BAB 3: STRATEGI BERHASIL?

1694 Words
Morin agak kesulitan mengikuti langkah kaki Darius, selain kakinya lebih pendek dari pria itu, dia juga menggunakan heels sepuluh sentimeter, yang membuatnya semakin sulit berjalan cepat. “Om, jangan cepat cepat. Nanti kakiku keseleo.” kalimat itu membuat Darius memperlambat langkahnya, walau pria itu tetap tidak melihat padanya. Saat memasuki lift untuk menuju parkiran basement barulah tatapan mereka bertemu kembali. Dengan heels setinggi sepuluh centimeternya, tinggi tubuhnya menjadi tidak terlalu jauh dari Darius. Tinggi badannya sekarang seratus enam puluh delapan sentimeter ditambah heels itu menjadi seratus tujuh puluh delapan sentimeter. Hanya selisih tujuh senti dari tinggi Darius. Hanya saja dirinya tetap terlihat kecil disebelah Darius yang memang memiliki tubuh gagah yang tinggi besar. Saat itulah Morin mulai menggunakan jaketnya kembali. Dia bahkan tidak berharap omnya akan membantunya, dia tahu omnya tidak peka dan dia tidak keberatan melakukan apapun sendiri selama dia memang masih bisa melakukannya sendiri. Dia sudah tahu Bulan Desember adalah musim dingin di Inggris, dan hari ini salju juga turun, udara diluar pasti sangat dingin. Tanpa sadar Morin membusungkan dadanya saat berusaha memasukkan tangannya ke dalam lengan jaket. Dan tanpa sadar juga pandangan Darius turun ke d**a* gadis itu. Dia kembali memperhatikan tubuh gadis itu yang sekarang sudah tertutup jaket. Dalam tiga tahun gadis ini sudah berubah begitu banyak, pikirnya. Terakhir mereka bertemu hampir tiga tahun lalu, saat itu Morin memang sudah menjadi gadis yang cantik walau masih terlihat kekanakan, dan tubuhnya juga masih serata papan. Namun sekarang tubuhnya sudah sangat berlekuk. “Om, berhenti melihatku seperti itu” kata gadis itu. Sepertinya risih dengan dengan cara Darius memperhatikan tubuhnya. Padahal dia tidak berpikir macam macam. Ini kan keponakannya, tidak mungkin dia berpikiran kurang ajar. “Seperti apa?” “Seperti om sedang mengukur tubuhku. Aku dengan senang hati memberitahukan size braku 34C tanpa perlu om kira kira.” “Hah?!” kaget mendengar perkataan gadis itu. Sangat sulit bagi Darius untuk tetap menampakan wajah datar di depan Morin. Matanya masih melotot saat mengangkat pandangannya untuk menatap wajah Morin yang sedang terkikik menatapnya. Gadis ini meledeknya. Tidak banyak orang yang tidak takut padanya selain keluarganya, bahkan adik adiknya saja takut padanya jika dia sudah mulai mengeluarkan aura otoriternya. Namun gadis ini tidak takut sama sekali padanya, sedari dulu. Tapi, apakah ada yang bisa membuat Gadis ini takut selain dilempar dari atap gedung? rasanya tidak! Morin mengeluarkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V “Peace” katanya sembari nyengir. ting Pintu lift terbuka dan mereka keluar. Darius menarik lembut tangan Morin agar gadis itu berada di dibelakang tubuhnya untuk melindungi gadis itu. Karena saat ini banyak orang yang mau masuk lift. Sekarang baru pukul dua belas, banyak orang yang masih baru datang ke club itu. Mereka berjalan bergandengan menuju mobil. Darius lalu membukakan pintu untuk Morin dan bersiap menutupnya saat dia melihat gadis itu sudah duduk, namun gadis itu menahan tangannya saat dia mau menutup pintu. Darius menatapnya bingung. "Ada masalah?" tanyanya “Om, bantu pasangkan seatbeltnya.” katanya manja. “Hah?!” Lalu Morin menarik tangan pria itu, memandunya menarik seatbelt dan memasangkan seatbelt itu hingga terkunci sempurna. Darius yang masih bingung dengan permintaan gadis itu hanya mengikuti arahan tangan Morin yang memandu tangannya untuk memasangkan seatbelt itu hingga terdengar bunyi klik. Tau kan tipikal Darius tidak akan nonton drakor. Dan gadis itu tersenyum lebar. “Terima kasih om” Darius menggelengkan kepalanya melihat tingkah Morin. Dia menutup pintu itu dan memutari mobil untuk menuju kursi pengemudi. Ujung bibirnya terangkat menyadari kekonyolan keponakannya. Setelah keluar dari parkiran, Darius langsung menanyakan tempat tinggal Gavin. Dia mau mengantar Morin pulang kesana dan tentu saja Morin menutup mulutnya rapat rapat. “Morin” “Aku tidak tau om” “Kamu bisa telpon istri Gavin sekarang” “Ponselku mati” “Ini” Darius mengeluarkan kabel data untuk mengisi daya ponsel yang terhubung dengan car charger. “Beda. aku tidak bisa pakai itu.” Darius mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Morin. “Gunakan ponselku untuk menghubungi istri Gavin” Darius lupa nama teman Morin, jadilah dia sebutnya istri Gavin. “Passwordnya om” “121268” Darius sebenarnya tidak pernah memberikan password ponselnya pada siapapun, karena di jaman canggih seperti sekarang ini semua hal terhubung dan terkonfirmasi lewat ponsel. Namun karena ini keponakannya yang menurutnya tidak akan menyalahgunakan ponsel itu jadi tidak masalah dia memberi tahu. Dia tidak melihat Morin yang tersenyum licik disebelahnya. Setelah lewat beberapa menit tapi Morin masih belum menghubungi temannya. Darius bertanya “Kenapa belum menelepon?” “Aku lupa nomornya” “Jadi dari tadi kamu ngapain?” dia melihat Morin sibuk mengutak atik ponselnya, dia pikir gadis itu sedang mencoba menelepon. “Lihat lihat medsos om” “Morin!” bentak Darius. Darius mengambil kembali ponselnya. Dia mulai kesal, dia tidak punya kesabaran seperti Donny. Membutuhkan stok kesabaran dalam menghadapi Morin, dan Darius bukan orang yang sabar. “Aku ga tau nomornya om” Morin menatapnya sedih. Matanya mulai berkaca kaca. Membuat Darius jadi serba salah. Biar bagaimanapun dia cukup menyayangi keponakan absurdnya ini. Darius membuka ponselnya dan mencari contact Gavin disana. Dia langsung menghubungi pria itu. Daripada gadis itu beralasan lagi, lebih baik dia yang langsung menghubungi Gavin saja. **** Drtt drtt drtt Layar ponsel Gavin di meja menyala, menandakan ada telepon masuk. Gavin melihat id callernya 'Darius Hartadi' Alisnya terangkat. Untuk apa Darius meneleponnya? Melihat wajah bingung suaminya, Jisoo mengintip melihat siapa yang menelepon suaminya. Dan saat melihat ID callernya, Jisoo langsung merebut ponsel itu dan menyembunyikannya di tasnya. Gavin menjadi semakin bingung karena tingkah istrinya, dia mengangkat sebelah alisnya, bertanya tanpa suara? “Tadi Morin sudah berpesan. Tidak boleh mengangkat telepon setelah mereka pergi, baik itu dari Morin ataupun Om Darius.” “Tapi bagaimana kalau ada yang penting?” “Kita bukan orang penting yang akan ditelepon mereka jika terjadi sesuatu di jalan” “Bagaimana kamu tahu?” setahunya istrinya lola. Jadi bagaimana bisa berpikir sampai kesana? “Karena Morin yang mengatakannya. Jika terjadi kecelakaan ataupun ditangkap polisi. Bukan kita yang akan dihubungi” “Dia tahu kalau Darius akan mencariku?” tanyanya takjub. Gadis itu bisa jadi detektif. “Dia bilang hanya untuk jaga jaga aja sih” jawab jisoo. **** Di sisi lain club itu, teman teman Darius masih mengobrol. Tepatnya menggosipkan Darius dan Morin sesaat setelah kedua orang itu menghilang dari pandangan. Biasanya mereka tidak bergosip, tapi karena berita Darius memiliki sugar baby seperti sebuah keajaiban dunia, jadi mereka sangat penasaran. “Ternyata selera Darius itu orang asia” kata walter bermonolog sendiri tapi terdengar yang lain. “Tapi wanita itu sangat cantik, mana bodynya aduhai. Masih muda lagi, pasti masih gercep banget itu. Pantes saja Darius saja bisa tergoda” kata James. “Tapi Darius? sugar baby?” Raphael masih sulit percaya. Mereka berteman sudah begitu lama dan sepanjang yang pria itu tau, Darius tidak pernah terlihat tertarik pada wanita manapun. Dan sekarang tiba tiba punya sugar baby rasanya tidak mungkin. Tapi memang dia terlihat sangat perhatian pada gadis itu, malah terlihat posesif saat melindungi gadis itu agar tidak bersentuhan dengan pria lain sepanjang jalan. “Yah kalau sugar babynya seperti itu mah gue juga mau” jawab James yang sepertinya masih terpesona pada gadis itu. “Ya kau benar, aku tidak pernah bertemu gadis asia secantik itu selain artis. Bahkan dia lebih cantik daripada artis” Walter menyetujui. “Diam kalian!!” hardik Christine emosi. Dia sangat cemburu pada gadis itu yang mendapat perhatian dari Darius. Siapapun yang melihat tidak mungkin mengatakan gadis itu tidak cantik. Dengan kulit seputih salju dan tubuh bak boneka barbie. Sebagai wanita saja dia tidak bisa melihat kekurangan dari fisik gadis itu, apalagi di mata pria. Dan itu membuatnya mendidih karena secara fisik dia kalah. Belum lagi pandangan meremehkan yang ditunjukkan w***********g itu padanya. “Ya elah Christine, kan lu sendiri tahu Darius ga mau sama lu. Masih untung dia ga ngusir lu tiap kali lu nempel kayak lintah” Walter yang merupakan teman Raphael sejak kecil sudah biasa melihat tingkah Christine yang seperti ini. Anak manja yang selalu dituruti maunya. Namun dia tidak bisa memaksa Darius menikah dengannya. Perusahaan Pria itu lebih besar daripada perusahaan ayahnya. Bahkan ayahnya takut pada kekuasaan yang dimiliki Darius. “Iya, gue juga pernah lihat Rosy dibentak sampai menangis gara gara berani bergelayut seperti yang dilakukan sugar babynya si Darius tadi” ujar James yang lupa nama gadis itu. “Udah gue bilang lu lupain aja obsesi lu sama Darius itu. Gue jadi ga enak sama dia kalau kelakuan lu kayak gitu” kata Raphael. Bahkan dia lupa berapa banyak nasehat yang sudah dia berikan pada adiknya ini agar tidak mendekati Darius lagi. Dia tidak mau hubungan pertemanan mereka berakhir cuma karena ulah adiknya ini. “Ngak! wanita itu hanya mainannya Darius saja. Pada akhirnya dia harus menikah dan tidak mungkin menikahi wanita semacam itu. Dia akan menikahi wanita yang sekelas dengannya, bukan p*****r* macam itu. Lu lihat sendiri, Darius memperlakukan gue berbeda dengan wanita lainnya koq. Gue hanya harus bersabar sedikit lagi!”Christine masih ngotot. Tidak mungkin pria seperti Darius akan menikahi sugar babynya, itu akan merusak citranya sendiri. “Itu karena lu adek gue. Dan tidak ada yang salah dengan menikahi sugar baby, selama mereka masih sama sama single” balas Raphael yang sudah tidak peduli apakah adik keras kepalanya itu sakit hati. BRAK!! Christine menggebrak meja. “f**k*. harusnya lu membela adik lu bukan p*****r* itu!” tunjuk Christine pada kakaknya yang tampak tidak peduli u*****n* adiknya. Wanita itu menandaskan minumannya dan beranjak untuk turun ke lantai dansa. Dia mau mencari teman tidur untuk melampiaskan emosinya. “Raph, apakah tidak masalah membiarkan Christine pergi dengan emosi seperti itu?” Walter menatap khawatir ke arah kepergian Christine. “Dia hanya butuh pelampiasan. Besok pagi juga dia sudah kembali ke rumah.” jawab Raphael santai. “Kejarlah dia kalau kau masih menginginkannya Walter. Aku juga tidak suka dia ONS sana sini.” lanjutnya. “Kau sendiri tau di matanya hanya ada Darius” keluh Walter. “Itu karena Darius tidak pernah menggubrisnya. Kurasa dia hanya tertantang menaklukan Darius. Karena dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan Darius adalah apa yang tidak bisa dia dapatkan, walau dengan kuasa papa.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD