Bab 8. Minta Gendong

1638 Words
Sementara itu di tempat duduknya, Riri sesekali melirik ke arah Agus. Ia agak heran karena Cinta tak terlihat lagi dan Agus tampak makan seorang diri di mejanya. Jika boleh jujur, Riri agak malu dengan Agus. Bagaimanapun, Agus adalah pria pertama yang pernah membuka pakaian dan melihat seluruh tubuh polosnya. Mengingat itu membuat Riri panas dingin sendiri. Untung saja, Agus bukan pria m***m yang memanfaatkan situasi. Riri tersenyum diam-diam sembari memperhatikan Agus. Pria itu memang tampan dan Riri yakin Agus adalah pria yang baik. "Ehm!" Abian berdehem. Ia mencolek lengan Riri. Ia tersadar Riri bertingkah tidak biasa malam itu. Entah bagaimana, Riri terus melirik ke arah Agus. Riri bahkan terkesiap dengan dehemannya. "Kamu ngeliatin cowok itu terus, kenapa?" tanya Abian. Riri membalas tatapan lurus Abian. Ia lantas meletakkan dagunya di atas telapak tangan kiri. "Kenapa emangnya? Dia ganteng, content creator lagi." Abian mengerutkan keningnya. Ia tentu tak ingat bagaimana ia menemukan Riri di rumah Agus dengan keadaan berantakan. "Dia bukan pria baik, jadi kamu jangan naksir sama dia." "Dih, bilang aja cemburu!" ledek Riri. Ia menjulurkan lidahnya pada Abian yang semakin kesal. "Kamu ini kalau dibilangin jangan ngeyel. Kamu belum kenal dia dengan baik, kan?" tanya Abian. Riri mengangkat bahunya, tak ingin dimarahi jika jujur. Ini acara makan malam berdua. Seharusnya ini menjadi momen yang romantis. Namun, sejak tadi ia juga terdistraksi dengan keberadaan Agus. "Ri, dengerin aku!" Abian benar-benar kesal. Riri yang biasanya akan terus menatap ke arahnya, bersikap manja dan bahkan meminta diajak jalan-jalan sebelum pulang nanti. Namun, Riri yang sekarang justru terus melirik ke arah Agus. "Apa, sih, Mas?" Riri mencebik. Ia bersyukur makan malam mereka telah datang. Jadi Abian tidak melanjutkan omelannya. "Aku mau foto dulu, jangan dimakan sekarang!" gertak Riri ketika Abian hendak mengambil garpu. Ia menepis tangan Abian dan aksi itu berhasil membuat Abian mendesis kesal. "Buruan. Aku udah laper!" Abian tak mau kalah. Sementara Riri mengambil foto makan malam mereka dari beberapa angle, ia menoleh pada Agus. Ia mengerutkan kening ketika mendapati Agus juga tengah mencuri tatap ke arah Riri. Ia yakin Agus baru saja menarik ujung bibir membentuk senyuman miring. "Udah, ayo makan, Mas," ujar Riri senang. Ia mengambil sendok dan garpunya lalu mulai makan. "Ehm! Enak banget." Riri menendang kaki Abian karena Abian masih menoleh pada Agus. "Pacar kamu udah nggak ada, Mas. Nggak usah diliatin." Abian membuang napas panjang. Karena Agus adalah kakak dari Cinta, ia sama sekali tidak cemburu. Ia dan Cinta memang pacaran, baru seminggu. Ia memacari Cinta karena gadis itu cantik dan seksi. Itu saja. "Ri, aku tadi belum selesai ngomong," kata Abian. Ia menyendok spaghetti lalu mulai makan. Kedua matanya membola karena makanan itu terasa lezat sekali, berbeda dengan masakan Riri. "Aku nggak terima wejangan," sahut Riri. "Kamu tahu, aku khawatir sama kamu. Aku nggak mau kamu terjerumus ke hal-hal yang nggak seharusnya," kata Abian sambil menikmati makan malamnya. "Aku yakin Agus bukan cowok yang baik." Riri mengangkat dagunya. Ia mengerling ke arah Agus, pria itu sudah tak ada! "Apa-apaan, sih, Mas. Dia baik, kok. Dia nolongin aku. Coba kalau nggak ada Mas Agus. Aku mau jadi apa?" "Tetep aja, dia cuma orang asing. Mana boleh bawa wanita ke rumahnya kayak gitu. Dan kamu ... kamu ganti baju sendiri waktu itu?" tanya Abian dengan nada curiga. Riri menelan makanannya dengan susah payah. Ia mengambil minuman untuk melancarkan proses menelan. Aksi itu jelas langsung membuat Abian menyimpulkan sesuatu. "Kamu pingsan, kan? Kamu ... apa dia buka-buka baju kamu?" tanya Abian dengan tangan terkepal. Riri terbatuk seketika. Abian benar dan Abian marah. Itu adalah kombinasi yang mengerikan. Ia ingin menyangkal, tetapi ia yakin bibirnya tidak akan kompak. "Jadi benar, dia yang ganti baju kamu?" tanya Abian. Riri mengusap bibirnya dengan punggung tangan. "Itu tindakan darurat, Mas! Aku pingsan, kedinginan dan hampir hipotermia. Jadi dia terpaksa." "Apa? Terpaksa?" Abian meletakkan sendoknya lalu bersandar di kursi dengan perasaan tak keruan. "Pokoknya, apa pun yang terjadi kemarin aku mau kamu lupain. Dan kamu jangan pernah ketemu lagi sama Agus. Dia itu m***m! Kamu nggak takut dia ngapa-ngapain kamu selagi kamu pingsan dan ditelanjangi?" Darah Riri seolah naik ke wajah semua. Ia tidak memikirkan hal itu, tetapi ia yakin kejadiannya tidak seperti itu. "Gimana kalau dia ambil foto-foto kamu? Gimana kalau kamu disentuh tanpa kamu sadari?" tanya Abian lagi. Dadanya bergemuruh, ingin ia menonjok Agus andai saja pria itu masih di sini. "Aku yakin dia nggak kayak gitu," kata Riri. "Gimana kamu bisa yakin? Kamu pingsan!" gertak Abian. Riri menggeleng. "Mas ini kenapa? Kalau cemburu bilang aja." Abian hampir terbatuk. "Cemburu? Kamu tahu aku nggak pernah cemburu sama kamu." "Tapi Mas udah lebay banget. Dia cuma nolong aku, jadi nggak usah mikir yang negatif. Aku yakin dia baik," kata Riri. Abian tak tahan lagi karena Riri terus membela Agus. "Kamu tertipu oleh tampang luar Agus! Padahal ...." "Mas ngomong apa, sih?" Riri berdiri karena kesal. "Kita baru makan, dan aku males diceramahi kayak gini!" Abian mengacak rambutnya jengkel. Riri baru saja keluar untuk meninggalkan dirinya. "Sial!" Abian meninggalkan sejumlah uang di meja setelah melambaikan tangan pada pelayan. Ia langsung berlari dan menyusul Riri. Dilihatnya Riri sudah berdiri di sebelah mobil. "Kamu nggak bisa pergi kayak gini. Kamu pasti belum kenyang," kata Abian. "Udah! Aku udah kenyang sama wejangan Mas!" gerutu Riri. Abian membuka mobilnya untuk Riri. Ia lantas memutari mobil dan duduk di belakang kemudi. Ditatapnya Riri. Gadis itu cemberut sekali dengan tangan terlipat di depan d**a. "Hei, aku ngomong kayak gitu karena aku khawatir sama kamu," kata Abian. Ia menjalankan mobilnya dan keluar dari parkiran restoran. Ia menoleh pada Riri yang masih dalam posisi sama. "Nona Riri, Adek Kecil!" Riri menoleh seketika pada Abian. Ia melotot. "Mas itu bullshit, tahu nggak?" "Apa? Kamu ngomong apa?" "Bullshit!" teriak Riri. Abian mendengkus keras. "Aku beneran cemas dan kamu bilang apa?" Kedua mata Riri memanas. "Bohong! Kalau Mas emang khawatir sama aku, harusnya Mas nggak pernah ninggalin aku di toko buku kayak kemarin. Kalau Mas emang peduli, pasti Mas nggak akan pergi sama Cinta kayak gitu!" Abian mencengkeram setir mobilnya dengan erat. Ia memang bodoh! "Aku nyasar! Aku liat kecelakaan di depan mata aku dan aku pingsan ... di mana Mas waktu itu? Pacaran?" tanya Riri dengan nada mencemooh. "Nggak usah bilang sok peduli, sok khawatir. Mas sama sekali nggak peduli sama aku!" "Ri, aku tuh ng—" "Stop! Stop mobilnya!" "Apa?" Abian menoleh pada Riri yang kini mulai menangis. "Aku mau turun! Jadi stop! Buruan!" Riri menggeram kesal. Ia melotot pada Abian. "Nggak akan! Kamu nggak boleh turun. Aku belum. Selesai ngomong," ujar Abian tak mau kalah. "Ya udah, aku mau lompat," kata Riri. Ia hampir membuka pintu dan aksi itu sontak membuat Abian terkesiap—padahal ia mengunci mobil, Riri tak akan bisa keluar begitu saja. "Hei!" Abian berteriak gila. Ia lantas menepikan mobilnya di bahu jalan. Dengan penuh amarah, Riri membuka pintu lantas membantingnya. Abian membuang napas panjang. Ia tak ingin Riri berjalan kaki seperti ini. Jadi, ia segera menyusul langkah Riri dan berhenti di depannya. "Aku anter pulang, jangan gini," kata Abian. Riri mendorong d**a Abian. Ia kesal setengah mati pada pria tak peka di depannya. Ia melewati tubuh Abian dan mempercepat langkah. Tentu saja, Abian menyusul dengan lebih cepat. "Adek Kecil!" teriak Abian. Riri menulikan telinganya. Ia tak suka dipanggil seperti itu, ia tak suka disebut adik oleh Abian. "Hei, stop!" panggil Abian. Mereka sudah berjalan lebih dari 200 meter dan Abian tahu Riri mulai kelelahan. Riri memakai sepatu hak tinggi dan mereka di jalanan yang tak rata. Tentu saja Riri akan lelah sendiri. "Kamu ini kenapa? Kamu marah? Aku minta maaf," kata Abian dengan nada memohon. "Bego! Mas itu bego!" teriak Riri. Abian mengangguk. "Ya, aku bego. Jadi, buruan ayo balik ke mobil dan kita pulang." "Nggak mau!" Riri menolak tegas. "Apa kamu begini gara-gara kamu cemburu sama aku dan Cinta?" tanya Abian. Riri menghentikan langkahnya kali ini. "Ya! Aku nggak suka sama Cinta! Mas jangan pacaran sama Cinta lagi!" Abian terengah-engah. Ia mencubit pipi Riri dengan gemas. "Jadi, Nona Riri baru cemburu, nih?" Riri menepis tangan Abian. "Nggak usah pegang-pegang!" "Aku minta maaf." Abian menangkup tangannya di depan d**a. "Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi." "Bohong!" teriak Riri. "Aku nggak bohong. Janji," ujar Abian. "Kalau gitu gendong!" "Apa?" Abian terkesiap. Riri memutari tubuh Abian lalu mendorong punggung tegap pria itu. "Aku capek! Aku mau digendong!" Abian menggeleng pelan. Namun, ia menurut. Ia segera berlutut dan Riri langsung melingkarkan kedua tangan di leher Abian. Abian berdiri dengan Riri yang menempel bak koala kecil di punggungnya. "Tuh, kan, capek! Makanya jangan kabur kayak gini," ujar Abian. Ia berjalan kembali ke mobilnya dan mulai mendengar isak lirih Riri. "Aku suka sama Mas. Aku cinta sama Mas!" Riri berbisik di telinga Abian. Abian diam saja. Ia tak akan membalas cinta Riri. Tidak akan! "Mas budeg?" tanya Riri. Abian tertawa kali ini. "Aku udah bilang, kamu ini adek kecil aku. Jadi ...." "Aku nggak peduli! Aku mau kita nikah suatu hari nanti," ujar Riri seraya mengeratkan dekapannya di leher Abian. Ia bisa mencium aroma parfum Abian yang bercampur dengan keringat akibat mereka berjalan cukup jauh dari mobil. Dan itu sangat wangi! Riri menyukainya! "Kita nggak akan menikah. Aku nggak akan mau nikah sama cewek manja yang nggak bisa masak kayak kamu," ujar Abian. Riri mencebik. "Aku bakal belajar masak. Aku pasti bisa bikin Mas cinta sama aku dan masakan aku!" Abian tertawa lagi. Ia tak menemukan cela untuk menolak Riri. Hanya soal masakan. Alasan bodoh yang ia karang untuk menolak cinta Riri. "Terserah kamu," kata Abian datar. Riri berusaha untuk tak menangis. Ia sudah sering ditolak oleh Abian. Namun, kali ini ia tak akan lemah. Ia akan belajar bersungguh-sungguh dengan Agus lalu ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tak tahu bahwa Agus juga memiliki niat di balik kesepakatannya mengajari Riri memasak. Alih-alih membuat Riri dekat dengan Abian, Agus justru ingin membuat mereka semakin jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD