjemput di kembar dari sekolah. "Ibuk bawa jajan?" tanya Tara. Aku melepaskan pelukan. Aroma martabak menguar hingga ke hidung-hidung mancung mereka pastinya. "Ya, tadi Ibu ketemu sama Om Ibra bentar. Ini Om yang beliin." "Asyiiik!" seru keduanya dengan penuh semangat. Tania berjingkrak riang sementara Tara membantuku membawa makanan. "Kalian boleh ngemil ini, tapi kita makan malam dulu," ucapku seraya mengusap kepala mereka. "Ya!" Dengan kompak mereka menyahut. Kami bertiga masuk ke ruang makan. Aku melempar senyum pada Mbok Surti, wanita yang membantuku mengurus si kembar sejak mereka bayi. Mbok Surti juga sesekali memasak. "Si Mbok masak apa?" tanyaku. "Biasa, Bu. Goreng ayam sama bayem bening," jawab si Mbok. "Makasih, ya. Ini ada martabak, Mbok. Sama buah juga. Ayo kita makan bareng-bareng nanti," ujarku. Mbok Surti berdehem. Ia tersenyum penuh makna padaku. "Pasti Mas Ibra ini yang ngasih." Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Karena agak malu dengan tatapan Mbok Surti, aku mengalihkan pandangan ke anak-anak yang sedang mengambil nasi. Mereka masih kecil, tetapi sudah cukup mandiri karena sering aku tinggal bekerja. "Om Iba nggak main ke sini lagi, Buk?" tanya Tania. "Besok pasti ke sini," jawabku. "Kamu tahu sendiri, dia sibuk kerja." "Aku kangen main bola sama Om," timpal Tara. Mbok Surti kembali berdehem. "Anak-anak udah deket banget sama Mas Ibra. Mas Ibra juga baik dan mau serius sama Mbak." Kedua mataku membola. "Mbok tahu?" "Saya nggak sengaja dengar waktu Mas Ibra main ke sini," jawab Mbok Surti. "Kenapa Mbak nggak terima aja?" Aku membuang napas panjang. Kedua anakku makan dengan lahap sambil berebut potongan paha. Aku mendesis pelan lalu memberikan potongan paha milikku pada Tara. Mereka berdua tersenyum senang. Menatap mereka membuatku teringat pada Mas Gama. Bagaimana tidak? Keduanya mirip dengan mantan suamiku—sosok ayah yang sama sekali tidak dikenal mereka. Terkadang, aku berharap Mas Gama akan tahu aku memiliki mereka. Bukan untuk kembali bersamanya—tentu saja tidak. Namun, aku kasihan pada kedua anakku. Mereka semakin besar dan mulai bertanya tentang ayahnya. "Aku tahu Mas Ibra baik, Mbok. Tapi ... aku belum berani mencoba hubungan yang baru, Mbok. Aku masih trauma," jawabku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD