Episode 23 : Main Bola

2218 Words
Permainan kedua, Maze Game, secara resmi dimulai. Para VIP yang menonton siaran Couple Games dari layar ponsel dan komputer mereka, mulai tampak antusias. Memang, sejak permainan pertama dimulai, antusiasme dari para VIP yang rela membayar mahal demi menonton tayangan ini tidak pernah surut. Namun saat permainan dimulai, para penonton VIP Couple Games selalu memberikan dukungan dan hadiah daring kepada penyelenggara. Beberapa di antara para penonton bahkan bertaruh, demi menuntaskan hasrat mereka. Penyelenggara Couple Games membuat sebuah mini games berhadiah kepada para penonton, yaitu menebak apakah pemain dengan nomor tertentu akan lolos ke permainan selanjutnya atau tidak. Ada banyak sekali penonton yang kehilangan uang dalam jumlah besar saat mereka bertaruh, namun itu semua tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap memainkan permainan kecil tersebut. Karena bagi para VIP, saat tebakan mereka salah, artinya mereka harus mengasah kemampuan analisa lagi, agar ke depannya bisa menebak hasil permainan dengan tepat. Belum lagi, rata-rata penonton VIP adalah orang yang memiliki uang lebih, sehingga mereka tidak keberatan jika harus kehilangan uang dalam jumlah tertentu untuk kesenangan. Mini games inilah yang menjadi salah satu pendapatan tambahan Couple Games, dengan jumlah pemasukan yang tidak main-main. Karena di manapun tempat orang berjudi, bandar lah yang selalu menjadi pihak yang paling diuntungkan. Kembali ke dalam permainan, kini para peserta mulai masuk lebih jauh ke dalam labirin yang tampak tidak memiliki jalan keluar ini. Lima pintu di masing-masing sisi, baik itu sisi peserta laki-laki maupun sisi peserta perempuan, memiliki jalur yang berbeda. Benar-benar sebuah keberuntungan ketika Lilia, peserta wanita nomor 5, bertemu dengan Eva yang tidak bersama dengan peserta lain saat memasuki labirin. Namun jika melihat ke sisi lain, Eva juga termasuk beruntung karena ia berhasil bertemu secara tidak langsung dengan para peserta lain, meski akhirnya Eva memutuskan untuk tidak berjalan bersama mereka. Lilia terus saja berjalan, tanpa ragu ia berbelok ke salah satu sisi ketika mereka berdua bertemu dengan cabangan jalur. Eva tidak memiliki pilihan lain, ketidaktahuannya terhadap medan membuat Eva hanya mengikuti Eva dari belakang. Tidak ada obrolan berarti yang terjadi di antara keduanya, suasana terasa hening sepanjang perjalanan, bahkan suara teriakan dari sisi lain sampai terdengar hingga ke telinga Eva dan Lilia. Saat suara teriakan itu terdengar semakin intens, Lilia hanya menoleh ke atas dengan tatapan cemas. “Sudah benar-benar dimulai rupanya,” gerutu Lilia. Eva yang mengikutinya hanya menatap Lilia dengan bingung, karena apa yang diucapkan Lilia seakan mengindikasikan bahwa perempuan nomor 5 itu sudah tahu tentang seluk beluk permainan ini. Sementara di sisi lain, Juan, David, dan Lucas, masih tetap berjibaku mencari jalan keluar dari labirin, sekaligus berusaha mencari jalan ke sisi lain labirin, di mana pasangan mereka berada. Di setiap percabangan jalur, tidak lupa Lucas selalu meninggalkan jejak agar mereka tidak tersesat jika memang dibutuhkan di saat darurat. Namun sejauh ini, mereka tidak pernah bertemu dengan jalan buntu, tapi tidak juga berjumpa dengan jalan memutar. Rasanya, setiap jalur yang dipilih oleh Lucas selalu menuju ke tempat yang benar. “Astaga, Lucas, kau benar-benar penyelamat! Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kepadaku jika tidak berjalan bersamamu,” ucap David sambil mengukir senyum ramah kepada Lucas yang berjalan tepat di sampingnya. “Hahaha… tidak perlu sungkan, David. Sebagai orang yang sama-sama terjebak di dalam permainan ini, sudah sewajarnya kita saling membantu,” sahut Lucas sambil sedikit mengangkat tangan kanannya, menenangkan David yang tampak terlalu antusias karena mendapat petunjuk jalan dari Lucas. “Bukankah begitu, Juan?” lanjut Lucas sambil menoleh ke belakang, di mana Juan menatap mereka dengan malas. Juan sebenarnya tidak memiliki masalah pribadi dengan Lucas maupun David. Hanya saja, ia merasa geli dengan bagaimana cara David bersikap. Mendengar pertanyaan Lucas yang tertuju padanya, Juan hanya tersenyum tanpa bicara. Ia malas jika harus berpura-pura bersikap manis kepada orang lain. Melihat reaksi Juan yang cuek, akhirnya Lucas pun kembali berbalik. Lucas masih tetap mengukir senyum ramah, namun di dalam hati, Lucas merasa jengkel dengan sikap cuek yang ditujukan kepadanya. Lucas merasa bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang salah, bahkan ia membantu Juan sejak awal permainan kedua ini. Namun kenapa Juan seakan masih tetap tidak bisa membuka hati kepada bantuan yang ia berikan? “Cih, penjilat!” gerutu Juan pelan sambil menatap tajam ke arah David. Rupanya, itulah alasan yang membuat Juan tidak bersikap ramah kepada dua orang di depannya. Juan menilai, Lucas terlalu mudah diperdaya dengan sanjungan dan pujian dari orang lain. Sedangkan David, ia terlalu bermuka dua demi bisa keluar dari tempat mengerikan ini. Memang, tidak ada salahnya ketika seseorang menjadi penjilat, apalagi ini semua menyangkut keselamatan dan nyawanya. Namun Juan masih tetap memegang teguh prinsip dan idealismenya, di mana ia tidak mau merangkak di bawah orang lain meski nyawa taruhannya. Mulanya perjalanan terasa aman dan datar, hingga tanpa sengaja, Juan melihat kilatan tipis membentang dari sisi ke sisi di bagian bawah lorong labirin yang mereka lewati. Juan tahu, kilatan tipis itu adalah benang yang membentang. Juan pun sadar, jika benang itu merupakan pertanda buruk bagi perjalanan mereka, seperti yang biasa ia lihat di dalam film laga fiksi. Dengan sigap, Juan ingin memperingatkan dua orang yang berjalan di depannya agar tidak menyentuh benang itu. “A…” Juan hendak berteriak sambil merentangkan tangan ke depan, namun terlambat. David sudah menyentuh benang itu hingga terputus tanpa ia sadari. Sayangnya, dua orang yang berjalan di depan Juan tidak menyadari jika ia baru saja melewati sesuatu. David dan Lucas terus saja berjalan dengan tenang, sementara Juan menghentikan langkahnya dengan jantung yang berdebar kencang. Sebenarnya, Juan ingin tetap mengingatkan David dan Lucas tentang apa yang baru saja ia lihat, namun di sisi lain Juan khawatir jika apa yang baru saja ia lihat ternyata hanya halusinasi, mengingat bekas benang yang baru saja dilewati David pun tidak nampak ketika Juan kembali melangkahkan kakinya hingga melewati jalur tersebut. Juan tetap memasang sikap waspada, khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, baru saja ia memikirkan sesuatu yang buruk, tiba-tiba Juan merasa lantai yang ia pijak bergetar bersamaan dengan suara ledakan nyaring yang ia dengar dari arah depan. Juan tetap berdiam, ia tidak ingin salah langkah. Juan masih menunggu apa yang akan terjadi, karena ia masih khawatir jika firasatnya salah. Bisa saja, apa yang ia dengar itu berasal dari tempat lain, di mana peserta lain yang sedang terjebak rintangan saat ini. Namun sayang, firasat Juan ternyata benar. Di jalur lurus panjang yang saat ini mereka lalui, samar-samar terlihat di depan Juan, Lucas, dan David, sebuah batu besar dengan diameter yang lebih tinggi dari mereka bertiga sedang menggelinding kencang ke arah tiga peserta tersebut. Seketika, pupil mata Juan membesar saat melihat tanda bahaya. Jantungnya yang berdebar, kini berdetak semakin kencang. “Lari!” Juan berteriak kencang karena David dan Lucas hanya terpaku ketika melihat batu besar itu menggelinding semakin dekat ke arah mereka. Setelah berteriak, Juan segera berlari sekencang-kencangnya ke arah belakang, menjauh dari batu tersebut. Berbeda dengan Juan yang memiliki reflek melarikan diri yang tinggi, Lucas dan David membutuhkan waktu sepersekian detik hingga mereka sadar jika saat ini sedang berada dalam bahaya. “Sial!” teriak Lucas sebelum ia akhirnya melangkahkan kakinya dengan cepat menjauh dari batu tersebut. Umpatan kotor pun tidak luput dari mulut David saat ia mengikuti langkah Lucas. Tidak ada hal lain yang bisa mereka bertiga lakukan saat ini selain berlari dan terus berlari. Gempuran adrenalin yang tinggi pun membuat tiga orang peserta pria itu tidak sadar, berapa jauh mereka berlari. Saat akhirnya Juan, orang yang berlari paling depan menemukan percabangan jalur, ia merasa sedikit lega. Di dalam kepala ia berpikir cepat, jika batu tersebut tidak akan berbelok apabila ia mengambil jalur lain. Juan pun berbelok ke jalur tersebut lalu berhenti sejenak ketika ia sudah masuk ke dalamnya. Ia menunggu David dan Lucas mengikutinya sekaligus ingin memastikan dua peserta lain itu selamat, karena dua orang itu memiliki kecepatan lari yang jauh lebih lambat dibanding Juan. Beberapa detik kemudian, Lucas pun berbelok ke jalur yang dimasuki oleh Juan. Di belakang Lucas, David pun berhasil berbelok. Untuk sementara, tiga orang peserta itu merasa aman. Namun getaran dari batu yang menggelinding masih tetap mereka rasakan, bahkan getaran itu terasa semakin keras. Lucas dan David membungkuk, nafas mereka terengah-engah. Lucas dan David sepertinya bukanlah orang yang terbiasa beraktivitas fisik keras, terlihat dari stamina mereka yang jauh di bawah Juan. Saat dua orang di depannya lengah, Juan masih memasang sikap waspada karena merasa belum aman. Sesaat kemudian, “Sial, lihat!” Juan menunjuk ke arah punggung David dan Lucas di mana batu yang menggelinding itu berbelok ke arah mereka. David dan Lucas menarik nafas panjang lalu segera berlari. Juan pun sontak melakukan hal yang sama, namun kali ini ia sedikit memperlambat langkah karena tidak ingin dua orang lainnya tertinggal jauh. Juan sadar, saat ini ia tidak bisa lolos dari kejaran batu itu seorang diri. Rasanya, batu besar itu seakan memiliki pikirannya sendiri, karena sangat tidak mungkin jika batu itu bisa berbelok saat ada jalur lurus yang terbuka. Lucas, David, dan Juan terus berlari menghindari batu yang menggelinding. Setiap kali mereka mereka melewati persimpangan, Juan dan dua orang lainnya selalu menoleh ke belakang, memastikan batu itu tidak bergulir ke arah mereka. Namun setiap kali mereka berbelok dan mengambil jalur lain, batu itu terus saja mengikuti mereka. “Bagaimana ini?!” Juan mencoba bertanya kepada Lucas, karena menganggap selama ini pria berbaju merah itu selalu berhasil menemukan jalan keluar dari permasalahan yang mereka alami. “Entah! Aku tidak memperkirakan hal ini!” sahut Lucas dengan nada tinggi. Rupanya, pria yang berlagak seperti pemimpin ini juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika Lucas tidak bisa diharapkan, David justru semakin parah. Pria itu hanya berlari ketakutan tanpa suara. Jangankan menyumbang ide, bertanya pun tidak. David terkesan hanya mementingkan keselamatannya sendiri. Juan yang menyadari hal itu hanya memutar bola mata kesal, ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan orang seperti David. Setelah beberapa lama berlari, mereka bertemu dengan dua orang yang tiba-tiba muncul dari balik persimpangan. Juan yang berlari paling depan, berusaha memperingatkan dua orang itu. “Awas!” Juan berteriak sembari melewati dua orang tersebut. Juan, Lucas, dan David, lebih memilih jalur lurus karena merasa berbelok pun percuma hingga sejauh ini. Sayangnya, dua peserta lain itu tidak mengindahkan peringatan dari Juan. Mereka hanya terpaku, tidak melakukan apapun saat melihat ada batu besar yang menggelinding ke arah mereka. “Argh!” teriak dua orang itu bersamaan sebelum akhirnya suara mereka tidak terdengar lagi. Juan, Lucas, dan David terus berlari, hingga akhirnya sadar jika mereka tidak merasakan getaran di bawah kaki. “Tunggu!” Juan berhenti mendadak, Lucas dan David tetap berlari melewati Juan, lalu beberapa langkah kemudian ikut berhenti. “Kenapa? Hahhh… hahhh… hahhh…” Lucas terengah-engah, rasanya adrenalin tiba-tiba turun, membuatnya merasa sangat lelah. Tanpa menjawab pertanyaan Lucas, Juan berbalik, membuat David dan Lucas bingung. Setelah itu, Juan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah ia berlari, mendekat ke arah batu yang ia sadari telah berhenti. Juan terus berjalan mendekat perlahan, khawatir batu itu tiba-tiba kembali menggelinding. Lucas yang masih berdiri di tempat karena takut dengan apa yang terjadi, perlahan ikut beranjak mengikuti langkah Juan. Ia pun ikut penasaran dengan apa yang terjadi. “Ah!” Juan memejamkan mata, ia tidak sanggup melihat apa yang terjadi di depannya. “Astaga!” David yang juga mengikuti langkah Lucas, memperhatikan sesuatu di bawah batu itu dengan seksama. Sedangkan Lucas, justru berjongkok sambil melihat dengan teliti sesatu di depannya. Dua peserta laki-laki yang mereka temui secara tidak sengaja ketika tiba-tiba dua orang itu keluar dari persimpangan, kini berada di bawah batu dengan kondisi yang mengenaskan. Tubuh mereka hancur tak berbentuk, darah segar mengalir dari sela-sela batu dan tubuh mati manusia di bawahnya. Sesuatu yang terlihat dari dua peserta itu hanya telapak tangan terbuka yang selamat dari lindasan batu, seakan tangan itu meminta tolong untuk diselamatkan. Namun sayang, hanya tangan itulah yang tersisa. Anggota tubuh yang lain telah hancur ditimpa batu besar. “Aku heran, kenapa batu ini bisa berhenti setelah melindas peserta?” tanya David yang akhirnya membuka suara. Pria itu tampak memperhatikan dengan seksama, seakan tidak memiliki rasa takut dan ngerti terhadap darah. “Mungkin ini yang disebut batu pemburu, batu yang berhenti menyerang ketika mendapat mangsa,” jawab Lucas dengan raut wajah datar. Juan bingung sekaligus marah kepada dua orang di sampingnya, karena Lucas dan David terkesan tidak memiliki rasa empati kepada dua orang yang baru saja mati. “Lalu sekarang bagaimana?” tanya Lucas. “Bagaimana lagi? Kita kembali ke jalur sebelumnya.” Lucas berjalan perlahan, mengintip sela-sela batu apakah bisa mereka lewati atau tidak. Akhirnya mereka bertiga memanjat di sisi batu, hendak berjalan ke jalur mereka sebelumnya. Setelah berhasil melompati batu itu, Lucas berdiam sejenak. “Kenapa?” tanya David melihat Lucas yang tampak bingung. “Aku lupa jalur-jalur yang kita lewati,” sahut Lucas dengan nada bergetar. “Kau bercanda, bukan? Kau selalu memberi tanda di setiap persimpangan.” Suara David pun ikut bergetar, ia mulai terlihat panik saat Lucas tidak bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang dialami. “Tidak, aku serius! Aku juga tidak tahu kita harus apa setelah ini!” Lucas membentak David sambil melotot, membuat David ikut marah. Ia tidak suka ada orang yang berlagak sombong kepadanya. “Lalu, kau akan membiarkanku mati membusuk di sini?! Kau harus membawaku keluar dari sini, Monyet Apung!” sahut David yang tidak terima dengan perkataan Lucas. “Apa kau bilang?” jawab Lucas. Lucas dan David saling tatap dengan tajam, tangan mereka berdua sama-sama mengepal, bersiap akan benturan yang kapan saja bisa terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD