1. Belum Siap
Gerimis yang turun seolah mengiringi kesedihan yang menguar di area pemakaman. Para pelayat satu persatu mulai pergi meninggalkan makan yang masih basah itu.
Di sisi makam yang penuh taburan bunga, seorang wanita paruh baya masih menangis. Terlihat jelas kesedihan atas kepergian suaminya.
Sorang laki-laki muda membantu wanita itu berdiri. Memapahnya meninggalkan area pemakaman.
Bening yang sedari tadi berdiri agak jauh dari para pelayat mulai mendekati makam basah itu. Dia tidak berani mendekat hingga para pelayat pergi. Beberapa hari yang lalu dia masih berbicara dengan orang yang sekarang terbujur dibawah sana.
Bening tidak pernah menyangka jika pamannya, Satu-satunya keluarga yang mau menerimanya setelah kepergian orang tuanya karena kecelakaan kapal kini juga pergi meninggalkannya.
"Om terlalu cepat pergi. " Lirih Bening.
Bening berusaha tidak menangis tapi nyatanya ia tidak bisa. Air mata itu tetap saja keluar.
Bening tidak menyangka jika hari ini dirinya harus kembali ke Jakarta setelah kepergiannya hampir satu setengah tahun yang lalu.
Pergi ke Jakarta hanya mengingatkannya akan rasa sakit. Dulu ia pergi dari tempat ini untuk menghindari seseorang, menenangkan diri, serta menyembuhkan luka hatinya. Dia tidak pernah berpikir untuk kembali lagi ke kota ini dalam kurun waktu yang ia sendiri tidak tahu.
Tapi tidak ada yang tahu perputaran takdir yang sekarang malah membawanya lagi kesini.
Rumah itu masih sama seperti terakhir kali Bening pergi ke sana. Itu adalah rumah om Usman. Rumah yang sudah Bening tinggali sejak usianya sepuluh tahun.
"Tante dimana? " Tanya Bening pada laki-laki muda yang duduk di sebelahnya.
"Di kamar, " Jawab Frans yang juga tampak sedih.
Frans adalah sepupunya. Satu-satunya anak om Usman.
Semalam Frans menelepon, mengabarkan jika om Usman mengalami kecelakaan motor. Beberapa hari sebelumnya pamannya itu juga menelepon, mengatakan rindu dan ingin bertemu dengannya.
Hal yang bagi Bening terasa aneh sebab om-nya tidak pernah mengatakan hal itu. Bening tahu jika om-nya sangat menyayanginya. Dari semua keluarga besarnya hanya om Usman dan tante Isti yang mau merawatnya setelah kepergian orang tuanya. Bagi Bening keluarga om Usman adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki.
Dan tadi pagi sebelum berangkat ke Jakarta, Frans meneleponnya lagi. Memberi kabar jika om Usman sudah pergi menyusul kedua orang tuanya.
Rasa bersalah menyerang Bening. Seharusnya ia datang sejak kemarin malam. Setidaknya ia bisa bertemu dengan pamannya untuk terakhir kali.
"Maaf aku baru datang. Seharusnya aku datang setelah kamu telepon. "
"Jangan menyalahkan diri kamu. Semuanya sudah takdir. Sudah waktunya papa pergi. "
Bening tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa bersalah.
"Mama bilang kamu nggak boleh pulang ke tempat persembunyian kamu sebelum tujuh hari kepergian papa. "
"Apa??? " Bening terkejut dengan ucapan sepupunya. Padahal niatnya besok ia akan kembali ke Surabaya.
"Kamu tau mama nggak suka di bantah."
Ya, Bening tahu tante Isti tidak mau di bantah.
"Kamu bisa istirahat di kamar kamu dulu yang ada di lantai atas. Tadi sudah di bersihkan sama si mbak. "
Bening masih diam di tempatnya. Ini tidak benar. Dia harus kembali ke Surabaya. Dia tidak mau berlama-lama di Jakarta. Sepertinya dia harus bicara dengan tantenya.
***
"Tante Isti nggak ngebolehin aku balik sebelum tujuh harinya om Usmani. " Keluh Bening.
Kepalanya sekarang pening karena tidak bisa kembali ke Surabaya. Tadi ia sudah bicara dengan tantenya tapi wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu tetap melarang.
"Terus masalahnya apa? " Tanya suara yang berada di seberang telepon.
"Astaga Vina... Kamu tau maksud aku apa? Aku nggak bisa di sini lama-lama. "
"Kamu takut ketemu dia? "
Tanpa harus menjawab Vina seharusnya sudah tahu jawabannya.
"Dengerin aku, ya, Ning... " Suara Vina terdengar lagi. "Kamu itu terlalu P-A-R-N-O... Parno. Kamu cuma terlalu takut untuk ketemu Samudera."
"Nggak usah sebut nama itu lagi. " Nada Bening terdengar ketus.
Terdengar kekehan dari seberang. "Tapi emang bener, kan? "
Samudera, nama yang paling Bening benci. Laki-laki yang pernah membuatnya bahagia sekaligus sakit hati yang sampai sekarang masih terasa.
"Dengerin aku, ya, Bening... Jakarta itu luas. Enggak mungkin juga kalian ketemu kecuali kamu datengin rumah dia. " Vina terkekeh sedangkan Bening mendelik. Dia masih waras, tidak mungkin juga dia menemui mantan suaminya itu.
"Tapi kamu tau aku nggak bisa lama-lama di Jakarta. "
"Ya, aku tau."
"Pekerjaanku banyak, Vina. "
"Kamu jangan khawatir, aku bisa mengurusnya. "
Seulas senyum terbit di wajah Bening. Dari dulu dia bisa mengandalkan sahabatnya sejak SMA itu. Dulu setelah ia meninggalkan Samudra, orang yang menampungnya dan selalu ada untuknya adalah Vina.
Sahabatnya itu sangat beruntung karena menemukan laki-laki yang sangat mencintainya. Sayangnya mereka enggan terikat dengan komitmen yang lebih serius.
"Mungkin setelah aku pulang dari Jakarta Ben akan memarahiku habis-habisan. " Canda Bening.
"Nggak akan. Mana berani dia marah-marahin kamu. Emangnya dia mau aku marahin balik. "
Bening tertawa mendengarnya.
"Tapi aku ninggalin kerjaan yang banyak. "
"Ben pasti ngerti, kok. "
"Tapi tetap aja aku nggak enak sama Ben begitu juga sama kamu. Kalian udah terlalu baik sama aku. "
"Aku udah nggak punya wadah buat nampung rasa terima kasih kamu. " Disusul suara tawa.
Bening berdecak mendengarnya. Vina memang tidak bisa di ajak bicara serius.
"Tante kamu benar, kamu harus di sana sampai tujuh hari meninggalnya om kamu. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu nggak akan ketemu sama mantan kamu itu."
Ya, Bening harus yakin dia tidak akan bertemu dengan Samudera. Jujur, ia belum siap berhadapan dengan mantan suaminya itu. Walau ratusan hari telah berlalu.